Di Bandung terdapat satu kawasan yang nama jalanannya menggunakan nama2 dokter, baik nasional maupun internasional. Kawasan ini terletak di sekitar Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Bio Farma. Kadang2 orang menyebutnya kawasan Cipaganti berdasarkankan nama jalan utama di situ. Nah, siapa saja dokter yang namanya (pernah) dijadikan nama-nama jalan itu? Ini cerita-cerita ringkasnya.

Image
Beberapa nama dokter di dalam kompleks jalan kedokteran di sekitar Bio Farma sebenarnya merupakan para pendiri perkumpulan kebangsaan Boedi Oetomo (20 Mei 1908). Mereka adalah Wahidin Soediro Hoesodo, Soetomo, Radjiman Wediodiningrat, Goenawan Mangoenkoesoemo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Mereka semua adalah dokter-dokter yang lulus dari Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).

Tidak semua nama mereka saya temukan menjadi nama jalan di kawasan yang sama, misalnya apakah memang tidak pernah terdapat nama jalan Soetomo atau Soewardi (Soerjaningrat) atau apakah nama jalan tersebut pernah ada namun sudah berganti dengan nama jalan baru?

boedi-oetomob
Perkumpulan Boedi Oetomo

dr. Radjiman (1879-1952):

Image
Radjiman Wedjodiningrat lahir pada 21 April 1879 di Desa Melati, Kampung Glondongan, Yogyakarta, dari keluarga yang bersahaja. Ayahnya, Sutodrono, adalah pensiunan kopral KNIL yang menjadi centeng di Pecinan, dan ibunya keturunan Gorontalo.

Ayah Radjiman, Soetodrono, adalah keturunan ketujuh Kraeng Naba, saudara Kraeng Galesong, yang membantu Trunojoyo melawan Mataram. Dalam konflik itu, Kraeng Naba berada di pihak Mataram.

Soetodrono mempunyai saudara perempuan yang menikah dengan Arjo Soediro. Dari pasangan ini lahirlah Wahidin Soedirohoesodo yang kelak ikut mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Dari silsilah ini maka Radjiman bersepupu dengan Wahidin Soedirohoesodo yang dilahirkan tahun 1852. Selisih usia mereka terpaut 27 tahun.

Pendidikan awal Radjiman ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS) Yogyakarta dan lulus pada 1893. Setelah itu, dengan bantuan dari Wahidin, ia melanjutkan ke STOVIA di Batavia bersama Sulaeman, putra Wahidin yang seusia dengannya.

Setelah lulus dari STOVIA pada 1899, Radjman bertugas di CBZ Batavia, kemudian di Banyumas dan Purworejo, Semarang (1900), Madiun (1901), Sragen (1905), dan Lawang (1906). Sejak tahun 1905 ia juga mengabdikan diri dan ilmua di Keraton Surakarta, hingga Pakubuwono X memberikan penghargaan gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dengan nama Wedyodiningrat.

Berikutnya, Radjiman melanjutkan pendidikannya ke Amsterdam yang dapat diselesaikannya pada 1910. Kemudian mendalami dunia kebidanan di Berlin, Jerman, dan bidang rontgenologie di Amsterdam pada 1919. Pada tahun 1931, ia belajar lagi, kali ini ilmu gudascopie urinoir di Paris.

Pada 1934, ketika penyakit pes mewabah, Radjiman memutuskan pindah ke Desa Dirgo, Widodaren, Ngawi, untuk mengabdikan diri sebagai dokter ahli pes. Di sini ia juga memberikan pelatihan-pelatihan kepada dukun bayi agar dapat mencegah kematian ibu saat melahirkan, dan memberikan pendidikan kepada anak-anak Desa Dirgo yang tidak mampu bersekolah.

Dalam pergerakan kebangsaan, Radjiman juga aktif sejak masih belajar di STOVIA. Ia ikut mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo pada 1908, dan menjadi ketuanya pada periode 1914-1915. Pada 1918-1931 ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil dari Boedi Oetomo. Antara tahun 1926-1930 ia memimpin penerbitan majalah tengah bulanan, Timboel, dan banyak menulis tentang kesenian dan budaya Jawa.

Pada masa pendudukan Jepang, Radjiman adalah anggota Shu Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Daerah) Madiun, kemudian diangkat menjadi anggota Chuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat). Pada 1945 Radjiman menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada awal kemerdekaan RI ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pada 1950-1952 menjadi anggota DPR RI di Jakarta.

Tanggal 20 September 1952 Radjiman wafat di Desa Dirgo, Ngawi, dan dimakamkan di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta, berdekatan dengan makam dr. Wahidin Soedirohoesodo.

dr. R. Soetomo (1888-1938):

Dr Soetomo
Nama asli Dokter Soetomo sebenarnya adalah Soebroto . Ia dilahirkan pada 30 Juli 1888 di Nganjuk, Jawa Timur. Ayahnya adalah seorang wedana di Nganjuk. Ia mengganti namanya menjadi Soetomo saat masuk ke sekolah menengah, dan dengan nama inilah ia dikenal sebagai pendiri organisasi pergerakan pertama di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo.

Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan di STOVIA Batavia dan pada 20 Mei 1908, ia bersama Dr. Wahidin Soedirohoesodo menggagas lahirnya perkumpulan Boedi Oetomo. Latar belakang pendirian perkumpulan ini terutama karena berbagai kebijakan pemerintah kolonial yang terasa semakin menekan rakyat. Tanggal pendirian organisasi ini kelak dijadikan Hari Kebangkitan Nasional oleh Pemerintah Indonesia.

Dalam daftar nama pengurus Boedi Oetomo, terdapat nama-nama berikut: R. Soetomo, M. Soelaiman, Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, R. Angka, M. Soewarno, M. Mohamad. Saleh, M. Goembrek, R.T. Arya Tirtakoesoemah, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Dwidjosewojo, dan Tjiptomangoenkoesoemo.

Sejak tahun 1906, dr. Wahidin sudah aktif menggalang dana pendidikan dengan berkeliling Pulau Jawa, hingga terkumpul sekitar 400-500 donatur. Pertemuan pertama Soetomo dengan dr. Wahidin juga terjadi saat kampanye penggalangan dana tersebut.

Pada tanggal 3-5 Oktober 1908 perkumpulan ini mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta yang dihadiri oleh 400 peserta dari berbagai daerah.

Ketika ayahnya wafat pada 1907, Soetomo merasa kehilangan segalanya. Tidak ada lagi penopangnya. Beban keluarga jatuh kepadanya sebagai anak sulung. Orang-orang terasa berubah sikap setelah ayahnya tak ada lagi sehingga ia merasa bahwa segala kemurahan hati, keramahan, kehormatan yang diberikan orang selama ini bukanlah dengan kesungguhan, tapi hanya karena jabatan ayahnya saja.

Setelah lulus STOVIA tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Pada tahun 1917, ia menikah dengan seorang perawat Belanda dan dua tahun kemudian, mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi spesialis kedokteran di Universitas Amsterdam.

Ia dan dr. Sjaaf adalah pribumi pertama yang dikirim melanjutkan pendidikan ke Belanda dengan biaya dari pemerintah Belanda. Selama kuliah, Soetomo ikut berkegiatan di Indische Vereeniging. bahkan menjadi ketuanya untuk 1921–1922.

Tahun 1923, Soetomo kembali ke Hindia dan menetap di Surabaya. Sambil berdinas di Rumah Sakit Simpang, ia juga mengajar di Nederlandsch Artsen School (NIAS). Tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik masyarakat pribumi. Kegiatan rutin Indonesische Studie Club adalah mengadakan pembelajaran politik serta pembahasan persoalan-persoalan publik.

Tahun 1930, Indonesische Studie Club dikembangkan menjadi Persatuan Partai Bangsa Indonesia, dan tahun 1935, terjadi penggabungan ISC dengan Boedi Oetomo menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) yang bercita-cita mencapai Indonesia Mulia, yang di dalamnya sudah terkandung makna kemerdekaan.

Perjuangan Dr. Soetomo tidak bergelora seperti tokoh-tokoh lain seangkatannya. Ia cenderung moderat dan mengambil peran lebih sebagai pembangun daripada pemberontak. Dalam sebuah tulisannya tahun 1932, ia menyatakan bahwa meskipun kemerdekaan sudah tercapai, perjuangan dan pengorbanan masih akan terus perlu dilakukan untuk memperoleh kemuliaan, memperbaiki keadaan rakyat, memperbaiki keadaan sosial ekonomi.

Dr. Soetomo wafat pada 30 Mei 1938 dalam usia 50 tahun.

dr. Tjipto Mangoenkoesoemo:


Sebagai dokter, Tjipto Mangoenkoesoemo mendapatkan penghargaan Orde van Oranye Nassau dari pemerintah  Belanda berkat peranannya menghadapi wabah pes di Malang tahun 1920. Sebagai politikus, peranannya juga sangat penting, salah satunya adalah ikut mendirikan Boedi Oetomo.

