Kalau bepergian ke Tangkubanparahu atau Subang dari arah Lembang, kita akan melewati sebuah kompleks bernama Balai Penelitian Tanaman Sayuran atau sering disingkat Balitsa, di sebelah kiri jalan. Kompleks ini terletak di Jalan Tangkubanparahu No.517, Lembang. Halaman kompleks sangat luas, di belakangnya terlihat ada banyak bangunan.
Sekilas dari jalan raya saja kita bisa perhatikan bahwa kompleks ini punya lingkungan yang nyaman. Halaman rumput yang luas dan bersih, mendekati jalan raya halaman ini membentuk gawir karena memang lokasinya berada agak tinggi di atas jalan raya. Udara di kawasan ini juga memang sejuk, ketinggiannya sekitar 1250 meter di atas permukaan laut.
Walaupun setiap waktu kita makan sayur, belum tentu juga kita menyadari keberadaan lembaga seperti Balitsa ini. Padahal berbagai penelitian dan percobaan dilakukan oleh lembaga ini agar dapat mengembangkan produksi sayuran dan buah-buahan sehingga pertanian dapat menghasilkan produk yang benar-benar baik untuk kita konsumsi.
Rintisan lembaga penelitian ini dimulai di bawah Balai Penelitian Teknologi Pertanian di Bogor pada masa akhir kekuasaan Hindia Belanda (1940). Tahun 1962, Balai Penelitian di Bogor itu mendirikan Kebun Percobaan Margahayu di bawah kordinasi Lembaga Penelitian Hortikultura, tempatnya di Lembang, di tengah-tengah wilayah yang sudah lama dikenal sebagai penghasil sayuran di Priangan.
Tanah yang digunakan untuk Balitsa sebelumnya adalah kawasan perkebunan kopi yang dikelola oleh seorang Belanda, van de Root. Bekas rumah de Root adalah yang sekarang dipakai sebagai kantor utama Balitsa. Memang sudah banyak perubahan detil karena bangunan yang sekarang berdiri ini merupakan hasil perbaikan setelah dihancurkan pada masa pendudukan Jepang.
Van de Root menikah dengan seorang perempuan pribumi bernama Marietje. Pada masa perang, pasangan ini pindah ke Sukabumi, kampung asal Marietje. Tak lama di Sukabumi, (pada masa revolusi) van de Root kembali ke Belanda sedangkan Marietje mengungsi ke sebuah kampung bernama Cimanglid di Subang.
Luas tanah bekas perkebunan milik van de Root seluruhnya mencapai 42 hektar, sekitar 14 hektar di antaranya diambil alih (atau dibeli) oleh pemerintah untuk dipergunakan oleh Balitsa. Sisa tanah milik van de Root konon sempat menjadi perebutan di kalangan keluarga dari pihak istrinya.
Pasangan van de Root dan Marietje tidak memiliki keturunan sehingga tanah diwariskan kepada adik Marietje. Entah bagaimana awal mula, detail, dan ujung pertikaian soal tanah ini sekarang, yang jelas Marietje telah wafat dan dimakamkan di halaman depan bekas rumahnya di lahan Balitsa sekarang. Makamnya ini berada di atas gawir di tepi jalan raya Tangkubanparahu. Sekarang di sekeliling makam juga ditanami sayuran sehingga agak menyembunyikan keberadaan makam itu dari pandangan.
Tujuan utama kedatangan saya saat itu ke Balitsa memang soal makam di halaman kompleks di atas jalan raya ini. Seperti biasa, tidak banyak informasi yang saya dapatkan, sepotong di sana, sepotong di sini. Tapi dari sini kemudian saya dapat berjumpa dengan salah satu adik (atau keponakan?) Marietje yang masih tinggal di sebuah gang di perkampungan sebelah utara Balitsa. Dari sang adik inilah saya mendapatkan sedikit cerita seputar van de Root dan istrinya, Marietje.
Sang adik juga bercerita tentang beberapa nama tokoh Belanda lainnya di Lembang pada masa lalu, di antaranya yang disebutnya sebagai Tuan Stet (?) yang makamnya berada di kebon karet dekat gerbang masuk Balitsa dari arah selatan. Lalu ada nama Elman, pemilik tanah dan perkebunan di bagian lain Lembang. Elman kemungkinan adalah pemilik Hotel Tangkuban Perahu yang lahannya saat ini ditempati oleh restoran Sindang Reret, Makam Elman terdapat di salah satu sudut kawasan restoran ini.
Dalam waktu yang berlain-lainan, saya berhasil menemukan semua makam yang diceritakan oleh adik Marietje. Semua kondisi makam itu menyedihkan karena sama sekali tidak terawat. Makam Elman (dan beberapa makam lain di dekatnya) bahkan hampir terkubur seluruhnya hingga bagian nisannya. Letaknya agak tersembunyi di belakang kebun pada batas luar kompleks Sindang Reret. Rupanya pada satu waktu, kawasan bekas kebun tempat makam ini berada pernah dijadikan area permainan paintball, di sana-sini masih terlihat bekas-bekasnya.
Sekarang, kompleks makam Elman tertutupi oleh alang-alang dan semak, mungkin sebentar lagi pun akan hilang dimakan waktu. Sementara itu, tak ada pula orang-orang tua yang saya temui di sana yang dapat bercerita tentang makam-makam itu.
October 29, 2013 at 6:16 am
Tuan Stet udah ketemu?
October 29, 2013 at 6:24 am
Ketemu, tapi ya rusak juga :-((