Situ Cisanti

Sabtu, 26/10/13 siang, rasanya danau kecil ini seperti milik sendiri.

Sungguh sepi.
Hanya sekelompok anak muda sibuk berpose dan foto-foto di atas dermaga kayu.

Sekelompok lainnya berkerumun di tepi danau dekat warung, sepertinya mereka berasal dari suatu organisasi entah apa yang menginap di pondokan milik Perhutani di dekat gerbang masuk ke danau. Waktu masuk tadi, terlihat dua pondok itu penuh perlengkapan seperti ransel dan banyak orang di dalamnya.

Satu-dua pasangan pacaran duduk-duduk mengambil spot yang paling nyaman buat mereka. Sisanya adalah para pemancing ikan yang tersebar di sekeliling danau, dan dua penjual batagor dengan perangkat pikulan di dekat pintu air.

Saat masuk memarkirkan motor, tidak ada petugas loket yang berjaga. Di parkiran, dengan sigap seorang pemuda menghampiri dan menunggui di sebelah. Setelah beres, mengunci motor, saya dengar katanya, “tujuh ribu.” Itu saja komunikasi di gerbang masuk Danau Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Cisanti, Kabupaten Bandung.

Menuruni tangga semen ke arah danau, sempat melihat kesibukan di dua pondok yang terlewati. Sepertinya sedang ada yang bikin kegiatan kelompok di sini. Di halaman pondok, ada beberapa kerumunan mengobrol sambil minum teh atau kopi, yang turun ke area danau hanya beberapa orang saja.

Sambil pesan batagor, saya tanya penjualnya.
“Itu gunung apa?”
“Waduh engga tau itu gunung apa, kalau yang di belakang ini mah Gunung Wayang”
“Oh, bapak pendatang ya?”
“Bukan. Saya dari Pajaten, kelahiran sini.”
Pajaten adalah kampung kecil di pinggir hutan di Desa Tarumajaya, hanya berjarak sekitar 2 km dari Cisanti.

Karena penasaran, saya ajukan juga pertanyaan yang sama ke tukang batagor yang satunya. Jawabnya, “Engga tahu ya, saya tahunya ya cuma Gunung Wayang itu aja. Kalau yang jauh-jauh mah ya ada Gunung Papandayan di sana.” Bapak ini juga orang dari Pajaten. Sia-sia pula mengharapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang mata air, aliran sungai, atau nama-nama tumbuhan yang terlihat di sekitar. Semua informasi itu bukan kebutuhan mereka.

Hari ini Danau Cisanti sepi. Hanya teriakan-teriakan para pemuda sibuk foto saja yang terdengar, mereka hanya lima orang, tapi sepertinya suaranya mampu bikin ikan-ikan malas muncul. Padahal katanya masih dalam minggu ini, Wagub Jawa Barat, Deddy Mizwar, baru saja melepas 29 karung besar ikan di danau ini. Dua tahun lalu, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, juga melepas 25 ribu ekor ikan nila ditambah dengan 500 ekor ikan koi di sini.
Apakah kegiatan tebar ikan ini akan berulang lagi dan terus di tahun-tahun mendatang?

Sambil duduk di atas rumputan tepi danau saya mengamati sekitaran. Pemandangan di sini bagus sekali. Semuanya menyejukkan mata (dan hati?). Kecuali teriakan para pemuda foto-foto ini, sebetulnya menyenangkan sekali memang menikmati pemandangan dalam kesunyian di sini. Hutan Gunung Wayang masih tampak lebat.

Gunung lain yang dari tadi saya tanyakan namanya, belakangan tahu juga namanya Gunung Gede atau sering juga disebut Dano, sebagian badannya sudah gundul dibikin ladang. Seorang pemancing bercerita bahwa di bagian belakangnya ada aktivitas Pertamina, yang masih bagian dari kegiatan PLTU Wayang-Windu. Saat itu juga saya kebingungan karena selama ini hanya mengetahui ada tiga gunung saja yang berjajar di sana, Wayang, Windu, dan Bedil. Lalu posisi Gunung Gede ini sebetulnya di sebelah mananya Gunung Wayang? Sampai kepulangan ke Bandung pertanyaan ini malah bertambah, dari dua gunung yang sering disebut itu, mana Gunung Wayang dan mana Gunung Windu?

Ternyata saya tidak bisa terlalu santai juga di Cisanti. Walaupun sepi, tidak berarti tidak ada masalah. Para pemuda berfoto itu mungkin lebih santai, membuang keresek besar bekas belanjaannya begitu saja ke danau. Tanpa merasa ada yang ganjil apalagi rasa bersalah. Santai. Empat pemuda lain yang baru datang melewati saya juga santai. Usai meneguk minuman dari botol plastiknya dengan sangat santai membuangnya ke bawah, sambil berjalan santai, sambil menikmati pemandangan yang katanya “Anjis, keren pisan!”

Sambil berjalan keluar melewati kebun kopi yang berbatasan dengan jalan raya, saya masih terus menyaksikan bukti dan jejak kesantaian para pengunjung Cisanti. Sampah-sampah plastik yang masih baru, bertebaran di beberapa sudut.

Masih teringat satu-dua hari sebelumnya, kami mencoba tertib dengan mencari perizinan untuk mengadakan kegiatan di Cisanti. Kami coba menghubungi lembaga yang berwenang. Hasilnya di luar dugaan. Salah satu kantor kebingungan menghadapi permohonan izin ini, beberapa pegawainya malah tidak tahu apa dan di mana Cisanti itu. Staf lainnya mencoba mengalihkan soal izin ke departemen lain sambil bercerita soal penumpukan lembaga dan mungkin perbedaan aturan masing-masing lembaga dalam pengurusan izin semacam yang kami ajukan.

Hmmm, tak heran bila 1-2 kilometer saja dari Cisanti ini air Ci Tarum sudah mulai rusak.

Advertisement