Tjipto Mangoenkoesoemo dilahirkan di Pecangakan, Ambarawa, pada tahun 1886. Namanya terutama dikenal sebagai salah satu dari “Tiga Serangkai” dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dua lainnya adalah Ernest Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara.

Tjipto menempuh pendidikan kedokteran pribumi di STOVIA, Batavia. Pada masa ini ia sudah merasakan berbagai ketimpangan sosial, baik di lingkungan pendidikan atau pun pergaulan sehari-hari, seperti peraturan STOVIA yang mewajibkan golongan pribumi memakai pakaian tradisional dan melarang memakai pakaian barat, kecuali bagi mereka yang bekerja dalam lingkungan administrasi kolonial.

Tjipto sudah rajin menuliskan isi pikirannya mengenai situasi sosial saat itu dalam surat kabar De Locomotief. Hal ini membuatnya sering mendapat teguran dari pemerintah kolonial. Pada tahun 1908 ia turut dalam pembentukan organisasi Boedi Oetomo bersama rekan-rekannya, antara lain Wahidin Soedirohoesodo, Radjiman Wedjodiningrat, Soetomo, juga adiknya, Goenawan Mangoenkoesoemo. Perbedaan pendapat dengan rekan-rekan lainnya membuatnya meninggalkan Boedi Oetomo.

Tjipto sempat membuka praktik dokter di Solo sebelum mengambil peran aktif dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada tahun 1911. Penghargaan yang diterimanya dari pemerintah Belanda dikembalikannya ke Batavia. Selanjutnya ia ke Bandung, dan bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij yang banyak menyerukan tujuan kemerdekaan.

Di Bandung, Tiga Serangkai ini menerbitkan harian De Express sebagai media propaganda perjuangan mereka. Sikap kritis mereka yang anti diskriminasi dan rasialisme, juga dengan mencetuskan ide pemerintahan sendiri, dan bukan kolonial Belanda, membuat mereka beritga diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Karena kondisi kesehatan, Tjipto dipulangkan pada tahun 1914.

Tiba di Hindia, Tjipto langsung membangun kembali semangat Indische Partij dengan nama baru, Insulinde, dengan media propagandanya, Panggoegah dan Indische Beweging. Tulisan-tulisannya kerap membuat pemerintah kolonial marah dan mencoba mengajukannya ke pengadilan.

Ketika pemerintah kolonial membetuk Volksraad (Dewan Rakyat), dengan tujuan agar terlihat demokratis, Gubernur Jendral van Limburg Stirum mengangkat Tjipto menjadi salah satu anggota. Tapi Tjipto sulit dibendung, ia tetap kritis, bahkan berpidato tentang persekongkolan Sunan Surakarta dengan Residen dalam menipu rakyat. Tahun 1919 Tjipto mulai melakukan kampanye anti-raja. Tahun 1920 Tjipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota Insulinde, bernama Marie Vogel.

Aktivitasnya dengan Insulinde akhirnya membuat ia ditangkap, diadili, dan diasingkan ke daerah yang tidak berbahasa Jawa, di antaranya ke Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur. Akhirnya Tjipto diberi tahanan kota di Bandung. Sehari-hari Tjipto membuka klinik di Pangeransoemedangweg, Tegallega, dekat dengan gedung perkumpulan pribumi, Societeit Mardihardjo. Selain itu ia juga bersepeda keliling kampung untuk mengobati orang sakit. Pada masa ini Tjipto bertemu dan aktif bersama nasionalis yang lebih muda, Soekarno.

Ketika terjadi pemberontakan komunis pada tahun 1926, Tjipto dituduh membantu pergerakan itu sehingga ia ditangkap dan dipenjara. Pada tahun 1927 diputuskan Tjipto diasingkan ke Banda, kemudian dipindahkan ke Bali, lalu Makassar, dan akhirnya ke Sukabumi.

Pada tahun 1943 kondisi kesehatan Tjipto semakin buruk, asmanya semakin parah, sehingga ia dilarikan ke Batavia untuk perawatan. Namun jiwanya tidak tertolong lagi, pada tanggal 8 Maret 1943 ia mengucapkan kata-kata terakhirnya: “Tanggal 8 Maret pemerintah kolonial menyerah. Tanggal itu juga, aku menyerahkan diri kepada yang Mahakuasa.”

dr. Wahidin Soedirohoesoedo (1852-1917):

Wahidin
Wahidin dilahrikan di sebuah desa di kaki Gunung Merapi, yaitu Desa Mlati, Sleman, sekitar 8 km sebelah utara dari pusat kota Yogyakarta. Ayahnya, Arjo Soediro, yang berasal dari Bagelen, adalah seorang ronggo atau pembantu wedana yang memiliki hak mengelola tanah, sehingga keluarga mereka cukup sejahtera.

Pendidikan dasar Wahidin ditempuh di Mlati dan dengan bantuan Frits Kohle, ia dapat melanjutkan ke ELS di Yogyakarta. Frits Kohle adalah suami kakak perempuan Wahidin yang menjadi administratur perkebunan tebu di Wonolopo, Sragen. Sebelum masuk ke ELS, Frits memberikan pendidikan privat lebih dahulu kepada Wahidin di rumahnya. Kemudian bersama dengan anak-anaknya sendiri, semua disekolahkan di ELS.

Setelah lulus, pada 1869 Wahidin melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Djawa di Weltevreden. Sekolah Dokter Djawa didirikan tahun 1851 dan berkembang menjadi STOVIA pada 1902. Wahidin dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu singkat, hanya 22 bulan dari normalnya yang tiga tahun. Setelah itu ia diangkat menjadi Asistent Leerar atau Asisten Guru.

Setelah beberapa tahun, Wahidin kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai pegawai kesehatan pemerintah. Dua dokter Belanda yang tidak menyukai Wahidin menjulukinya sebagai kwakzalver atau dukun sihir dan mengadu kepada Residen Yogyakarta agar mencabut izin praktik Wahidin. Ternyata izin praktik Wahidin benar-benar dicabut.

Masyarakat umum tidak peduli dan tetap berobat kepada dokter Wahidin yang kemudian menambahkan namanya dengan Soedirohoesodo yang berarti tangguh dalam mengobati. Karena terbukti pelayanan dan pengobatan dokter Wahidin memang bagus, izin praktik pun dikembalikan lagi.

Mulai bulan Mei 1895 Wahidin dan seorang Belanda, F.L. Winter, membuat surat kabar “Retno Dhoemilah” (= permata yang bercahaya) yang terbit setiap hari Selasa dan Jumat. Setelah pensiun dari dinas pemerintah, Wahidin pun memimpin redaksi Retno Dhoemilah. Pemberitaannya menjadi lebih luas dan lebih fokus dalam menyampaikan semangat dan pikiran perjuangan kebangsaan. Selain itu, dia juga menerbitkan majalah Goeroe Desa yang fokus pada pengetahuan pertanian dan kesehatan.

Tahun 1906, setelah menjual empat delman dan 18 ekor kuda miliknya, Wahidin memutuskan untuk berkeliling Jawa sendirian, mengampanyekan pentingnya pendidikan sambil menggalang pembentukan lembaga beasiswa untuk membantu kalangan yang tidak mampu.

Ketika mampir ke Sekolah Dokter Djawa yang sudah menjadi STOVIA, beberapa siswa di situ tertarik untuk menyimak perjalanan dan pikiran dokter Wahidin, di antaranya adalah Soetomo, yang kelak juga menjadi tokoh pergerakan nasional. Dengan dasar pertemuan itulah kemudian lahir perkumpulan Boedi Oetomo. Konon nama ini muncul dari ucapan dari Wahidin: “Punika setunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami!” (Itu merupakan suatu perbuatan yang baik dan menunjukkan keluhuran budi!).

Dalam kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta bulan Oktober 1908, dokter Wahidin diangkat sebagai ketua panitia kongres. Boedi Oetomo pun berusaha mewujudkan cita-cita lama dokter Wahidin untuk mendirikan lembaga beasiswa pendidikan dengan mendirikan sebuah lembaga khusus bernama Darmawara pada 25 Oktober 1913.

Pada tahun 1917 lembaga ini mendapatkan bantuan sebesar 50 ribu gulden dari pemerintah Hindia Belanda dan digunakan untuk menyekolahkan anak-anak pribumi yang pandai, namun miskin, untuk bersekolah ke Belanda. Sultan Hamengkubuwono VII juga memberikan bantuan sebidang tanah seharga 100 ribu gulden dan dana sebesar 45 ribu gulden yang digunakan untuk membangun dua sekolah di Yogyakarta dan satu sekolah di Surakarta.

