Ngaleut Tokoh-1B2
Salah satu poster kegiatan @KomunitasAleut dengan foto Abdul Muis.

Oleh @akayberkoar

Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar nama Abdul Muis? Saya pernah tanyakan pada kawan-kawan, jawabnya ada yang menyebut tokoh pergerakan, pahlawan nasional, juga wartawan atau satrawan. Yah, semuanya benar. Tapi bagi saya sendiri selama ini nama Abdul Muis hanya berkait dengan satu hal, trayek angkot atau nama terminal angkot di Bandung.

Ya, sejak umur 10 tahunan, nama Abdul Muis sudah tidak asing bagi saya. Saat itu saya sering menemani ibu naik angkot dan sering saya baca nama Abdul Muis tertempel di kacanya sebagai salah satu trayek, ada Abdul Muis-Elang, Abdul Muis-Dago, Abdul Muis-Cicaheum, sampai Abdul Muis-Cimahi. Yang terakhir ini sepertinya perubahan dari trayek Abdul Muis-Leuwipanjang. Saya agak lupa-lupa ingat juga.

Sudah sejak masa itu bagi saya nama Abdul Muis identik dengan teminal angkot Kebon Kalapa. Setiap sore ibu membawa saya menyambangi terminal untuk menunggu ayah pulang kerja. Saat itu ayah saya bekerja di daerah Kebon Kalapa, di suatu perusahaan yang masih saya ingat namanya, Hilton. Tapi tentu bukan hotel Hilton yang megah itu. Sambil menunggu ayah pulang, kami biasa jajan cendol langganan di pinggiran Jl. Pungkur. Rasanya jalanan saat itu masih sepi, tidak ramai oleh tukang batu-batu akik seperti belakangan ini.

Setelah dewasa, saya dihadapkan pada pertanyaan, siapakah Abdul Muis yang namanya dijadikan nama terminal itu? Zaman sekarang mudah saja googling. Ternyata, Abdul Muis adalah Pahlawan Nasional Pertama yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 30 Agustus 1959. Beliau dilahirkan di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 3 Juni 1883. Abdul Muis mengikuti pendidikan sekolah dasar warga Eropa, Eur Lagere School. Pendidikan lanjutan ditempuhnya di Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), tapi tidak sampai selesai karena sakit.

Mungkin ada alasan kenapa namanya digunakan sebagai nama terminal angkot di Bandung? Apakah karena nama jalan di depan terminal itu Jl. Abdul Muis? Kenapa nama jalan itu diberi nama Abdul Muis?

Walaupun ijazah seadanya, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Ia bekerja di sebuah koran berbahasa Belanda di Bandung, Preanger Bode. Lalu bersama Suwardi Suryaningrat dan A. Widnjadisastra mendirikan koran Hindia Serikat. Setengah dari penghasilan koran ini dimasukkan untuk kas Sarekat Islam lokal Bandung yang berdiri sejak 1922. Dalam organisasi ini Abdul Muis menjabat sebagai salah satu pemimpin.

Aktivitas dan pengaruhnya terus meningkat hingga menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Sarekat Islam bersama HOS Cokroaminoto. Abdul Muis juga menajdi satu-satunya pribumi yang ikut menggagas berdirinya sekolah teknik di Bandung, THS yang kelak menjadi ITB. Berbagai aktivitas politik yang berani membuat Abdul Muis diasingkan ke Garut.

Di Garut, selain mengelola kebun, Abdul Muis banyak menggubah novel, beberapa yang terkenal adalah Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, dan Robert Anak Surapati. Kelak novelnya dianggap sebagai rintisan sastra nasional. Abdul Muis wafat pada tanggal 17 Juli 1959 di Bandung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Beberapa karya besarnya adalah Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, dan Robert Anak Surapti yang berbentuk novel. Beliau meninggal pada tanggal 17 Juli 1959 di Bandung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Sebulan kemudian, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Pertama RI.

Separuh hidup dan sebagian besar aktivitas Abdul Muis dilakukan di Bandung, sebagian lagi di Garut. Tetapi di manakah kita dapat melihat jejak-jejak beliau, baik di Bandung ataupun Garut? Di mana kantor-kantor tempatnya dulu bekerja? Di mana ia tinggal selama di Bandung?

Mungkin ada alasan kenapa namanya digunakan sebagai nama terminal angkot di Bandung? Apakah karena nama jalan di depan terminal itu Jl. Abdul Muis? Kenapa nama jalan itu diberi nama Abdul Muis? Dari informasi yang terkumpul, Abdul Muis memang pernah tinggal di sebuah rumah kecil di Jl. Pungkur, tak jauh dari persimpangan dengan Jl. Ciateul. Rumah kecil itu sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Bahkan yang masih dapat bercerita tentang itu pun sudah hampir tidak ada. Yang tersisa, mungkin seperti kenangan masa kecil saya, Abdul Muis adalah nama sebuah terminal angkot di Kebon Kalapa, tempat saya dan ibu menunggu ayah pulang kerja.