Enam hari setelah peringatan ulang tahun Boedi Oetomo kesembilan, dokter Wahidin Soedirohoesodo wafat dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di kampungnya di Mlati, Sleman, Yogyakarta.

dr. Goenawan Mangoenkoesoemo (1888-1929):

Nama Goenawan memang tidak seterkenal kakaknya, Tjipto Mangoenkoesoemo. Tetapi mereka sama-sama memiliki minat mendalam pada politik, sama-sama pembangkang. Namun, berbeda dengan Tjipto yang sangat berani menunjukkan sikap antidiskriminasi di hadapan publik, Goenawan lebih memilih menunjukkannya melalui tulisan seperti yang dilakukannya melalui koran Java Bode, isinya menyerang kebijakan pemerintah yang mengangkat bupati berdasarkan garis keturunan dan bukan kemampuannya.

Nama Goenawan tercatat dalam daftar siswa STOVIA sebagai Mas Goenawan Mangoenkoesomo, kelahiran Japara, 1888. Ia masuk STOVIA tahun 1903 dan lulus tahun 1911. Setelah lulus, ia menikah dengan adik dr. Soetomo, Raden Adjeng Srijati (1895-1963). Tahun 1915-1916 menjadi Asisten Guru dan tahun 1919 bersama Soetomo ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan kedokteran mereka dan berhasil mendapatkan diploma dokter tahun 1921.

Pulang ke Hindia, Goenawan ditempatkan di Palembang sebagai dokter kabupaten, sedangkan Soetomo di Surabaya. Tahun 1927 Goenawan ke Belanda lagi untuk menempuh pendidikan spesialisasi penyakit paru-paru hingga tahun berikutnya. Setelah itu ditempatkan di CBZ Semarang.

Tak lama bertugas di Semarang, Goenawan wafat pada 1929. Istrinya, Srijati, lalu pindah ke Surabaya untuk mengasuh asrama sekolah yang didirikan oleh Soetomo, kakaknya, di bawah pengawasan Boedi Oetomo. Srijati menikah lagi dengan dr. Raden Sahit pada 1939, namun suaminya ini juga wafat lebih dulu pada tahun 1957. Srijati wafat enam tahun kemudian, pada 1963.

Peran Goenawan di Boedi Oetomo terutama dalam menyusun konsep-konsep keorganisasian yang dijadikan pedomann operasional dan pengembangan perkumpulan itu. Ia juga banyak menulis tentang organisasi tersebut, di antaranya “De Geboorte van Boedi Oetomo,” “Boedi Oetomo in de Periode 1908-1918,” dan “Ons Standpunt tegenover den Godsdienst.” Srijati juga menulis “De Javaansche Vrouw.” Ketiga tulisan tersebut termuat dalam buku “Soembangsih; Gedenkboek Boedi-Oetomo 1908 – 20 Mei – 1918” yang diterbitkan oleh Tijdschrift Nederlandsch Indie Oud en Nieuw, Amsterdam, 1918.

Tulisan-tulisan Goenawan di surat kabar Java Bode konsisten menyerukan tentang persamaan hak antara kalangan Bumiputera dengan golongan Eropa, ia bicara tentang ketidakadilan, tentang kekolotan kalangan pribumi yang selalu mengalah dan menerima nasib, juga kritik tentang kebiasaan menikah muda di kalangan pribumi.

Sejak berdirinya Boedi Oetomoe pada 1908, hubungan antara Soetomo dengan Goenawan semakin erat. Menurut Soetomo, Goenawan adalah motor, penggerak, dan motivator Boedi Oetomo. Ia sangat setia dan konsisten. Tanpa Goenawan, Boedi Oetomo akan berada dalam ketimpangan. Tak heran bila setelah wafatnya Goenawan, Tjipto Mangoenkoesoemo mengatakan bahwa Soetomo telah kehilangan dalangnya.

dr. Slamet (Atmosoediro) (1891-1930):

dr-slamet (1).jpg

Slamet Atmosoediro dilahirkan di Lampegan, Cianjur, pada tahun 1891. Mengikuti pendidikan di STOVIA tahun 1906 dan lulus pada tahun 1916. Seperti para dokter lainnya, ia juga mesti menjalani ikatan dinas selama 10 tahun dengan bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Slamet mula-mula ditempatkan di Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Pelayanan Medis Sipil) di Centrale Burgerlijke Ziekenhuis atau sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Setelah itu, ia dipindahkan ke Tobelo, Halmahera, dari tahun 1918 sampai 1921. Lalu dipindahkan lagi ke Batavia, dan pada 1925 ia betugas di Garut.

Ketika wabah pes menghebat di kota tersebut pada 1927, Slamet ditugaskan menjadi ketua tim penanggulangan. Dan warsa 1929, saat pes belum kunjung mereda, ia diangkat menjadi kepala rumah sakit di tempatnya bekerja, yakni di Algemeen Ziekenhuis Garoet.

Pada 1930, seorang anak pasien pes datang untuk dirawat di rumah sakit Garut tempat Slamet bekerja. Pasien itu baru dijemput dari Bojongloa, Bandung. Namun, baru sehari dalam perawatan anak itu meninggal dunia. Dokter Slamet—yang memeriksa pasien—dan sejumlah orang yang berada di sekitar anak itu mengalami demam tinggi karena terpapar pes.

Tanggal 10 Mei 1930, Slamet dibawa ke Tasikmalaya untuk diperiksa di rumah sakit yang memiliki peralatan lebih baik daripada rumah sakit di Garut. Dalam sehari, kondisi Slamet kian memburuk. Dan keesokan harinya, 11 Mei 1930, ia pun meninggal dunia.

Berdasarkan pemeriksaan dokter Parjono dan dokter Soekardjo di Tasikmalaya, Slamet dinyatakan terpapar pes. Oleh karena itulah Slemet kemudian kerap disebut sebagai martir dalam penanggulangan wabah pes di Hindia Belanda.

Slamet meninggalkan seorang istri dan lima orang anak yang masih kecil. Anak bungsunya bahkan baru berusia dua minggu ketika ia tinggalkan untuk selamanya. Menurut laporan De Indische Courant (19/08/1930) pemerintah memberikan santunan kepada keluarga Slamet sebesar 246.50 gulden per bulan.

Sebagai penghormatan kepada dokter berdedikasi itu, upacara pemakamannya dihadiri oleh sejumlah tokoh penting seperti Bupati Garut Suriakartalegawa, Bupati Tasikmalaya, Asisten Residen A.A.C. Linek, para wedana, dan para administratur perkebunan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda bahkan mengirimkan telegram kepada Bupati Tasikmalaya menyampaikan belasungkawa.

Puluhan tahun kemudian nama Slamet dijadian nama rumah sakit di Garut tempatnya pernah bertugas, yakni Rumah Sakit Umum (RSUD) dr. Slamet.

dr. Soekimin:

Sebelum masuknya Jepang, direktur RS Mata Cicendo adalah Dokter G. Fast yang sudah menjabat sejak tahun 1935. Pada tahun 1936 posisi direktur sempat diselang oleh Dokter J.H.R. Dik, tapi kemudian diganti lagi oleh Dokter G. Fast yang menjabat sampai tahun 1942.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), dr. Soekimin menjabat sebagai direktur ke-8 Rumah Sakit Khusus Mata Cicendo. Dalam menjalankan tugasnya beliau didampingi oleh seorang dokter Jepang. Pada masa itu RS Mata Cicendo diubah menjadi rumah sakit umum yang melayani semua penyakit. Dokter Sukimin wafat pada tahun 1945 dan jabatan direktur kembali dijabat oleh Dokter G. Fast sampai tahun 1947.

dr. Roem Mangoenprodjo:

Dr. Raden Roem (Particulier Ind. Arts) adalah saudara kandung dari Dr. Raden Mohamad Stamboel. Pada 26 April 1920 Dr. Raden Roem mengumumkan di koran Bataviaasch Nieuwsblad, menambah nama keluarga Mangoenprodjo.

Raden Roem dilahirkan di Juana, Jawa Tengah, pada tahun 1883. Ia mengikuti pendidikan di STOVIA dan berhasil lulus pada tahun 2565 (?). Setelah menjadi dokter, dr. Roem pernah bertugas di Kediri, Cimahi, P. Sambu, Mojokerto, dan Bandung.

Dr. Raden Roem Mangoenprodjo menikah dengan Raden Ayu Soeharti, menetap di Bendoel, Sukatani, Purwakarta, dan memiliki anak bernama Raden Soejatiman Widjanarka. Tahun 1927 mencatatkan keluarganya ke pencatatan sipil Belanda. Widjanarka/Widjanarko wafat di Yogyakarta dan dimakamkan di Bantul.

Widjanarka memiliki pengasuh pendamping bernama Warijo. Warijo memiliki anak, di antaranya adalah Almarhuman Dr. Enin Roekmini yang bersuamikan Pak Pito (Pito Soeripto) dan tinggal di Bandung.

Dokter Roem wafat di Bandung pada tahun 1939 kemudian dimakamkan di Kampong Pekayon, Desa Kranggan, Kec. Prajurit Kulon, Mojokerto. Ia meninggalkan warisan sebidang tanah kering di Ds. Bendoel, Kec. Sukatani, Purwakarta, kepada saudara kandungnya, Rd. Mohamad Stamboel.

dr. Roebini :

Dokter Roebini dan istrinya, Amaliah Roebini, ikut tewas dalam pembunuhan massal kaum intelektual di Kalimantan yang dilakukan Jepang di Pontianak, 1944. Dokter lain yang menjadi korban dalam pembantaian ini – yang namanya ikut dibadikan sebagai nama jalan di Bandung adalah Dokter Soesilo, adik dari Dokter Soetomo, pendidi Boedi Oetomo. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Peristiwan Mandor Berdarah. Para korban pembantaian ini dimakamkan di lokasi yang sekarang dinamai Makam Juang Mandor.

dr. Susilo (1891-1944) :
Adik dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo. Beliau lulusan STOVIA tahun 1913, kemudian berperan banyak dalam pemberantasan penyakit malaria. Tewas dibunuh Jepang bersama sejumlah dokter lainnya di Kalimantan tahun 1944.

Prof. Abdulrachman Saleh (1909 – 1936):

Abdulrachman Saleh adalah seorang Pahlawan Nasional dengan multi talenta dan multi juang. Seorang dokter yang dikenal sebagai Bapak Fisiologi Indonesia, yang juga tokoh Radio Republik Indonesia, dan penerbang olahraga. Ia dikenal juga dengan nama julukan Karbol – karena kebiasaannya mengepel lantai kamar setiap pagi.

Abdulrachman Saleh dilahirkan pada 1 Juli 1909 di Batavia. Ayahnya, Mas Mohammad Saleh, adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Kakak-kakaknya juga lulusan dari STOVIA, masing-masing  Abdulazis Saleh, Abubakar Saleh, dan Alibasah Saleh.

Karbol menempuh pendidikan mulai dari HIS, MULO, dan akhirnya juga ke STOVIA. Namun sebelum lulus, pemerintah Hindia Belanda membubarkan sekolah dokter pribumi ini pada tahun 1927. Abdulrachman Saleh dan beberapa rekannya terpaksa melanjutkan pendidikan ke AMS di Malang, dan berhasil lulus pada 1929.

Karbol kembali ke Batavia dan melanjutkan pendidikannya di Geneeskundige Hoogeschool (GHS – Sekolah Tinggi Kedokteran) yang baru dibuka pada tahun 1927. Lembaga pendidikan tinggi ini adalah yang ketiga di Hindia Belanda setelah THS Bandoeng (1920) dan Rechtshoogeschool (RHS) Batavia (1924). Setelah lulus dari GHS tahun 1937, ia membuka praktik dokter umum.

Tahun 1942 Karbol mendalami dan mengembangkan ilmu faal (fisiologi) sambil mengajar di NIAS (Nederlandsch-Indische Artsen School) Surabaya. Sejak di GHS Karbol juga aktif dalam penelitian dan menulis laporan dalam jurnal Geneeskundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië. Tak heran bila Universitas Indonesia menobatkannya sebagai Bapak Ilmu Fisiologi Indonesia pada tahun 1958.

Selain dunia kedokteran, Karbol juga aktif dalam perkumpulan olahraga terbang hingga memiliki surat izin terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan radio Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (VORO) yang setelah Proklamasi Kemerdekaan RI menyiapkan sebuah pemancar dengan nama Siaran Radio Indonesia Merdeka dan kemudian terlibat dalam mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Karbol bergabung dengan dinas angkatan udara dan menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun tahun 1946. Pada tahun 1947, Karbol bersama Adisutjipto (juga lulusan GHS) mendapatkan tugas ke India. Dalam perjalanan kembali mereka mampir ke Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya.

Dalam perjalanan pulang menuju Yogyakarta, 29 Juli 1947, pesawat mereka ditembak oleh dua pesawat Kitty-Hawk Belanda, akibatnya pesawat mereka oleng dan menabrak sebuah pohon. Pesawat itu patah dua bagian dan terbakar. Semua penumpangnya gugur dan kemudian dimakamkan di Permakaman Kuncen, Yogyakarta.

Pata tahun 1952, nama Adisutjipto dijadikan nama Lapangan Udara Yogyakarta menggantikan Maguwo. Dan pada tahun 1962, TNI AU menetapkan tanggal 29 Juli sebagai Hari Bakti TNI AU. Pada tahun 1974 Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto diberi penghargaan sebagai  Pahlawan Nasional.

dr. Saleh:

Ada tiga nama Saleh yang terdaftar di STOVIA, masing-masing (1) Raden Moh. Saleh Mangkoepradja, kelahiran Ciamis tahun 1872, masuk Sekolah Dokter Djawa tahun 1885 dan lulus tahun 1893, yang kedua (2) Raden Mohamad Saleh Mangoendihardjo, kelahiran Sukabumi tahun 1892, masuk STOVIA tahun 1907 dan lulus tahun 1916. Satu Saleh lainnya adalah (3) Achmad Saleh, kelahiran Padang 1891, masuk STOVIA tahun 1905 dan lulus 1915.

Sebenarnya ada Saleh lain yang terdaftar dengan nama berbeda, yaitu Mas Mohamad Salech, kelahiran Salatiga 1888, masuk STOVIA tahun 1903 dan lulus tahun 1911. Entah dr. Saleh mana yang dimaksud pada nama jalan dr. Saleh di Bandung.

Tentang Achmad Saleh, ada berita dari Het Nieuwsblad voor Sumtra tanggal 20 Desember 1954 yang menyatakan: “Minggu pagi pukul sepuluh lewat seperempat, dokter Achmad Saleh, inspektur pelayanan kesehatan Provinsi Sumatera Utara, meninggal di Medan. Dokter Achmad Saleh mencapai usia 65 tahun. Ia baru sebulan ditempatkan di Medan, menggantikan Dokter Sumarsono.”

Tentang Mohamad Saleh, Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 16 Februari 1925 memberitakan tentang sebuah komite, yang terdiri dari tokoh-tokoh Tionghoa di Bandung, termasuk ketua asosiasi Konfusianisme, mendorong pers Tionghoa untuk memberikan penghormatan atas jasa-jasa Mohammad Saleh yang baru saja meninggal dunia, dalam rupa batu peringatan di pekuburan di Sumedang, tempat dokter tersebut dimakamkan.

Sebelumnya, pada 22 Desember 1924, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie sudah memberitakan tentang pemakaman Dokter Saleh di Sumedang yang dihadiri oleh sedikitnya 500 orang. Disebutkan bahwa nama Dokter Saleh dikenal di seantero Hindia dan bahwa saat pemakaman itu Pengawas Sekolah Sumedang Utara dan seorang tokoh Tionghoa dari Garut ikut angkat bicara.

Tentang Raden Mohamad Saleh Mangkoepradja, Java Bode 17 Oktober 1894 memberitakan kiprah Dokter Jawa tersebut dalam penanganan penyakit beri-beri di wilayah Bogor sampai Cicalengka. Sepertinya pemberitaan di atas semua berhubungan dengan Raden Mohamad Saleh Mangkoepradja.

Masih ada dua Saleh lagi, yakni Raden Mohamad Saleh Mangoendihardjo dan Mas Mohamad Salech.

Raden Mohamad Saleh Mangoendihardjo dilahirkan di Balerejo, sebuah desa antara Madiun dan Ponorogo, pada 14 April 1892. Rosihan Anwar pernah menulis dalam materi ceramahnya di Fakultas Kedokteran UI, 22 Mei 2007, bahwa ada seorang dokter yang terus konsisten menjadi dokter dan tidak keluar dari jalur profesinya, yaitu Dr. Saleh Mangundiningrat (1891-1962).

Setelah bertugas dalam pemberantasan penyakit pes di Jawa, ia ditugaskan ke Sawah Lunto dan menjadi direktur rumah sakit umum di sana. Kemudian ia dan keluarganya berangkat ke Belanda untuk melanjutkan ilmu kedokterannya di Universiteit Amsterdam. Ia lulus dan meraih gelar doktor pada tahun 1929, menjadi Europees Arts dan bukan lagi Indisch Arts.

Kembali ke Hindia Belanda, ia ditempatkan di Manado, kemudian ke Surabaya, dan akhirnya Solo, tempat ia bekerja sebagai dokter pribadi Pakubuwono X.

Buku “Potret Cendekiawan Jawa” karya M. Nursam menyebutkan bahwa nama Mangoendiningrat diberikan oleh Pakubuwono X menggantikan nama Mangoendihardjo setelah Dokter Saleh bekerja sebagai dokter pribadinya dengan jabatan bupati pada tahun 1937. Kepadanya juga diberikan gelar kebangsawanan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).

Anak-anak Dokter Saleh semuanya “menjadi orang,” yaitu: Siti Wahyunah Poppy Sjahrir, S.H. lulusan Universitas Leiden, Dr. Soedjatmoko yang pernah menjadi Duta Besar RI di Washington dan Rektor Universitas PBB di Tokyo, Prof. Miriam Budiardjo guru besar ilmu politik UI, dan Nugroho Wisnumurti, S.H. yang menjadi Duta Besar Kepala Perwakilan RI di PBB. Prof. KRMT Saleh Mangundiningrat lalu menjadi Rektor Universitas Cokroaminoto di Solo sampai akhir hayatnya tahun 1962.

Terakhir, Mas Mohamad Salech, yang punya banyak macam cara penulisan namanya. Mengikuti buku 100 Tahun Kebangkitan Nasional (Bambang Eryudhawan, 2008) di sini namanya ditulis Mochammad Saleh. Beliau lahir di Salatiga pada 15 Maret 1888. Pendidikan dasarnya ditempuh di ELS hingga lulus tahun 1902, kemudian lanjut ke STOVIA dan lulus tahun 1911.

Setelah lulus ia bertugas di Batavia sampai tahun 1913, kemudian ke Boyolali, Klaten, Jember, Bondowoso, Besuki, Lumajang, Pasuruan, Bangil, dan Probolinggo. Sejak tahun 1926 membuka praktik pribadi di Probolinggo.

Ketika masih belajar di STOVIA, ia menikah dengan Emma Naimah pada 1904. Pasangan ini dikaruniai 11 putra-putri, salah satunya adalah Marsda TNI Prof. Dr. Abdurachman Saleh (1909-1947) yang gugur saat pesawat terbang yang ditumpanginya bersama Adisutjipto ditembak jatuh di Maguwo, Yogyakarta.

Dalam pergerakan kebangsaan, ia ikut mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo dan menjadi Komisaris di Boedi Oetomo cabang Betawi. Ketika Boedi Oetomo menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) ia duduk sebagai Penulis II dan menjadi Ketua Parindra cabang Probolinggo. Mochammad Saleh wafat di Probolinggo pada 2 Maret 1952. Namanya diabadikan sebagai nama RSUD Dr. Mohammad Saleh dan Jalan Dr. Mohammad Saleh di Probolinggo.

Dr. Abdul Rivai :
Pemuda Sumatra Barat yang bersekolah di STOVIA pada 1886, lulus tahun 1894 kemudian bekerja sebagai dokter Belanda. Tahun 1899 melanjutkan pendidikan ke Belanda dengan bantuan Van Deventer dan Prof. Eijkman. Rupanya peraturan Belanda belum membolehkan lulusan STOVIA melanjutkan studi seperti itu sehingga Rivai mengikuti kursus saja untuk mendapatkan ijazah gymnasium seperti syarat yang berlaku saat itu.

Tahun 1904 Belanda mulai membuka program lanjutan bagi siswa STOVIA, Abdul Rivai langsung mengikuti program itu dan lulus tahun 1907. Tahun berikutnya Abdul Rivai mengikuti program ujian terbuka tingkat doktoral (tanpa disertasi) di Universitas Gent, Belgia, dan lulus. Dengan begitu Abdul Rivai adalah orang Indonesia pertama yang lulus sebagai dokter Belanda sekaligus sebagai doktor (S-3) pertama. Pada tahun 1910 Abdul Rivai bertugas sebagai dokter militer di Cimahi, lalu Cicadas, dan selanjutnya akan banyak berpindah tempat.

Kegiatan Abdul Rivai dalam bidang politik cukup menonjol dengan menjadi anggota Volksraad selama tiga periode (1918-1923) pada masa Gubernur Jendral van Limburg Stirum. Abdul Rivai juga aktif sebagai jurnalis di berbagai media seperti Bintang Hindia, Bandera Wolanda, Pewarta Wolanda, atau koran Belanda, Oost en West dan Algemeen Handelsblad. Adinegoro menyebutnya sebagai “bapak dalam golongan journalistik.”

Ini satu cuplikan tulisannya di edisi pertama koran yang diterbitkannya, Bintang Hindia (1902): “Tak ada gunanya lagi membicarakan bangsawan asal sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek moyang kita keturunan bangsawan, maka kita pun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaian kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan bangsawan pikiran.”

Abdul Rivai meninggal dan dimakamkan di Bandung pada 16 Oktober 1933.

dr. Samjoedo (Sam Joedo Prawiro):

Minim sekali informasi tentang dokter Samjoedo atau Sam Joedo yang bisa ditemukan. Berikut ini sedikit informasi yang dapat dikumpulkan:

Sam Joedo tercatat sebagai dokter di Sawah Loento yang mulai bertugas pada 1 November 1906 dan sekaligus duduk sebagai anggota Dewan Rakyat di sana (1)

Sam Joedo pernah melakukan penelitian penyakit paroritis pada tahun 1920, dan hasil penelitiannya tersebut masih terdapat di Perpustakaan University of Toronto. (2)

Namanya juga tercatat sebagai pelanggan majalah bulanan Kawi terbitan Solo dalam edisi ke-6 1 Agustus 1928 (3)

Dokter Sam Joedo pernah berpraktik di Bandung dan Semarang. Dari daftar nama dokter di Semarang terbitan 1932 nama dr. Sam Joedo Prawiro tercantum beralamat di Bakalweg I (sekarang Jl. Bakal) (4).

Tahun 1945, saat Bung Karno mencarikan jodoh untuk Moh. Hatta, Bung Karno bertanya kepada ibunya Rachmi Hatta di rumahnya di Coopsweg 11, siapa gadis paling cantik di Bandung. Di antara jawabannya adalah: Olek, putri Dewi Sartika, Meta Sam Joedo, putri seorang dokter yang kesohor di Bandung, dan Mieke yang masih kerabat dokter Sam Joedo (5).

Dalam buku Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Gajah Mada University Press, 1986) nama Mas Sam Joedoprawiro diberi keterangan “dokter pensiun Purworejo.” Ia dilahirkan di Soka (Kebumen) pada 30 Juli 2540 (= 1880). Pendidikan dasarnya ditempuh di ELS, lalu dilanjutkan ke STOVIA dan lulus pada 1906. Ia kemudian bertugas di Bogor, Cilacap, Sungai Liat dan Blinyu di Bangka, Pandeglang, Citangsi, Bumiayu, Tegal, Boyolali, Batusangkar, Sawahlunto, dan akhirnya ke Bandung untuk periode 1920-1928.

Di Bandung ia bertugas di rumah sakit mata Cicendo, dan antara 1928-1930 menjadi Kepala Dinas Kesehatan Bandung. Mulai tahun 1930 bertugas di Semarang dan pensiun pada tahun 1933. (6)

Berikut ini tambahan dari Karina Joedo yang dapat juga dibaca pada kolom komentar: “Saya adalah cicit dari Dokter Sam Joedo. Ada dokter Wisnoe Joedo anak dari dokter Sam Joedo. Kakek saya dokter Wisnoe Joedo adalah dokter paru-paru pertama di Indonesia. Dan dulu nama Jalan Bukit Jarian adalah nama dari Kakek saya. Tapi entah kenapa dihilangkan.”

“Padahal kakek sayalah yg sejak Belanda pergi, kurun waktu 1945-1955 merawat pasien tuberkolosis. Dulu namanya Solsana Cipaganti. Sampai pembedahan paru dilakukan oleh kakek saya. Sayangnya rumah sakit tempat kakek saya berbakti diganti menjadi Rumah Sakit Paru Rotinsulu (7).”

Menambahkan informasi di atas, berikut ini kutipan dari Bab II buku Rencana Strategi Bisnis RS Paru Dr. H.A. Rotinsulu Tahun Anggaran 2020-2024: Rumah Sakit Paru Dr. H.A Rotinsulu didirikan dan diresmikan pada tahun 1935 oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berlatar belakang sebagai kelanjutan dari kegiatan Sanatorium Solsana.

Dalam kurun waktu 1945 s.d. 1955 rumah sakit ini mulai merawat penderita penyakit paru-paru khususnya tuberkulosis. Dalam kurun waktu 1955 s.d. 1965, terjadi beberapa kali pergantian pimpinan Rumah Sakit dan selanjutnya sejak tahun 1963 dipimpin oleh Dr. H. A. Rotinsulu.

Pada tahun 1970-an nama Sanatorium dihapus dan diubah melalui SK Menkes RI No.137/SK/IV/78 menjadi Rumah Sakit Tuberkulosis Paru-paru Cipaganti. (8)

Dari wikitree.com, tercantum sedikit informasi dan silsilah. Berikut ini rangkumannya: Dokter M. Sam Joedo lahir pada 30 Juli 1880. Tempat kelahirannya tidak tercantum. Ayahnya adalah Mas Joedoprawiro, kelahiran 21 April 1835 dan meninggal di Kayulawang, Purworejo, pada 10 Januari 1901. Sam Joedo memiliki seorang saudara, namanya Soemar Joedo.

Sam Joedo menikah dengan R.A. Moetmaina Gubeng (Hoebink) dan memiliki keturunan: Wisnoe Joedo, Widjoseno Joedo, Cometa (Joedo) Soedibjo, Nirwono Joedo, Moestiko Joedo, dan Siti Akbarijah (Joedo) Samidjo. Sam Joedo wafat pada 8 Agustus 1943. Moetmaina Gubeng dilahirkan di Gubeng, Surabaya, pada 5 Mei 1885, dan wafat di Bandung, 5 Mei 1963. (9)

Mengenai Wisnoe Joedo, putra dari Sam Joedo, yang sudah dimention di atas, berikut ini kutipan dari buku Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Gajah Mada University Press, 1986): Ia dilahirkan tahun 1906 di Batavia. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di ELS dan HBS, setelah lulus tahun 1925, ia mengikuti jejak ayahnya masuk STOVIA dan lulus pada 1932.

Mula-mula ia bertugas sebagai asisten dokter yang dijalaninya selama tiga tahun, kemudian menjadi pegawai Eijkman Instituut di Batavia sampai 1938. Sempat sebentar membuka praktik dokter di Tasikmalaya, tapi kemudian ke Kendari. Antara 1939-1940 bertugas di CBZ Surabaya, lalu ke Sanatorium Tjisaroea, Bogor. Kembali ke Tasikmalaya untuk bertugas sebagai dokter kabupaten, lalu membuka praktik swasta sejak tahun 1942.

Wisnoe Joedo juga menulis sejumlah artikel, di antaranya ditulis bersama Chr. Van der Poel, dengan judul Vaccinatie-proven tegen de ziekte van-Weil yang dimuat dalam Mededeelingen Van Den Dienst Der Volksgezondheid In Nederlandsch – Indie tahun 1937 (6).

  1. Regeerings-Alamanak voor Nederlandsch-Indie 1920. Tweede Gedeelte.
  2. Repertorium op de Literatuur Betreffende de Nederlandsche Kolonien; Vijfde Vervolg 1916-1920, door W.J.P.J. Schalker & W.C. Muller, ‘S-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1923
  3. https://www.sastra.org/koran-majalah-dan-jurnal/kawi/560-kawi-purbacaraka-et-al-1928-08-1809
  4. https://www.semarang.nl/articles.php?lng=nl&pg=23&prt=-1
  5. Bung Hatta; Pribadinya dalam Kenangan. Meutia Farida Swasono, Ed. Sinar Harapan, 1980.
  6. Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Gajah Mada University Press, 1986)
  7. Informasi dari cicit Sam Joedo dalam kolom komentar.
  8. Rencana Strategi Bisnis RS Paru Dr. H.A. Rotinsulu Tahun Anggaran 2020-2024
  9. https://www.wikitree.com/wiki/Joedoprawiro-3

dr. Djoendjoenan Setiakusumah (1888-1968):

Menurut buku Ensiklopedi Umum dari Yayasan Kanisius Jakarta (1973), nama lengkapnya adalah Raden Djundjunan Setiakusumah. Belakangan di depan namanya ditambahkan gelar dokter dan haji. Namanya terdaftar masuk STOVIA pada tahun 1906 dan lulus pada 1918. Ensiklopedi itu juga menyebutkan bahwa Djundjunan merupakan salah satu dokter angkatan pertama yang lulus dari STOVIA, seorang tokoh terkenal dalam pergerakan nasional di Jawa Barat, salah seorang pendiri Paguyuban Pasundan, dan menjelang runtuhnya Hindia Belanda bekerja di rumah sakit Juliana Ziekenhuis di Bandung.

Djundjunan dilahirkan di Ciawi, Tasikmalaya, pada 1 Agustus 1890. Ayahnya, Raden Kanduruan Argakusumah adalah seorang camat di Cimaragas yang saat itu termasuk Kawedanaan Banjar, Kabupaten Tasikmalaya. Ibunya, Nyi Ratnadewi, kelahiran Pager Ageung, Tasikmalaya. Pendidikan dasar dan menengah Djundjunan ditempuh di Bandung, selanjutnya ke STOVIA di Batavia. Tahun 1915 Djundjunan menikah dengan Nji Rd. Sasih Wulan, anak Patih Sumedang di Pangarang, di rumah keluarga Rd. Kd. Wargapradja.

Ketika masih menjadi siswa STOVIA, Djundjunan dan kawan-kawannya yang juga berasal dari Tatar Sunda mendirikan perkumpulan Pagoejoeban Pasoendan yang berwawasan budaya dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup etnis Sunda dan melepaskan diri dari penjajahan kebudayaan barat. Ia mempertemukan tokoh-tokoh Sunda di rumah D.K. Ardiwinata di Gang Paseban, Batavia, pada 20 Juli 1913, hingga pada 22 September 1914 lahirlah perkumpulan Pagoejoeban Pasoendan.

Setelah lulus STOVIA pada 1918, Djundjunan ditempatkan di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, rumah sakit pemerintah, di Semarang, dan langsung bertugas menghadapi penyakit kolera dan flu Spanyol yang sedang mewabah saat itu. Tahun-tahun berikutnya ia pindah-pindah tugas ke berbagai tempat di Sumatra, di antaranya di Sawahlunto dan Talu. Di sini ia bekerja di lingkungan orang hukuman dan para pekerja kontrak. Pasien yang harus dihadapinya kadang berjarak puluhan hingga ratusan kilometer yang harus ditempuh melewati hutan dan sungai.

Antara tahun 1934-1925 Djundjunan kembali bertugas di Semarang, kemudian pindah ke Purwakarta, Sumedang, Tanjungpriuk, dan Serang. Saat di Serang, ia mengajukan permohonan untuk mengisi tenaga dokter pribumi di Juliana Ziekenhuis Bandoeng yang baru dibuka. Ia diterima dan mulai bekerja pada 1 Agustus 1928.

Setelah 10 tahun bekerja, ia ditugaskan untuk mengelola Poliklinik Pasoendan yang baru didirikan di Pasoendanweg. Tugas ini dijalaninya hingga masa pendudukan Jepang. Pada 1940 Djundjunan menikah dengan M. Roekajah, seorang bidan dari Majalaya. Pada 1942, ia ditunjuk menjadi Kepala Kesehatan Kota dengan tugas mengawasi rumah sakit-rumah sakit Santo Yusuf, Cicendo, dan Immanuel, sementara rumah sakit Juliana berada di bawah pengawasan Jepang.

Memasuki masa revolusi kemerdekaan, Djundjunan dan keluarganya ikut mengungsi berpindah-pindah tempat, mula-mula ke Majalaya, lalu Cikoneng, Ciamis. Selama dalam pengungsian, pekerjaan kedokterannya tetap dilakukan, bahkan sempat membuka rumah sakit darurat di Pereng. Setelah 1948, Djundjunan dan keluarga kembali ke Bandung dan menetap di Gang Coorde 16A (Jalan Kejaksaan) sebelum mendapatkan kembali rumah lamanya di Burgermeestercoopsweg 12 (Jalan Pajajaran 68).

Djundjunan pensiun dari dinas kesehatan pada tahun 1956 dan wafat pada tanggal 2 Agustus 1968. Ia dimakamkan di TPU Sirnaraga. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah jalan raya di Bandung, yaitu Jalan dr. Djundjunan (= Jalan Terusan Pasteur).

dr. Hasan Sadikin:

Bagi warga Bandung, nama Hasan Sadikin pasti sangat akrab di telinga, karena sejak tahun 1967, nama ini melekat sebagai nama rumah sakit utama di Kota Bandung, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Tapi sebagai nama pribadi, nama seorang tokoh, atau nama seorang dokter, entah siapa yang mengenalnya. Informasi tentangnya sangat sangat minim.

Ada banyak tulisan tentang sejarah rumah sakit di Bandung, atau bahkan tentang sejarah Rumah Sakit Hasan Sadikin, tapi bisa dipastikan informasi pribadinya tidak akan banyak, paling 1-2 paragraf singkat saja, seperti yang juga tercantum di website RSHS, https://web.rshs.or.id/ yang hanya memuat tiga kalimat pendek saja.

Berikut ini salinannya: “Tahun 1962 menjadi Dekan Fakultas Kedokteran UNPAD dan pada bulan Agustus 1965 juga diangkat menjadi Direktur Rumah Sakit Rantja Badak menggantikan dr. H. Chasan Boesoirie Sp THT. Pada saat beliau menjabat posisi ini, pada tanggal 16 Juli 1967 beliau wafat. Kemudian sebagai penghormatan atas jasa beliau, pemerintah mengganti nama RS Rantja Badak menjadi RS dr. Hasan Sadikin.”

Ada sedikit tambahan informasi dari https://shorturl.at/bhAEF yang menyebutkan bahwa ayah Hasan Sadikin adalah seorang landbouwconsulent atau penasehat pertanian, sedangkan kakeknya, seorang pegawai pamongpraja. Hasan Sadikin memiliki lima orang saudara. Salah satu adiknya adalah Ali Sadikin, letnan jendral dalam Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) yang kemudian diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1966.

“Nama Hasan Sadikin selalu melekat karena telah berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Perjuangannya untuk terus memberikan pelayanan dan dedikasi terhadap dunia kesehatan tak diragukan lagi. Bahkan ditengah-tengah sakit yang dideritanya, membuat Hasan Sadikin terus bekerja dan memimpin rumah sakit. Di usia yang masih muda, Hasan Sadikin meninggal dunia tanggal 16 Juli 1967 akibat penyakit yang dideritanya.”

dr. Nijland:

images

Dokter Nijland yang namanya sampai sekarang mash digunakan sebagai sebuah nama jalan di Bandung, adalah seorang peneliti di Parc Vaccinogene dan Institut Pasteur di Weltevreden. Untuk mengisi keterangan tentang tokoh yang banyak jasanya dalam pengembangan vaksin ini, saya sarikan sebuah tulisan dari G. Grijns yang dimuat dalam Nederlandsch Tijdschrift voor Geneeskunde yang diterbitkan oleh De Erven F. Bohn, Haarlem, tahun 1922.

Nama lengkapnya adalah Albertus Hendrikus Nijland, dilahirkan di Neede, Gelderland, pada 3 April 1868. Pendidikan tingkat menengahnya diselesaikan di Batavia, lalu pada 1885 ia ke Amsterdam untuk melanjutkan pendidikan tinggi di bidang kedokteran. Ia berhasil menyelesaikan seluruh pendidikannya hingga meraih gelar doktor di Freiburg pada 1893.

Tahun 1894, ia kembali ke Hindia Belanda sebagai perwira kesehatan dengan penempatan mula-mula di Weltevreden, kemudian ke Koepang (Timor) dan Sulawesi Selatan. Setelah itu kembali ditempatkan di Weltevreden dan sejak 1897 bertugas di Parc Vaccinogene dan Instituut Pasteur. Berkat keterampilan serta pengetahuan klinisnya yang luas, dua tahun kemudian ia menjadi direktur lembaga penelitian kesehatan tersebut. Sejak awal masa dinasnya di Hindia, Nijland juga menjalankan praktik medis.

Setelah menjalani cuti pada 1903 dan kembali ke Hindia tahun 1905, Dokter Nijland hanya mendapat isin untuk menjalankan praktik Konsultatif, sehingga banyak orang yang merasa kecewa. Ia masih melanjutkan kerja penelitiannya, dan cukup berhasil adalah teknik pengiriman vaksin dari Eropa ke Hindia, karena pada waktu itu vaksin masih harus diimpor dari Belanda, sementara vaksin itu tidak tahan terhadap iklim panas di Hindia. Nijland mengemas pengiriman vaksinnya dalam batang-batang pisang yang disimpan di dalam kaleng yang dilubangi dengan tujuan untuk mempertahankan suhu rendah dan melambatkan masuknya suhu panas yang dapat merusak vaksin. Cara ini berhasil dengan baik.

Nijland juga bekerja keras untuk memaksimalkan penerapan vaksin dan mengatur pelayanannya untuk Jawa dan Madura, yang kemudian dilanjutkan ke wilayah lainnya, sehingga pada tahun 1908 Hindia Belanda menjadi salah satu negeri dengan tingkat vaksinasi terbaik.

Salah satu yang paling dikenang dari Nijland adalah karyanya menemukan dan memproduksi vaksin antikolera secara massal. Nijland secara rutin melakukan vaksinasi massal bagi masyarakat sehingga pada bulan Maret 1911 sudah mengirimkan hampir 70 ribu vaksin ke berbagai dokter di daerah, sementara di Parc Vaccinogene sudah hampir enam ribu orang yang mendapatkan vaksin itu. Pada masa yang sama, Nijland juga mulai membuat vaksin pes di Institut Pasteur. Pada tahun 1916 Nijland sudah memiliki juga serum untuk tetanus, disentri, meningokokus, dll.

Selain semua pekerjaan itu, Nijland masih mengatur waktu untuk memberikan kursus vaksinasi dan pengenalan rabies kepada para dokter muda. Publikasi ilmiahnya selalu mendapat sambutan hangat dan sangat dihargai. Di sisi lain, ia juga selalu dengan semangat menentang ketidakadilan atau ketidakbenaran. Ia melawan segala yang dianggapnya tidak jujur, dan ini sering menjadi kesulitan tersendiri dalam pekerjaan dan hidupnya, bahkan ketika kembali ke Belanda pada 1918, ia sangat depresi, walaupun kemudian pulih. Ia lalu bekerja sebagai pengajar di Institut Kedokteran Tropis di Rotterdam-Leiden.

Nijland masih terus memberikan vaksin, terutama untuk kolera dan tifus, kepada orang-orang yang akan berangkat ke Hindia Belanda. Kali ini vaksin-vaksinnya didapatkan dari Weltevreden, tempatnya dahuli bekerja. Ia juga tetap aktif memberikan kursus dan mengajar hingga akhir hayatnya pada 8 November 1922. Dengan wafatnya Albertus Hendrikus Nijland, negeri Belanda telah kehilangan sebuah kekuatan besar dalam ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang kesehatan.

dr. Otten:

louisotten
Louis Otten kelahiran Rijswijk, Belanda, adalah seorang peneliti dan pernah menjabat direktur di Pasteur Instituut. Jasanya sangat besar dalam penelitian vaksin anticacar dengan mengembangkan teknik imunisasi yang sebelumnya dirintis oleh Edward Jenner. Otten menemukan vaksin cacar kering yang kemudian terbukti ampuh membasmi penyakit cacar di Indonesia dan dunia. Otten juga mengembangkan vaksin untuk penyakit pes pada tahun 1934. Otten mendapatkan penghargaan Nobel atas jasa2nya dalam bidang kesehatan. Di luar bidang kedokteran, Otten tercatat tampil sebagai pemain bola dalam Olimpiade Musim Panas tahun 1908.

dr. Westhoff:

Dr Westhoff
Patung dada Westhoff masih ada di halaman dalam Wyata Guna (Foto oleh Nia Janiar)

C.H.A. Westhoff adalah dokter spesialis mata yang menaruh banyak perhatian terhadap nasib orang buta di Hindia Belanda. Tahun 1901, setelah membuat laporan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, ia mulai bekerja dengan mendirikan Vereeniging tot Verbetering van het lot der Blinden in Nederlandsch Oost-Indie atau Yayasan Perbaikan Nasib Orang Buta. Pelindung yayasan ini adalah Gubernur Jendral W. Rooseboom.

Pada tahun itu juga didirikan Bandoengsche Blinden Instituut di Tjitjendoweg dengan dua orang siswa, Johanna Everdina Schutter dan Albert Borgerhoff. Setelah sempat berpindah tempat ke Jl. Braga, sekolah ini kemudian menetap di Jl. Pajajaran sampai sekarang dan namanya menjadi Wyata Guna. Tahun 1907 Westhoff mendirikan Koningin Wilhelmina Ooglijdergasthuis yang sekarang menjadi Rumah Sakit Mata Cicendo.

Prof. Eijkman (Nijkerk, Gelderland, 1858 – Utrecht, 1930):

Christiaan_Eijkman
Christiaan Eijkman adalah dokter lulusan Universitas Amsterdam. Tahun 1883 hingga 1885 dia bertugas di Hindia Belanda sebagai direktur laboratorium patologi dan bakteriologi STOVIA. Dalam masa tugasnya ini Eijkman juga  menemukan dan meneliti bakteri penyakit beri-beri bersama Robert Koch. Saat itu penyakit beri-beri masih sangat berbahaya dan belum ada obatnya. Yang umumnya terserang penyakit ini adalah tentara Belanda sedangkan penduduk pribumi jarang sekali yang terjangkit.

Eijkman melakukan percobaan2 melalui ayam yang diberi makan beras utuh dan beras yang sudah dibersihkan. Ternyata ayam yang makan beras utuh terhindar dari penyakit. Dari percobaan inilah Eijkman kemudian dapat menemukan vitamin B1 (thiamine).

Berbagai jasa Eijkman dalam bidang kesehatan membuatnya mendapatkan penghargaan Nobel pada tahun 1929. Selanjutnya Eijkman menjadi guru besar di Utrecht, Belanda. Selain sebagai nama jalan di Bandung, nama Eijkman juga dipakai untuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta.

Paul Ehrlich (1854 – 1915):

Paul_Ehrlich
Ehrlich adalah dokter berkebangsaan Jerman yang banyak meneliti dalam bidang2 hematologi, imunologi, dan kemoterapi. Beberapa percobaannya berhasil menemukan metode pembeda tipe2 sel darah yang mengarahkan ke penemuan2 penyakit dalam darah. Mulai tahun 1880 Ehrlich mempelajari sel2 darah merah dan dapat menemukan kandungan normoblasts, megaloblasts, microblasts, dan poikiloblasts dalam sel darah merah. Dengan ini Ehrlich meletakkan dasar2 analisis penyakit anemia. Sebelumnya Ehrlich telah membuat dasar2 analisis penyakit leukemia dengan penelitian sel darah putih.

Laboratoriumnya juga menemukan arsphenamine atau salvarsan yang ampuh mengobati penyakit sifilis.  Ehrlich juga mengembangkan antiserum untuk diphteria  dan merancang suatu metode dasar serum terapetik. Pada tahun 1908 Ehrlich mendapatkan penghargaan Nobel dalam bidang physiology or medicine untuk jasanya di bidang imunologi.

dr. Hata:

Ehrlich Re (6)
Di Bandung nama ini tampaknya salah tulis menjadi dr. Hatta padahal semestinya dr. S. Hata, seorang dokter Jepang yang banyak membantu pekerjaan dr. Ehrlich di sebuah laboratorium yang bernama Rumah George Spreyer di Frankfurt-am-Main. Laboratorium ini adalah sumbangan janda bankir kaya tersebut, Franziska Spreyer, dan di sinilah Ehrlich dengan bantuan S. Hata melakukan ratusan percobaan kimia. Salah satu hasil yang paling menonjol adalah obat sifilis yang mereka kembangkan bersama.

Wilhelm Conrad Röntgen (1845 – 1923):

Roentgen2

Dokter berkebangsaan Jerman ini berhasil menemukan dan memproduksi sistem radiasi eletronik dalam rentang gelombang panjang pada tahun 1895. Penemuannya yang banyak membantu dalam dunia kedokteran ini sekarang kita kenali sebagai sinar X atau X-rays atau sinar röntgen. Untuk jasanya ini Röntgen mendapatkan penghargaan Nobel pada tahun 1901.

Temuan Röntgen ini menjadi rintisan bagi fisika modern sekaligus membuat revolusi dalam kedokteran diagnostik. Selain itu, Röntgen juga melakukan penelitian2 lain yang berhubungan dengan panas seperti panas gas, konduksi panas pada kristal atau penyerapan panas oleh gas.

Organisasi Kimia Murni dan Terapan Internasional juga mengabadikan namanya untuk element 111 yaitu roentgenium, elemen radioaktif tinggi dengan isotop2 jamak yang tidak stabil.

Maria Salomea Sklodowska (Marie Curie, 1867 – 1934):

Marie_Curie_c1920

Marie Curie atau sering disebut juga Madame Curie, adalah satu2nya orang yang pernah mendapatkan dua buah penghargaan Nobel untuk dua bidang keilmuan yang berbeda, fisika dan kimia. Marie juga merupakan perempuan profesor pertama di University of Paris (La Sorbonne).

Marie berkebangsaan Polandia namun banyak bekerja di Perancis yang saat itu sedang giat dalam penelitian radioaktif. Istilah radioaktif memang dari Marie Curie, dia mengembangkan teori2nya, teknik mengisolasi isotop, dan menemukan elemen2 polonium dan radium.

Marie Curie kemudian mendirikan Curie Institute di Paris dan Warsawa. Kedua tempat ini masih merupakan lembaga terkemukan dalam riset obat2an. Walaupun sudah menjadi warga Perancis, Marie Curie tidak pernah melupakan tanah airnya, Polandia. Anak2nya tetap diajarinya berbahasa Polandia, dan secara rutin mengunjungi negri itu. Elemen kimia pollonium yang ditemukannya pun diberi nama berdasarkan nama negri kecintaannya, Polandia.

Marie Curie meninggal pada tahun 1934 karena aplastic anemia yang didapatkannya dari kontak2 langsung dengan radiasi selama bertahun-tahun.

Louis Pasteur (1822 – 1895):

Tableau_Louis_Pasteur.jpg
Istilah pasteurisasi (pasteurization) sudah dikenal luas sebagai suatu teknik sterilisasi dalam pengolahan susu atau anggur agar aman diminum. Nama teknik itu berasal dari penemunya, Louis Pasteur.

Pasteur adalah seorang ahli kimia dan mikrobiologist yang banyak berjasa dalam menemukan mikrobiologi medikal. Penemuan2 utamanya adalah identifikasi berbagai penyebab2 serta pengembangan teknik2 pencegahannya. Pasteur menemukan vaksin antirabies dan antianthrax. Ia juga berhasil mengurangi tingkat kematian yang tinggi yang disebabkan oleh demam. Sebagai mikrobilogist, Pasteur adalah salah satu dari tiga tokoh peletak dasarnya selain Ferdinand Cohn dan Robert Koch.

Pasteur berhasil menemukan banyak hal dalam bidang kimia, salah satu yang paling terkenal adalah dasar molekuler asimetris pada kristal. Pasteur juga yang pertama kali menyarankan agar dokter2 selalu membasuh tangan dan membersihkan peralatan kedokteran sebelum melakukan pembedahan.

Sebagai tokoh dunia kedokteran yang sangat berpengaruh dan banyak berjasa, namanya dapat ditemukan menjadi nama jalan di banyak tempat di seluruh dunia. Setelah meninggal, Pasteur dimakamkan di Katedral Notre Dame tapi kemudian dipindahkan ke lembaga internasional yang membawa namanya, Institut Pasteur, di Paris.

The Pasteur Institut

PASTEUR

Lembaga penelitian nonprofit ini didirikan pada tahun 1887 untuk mendalami berbagai studi dalam bidang biologi, organisma mikro, penyakit2, dan vaksin2. Hasil2 penelitiannya sudah banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, mencegah dan mengobati berbagai penyakit seperti difteri, tetanus, tuberculosis, polio, influenza, atau demam kuning. Sejak 1908, sudah lebih 10 orang dari lembaga ini yang menerima penghargaan Nobel.

Di Bandung juga ada jejak Institut Pasteur. Lembaga ini sekarang bernama Bio Farma, gedungnya masih megah berdiri di Jl. Pasteur.

Gedung Bio Farma
Pada tahun 1890 di Batavia berdiri lembaga Parc Vaccinogene yang kemudian berubah nama pada tahun 1895 menjadi Parc Vaccinogene en Institut Pasteur. Masih terjadi beberapa kali ganti nama sebelum akhirnya menjadi Perusahaan Negara Bio Farma pada tahun 1961: Landskoepok Inrichting en Institut Pasteur (1902-1941), Bandoeng Buki Kenkyushoo (1942-1945), lalu kembali ke nama Landskoepok Inrichting en Institut Pasteur (1945-1949), lalu Gedung Cacar dan Lembaga Pasteur (1950-1954), dan Lembaga Negara Pasteur (1955).

Bangunan Lembaga Pasteur (Bio Farma) di Bandung didirikan pada tahun 1926 dengan arsitektur hasil rancangan C.P. Wolff Schoemaker. Kompleks bangunan lembaga ini masih tampak utuh hingga sekarang. Jalan di depannya dahulu berupa boulevard dengan pohon2 palm di sisi kiri-kanan jalannya.

Setelah kehadiran jalan layang Pasupati, maka sebagian besar bagian gedung Bio Farma menjadi terhalang dan tidak leluasa lagi dinikmati. Namun sepanjang sisi lembaga ini belakangan ditata baik dengan membuat taman2 dan sedap dipandang.

 Oya, tambahan sambil lalu saja, yang namanya jalan Cipaganti itu dari dulu juga ada, tapi bukan jalan yang sekarang. Ruas jalan Cipaganti dahulu pendek saja, yaitu yang menghubungkan Jl. Cihampelas dengan Jl. Cipaganti, yang sekarang kita kenal sebagai Jalan Sastra. Sedangkan Jl. Cipaganti saat ini, yang memanjang dari Jl. Wastukancana sampai Jl. Setiabudhi di utara, dulunya bernama Nijlandweg.

DAFTAR NAMA JALAN KEDOKTERAN DI BANDUNG
 Jl. Dr. Abdul Rivai – Tirionweg
Jl. Dr. Cipto – Roemer-Visscherweg
Jl. Dr. Djundjunan
Jl. Dr. Gunawan – Vosmaerweg
Jl. Dr. Hatta – Hattaweg
Jl. Dr. Otten – Rotgansweg
Jl. Dr. Rajiman – Helmersweg
Jl. Dr. Rubini – Tesselchadeweg
Jl. Dr. Rum – Potgieterweg
Jl. Dr. Saleh – Dokter Salehweg
Jl. Dr. Samyudo – Samjoedoweg
Jl. Dr. Slamet – Dokter Slametweg
Jl. Dr. Sukimin – Prof. Grijnsweg
Jl. Dr. Susilo – PC Hooftweg
Jl. Dr. Sutomo – Dokter Borgerweg
Jl. Dr. Wahidin – Buskenheut
Jl. Nijland – van Leeuwenhoekstraat
Jl. Pasteur – Pasteurweg
Jl. Prof. Eijkman – Ziekenhuisweg
Jl. Rontgen – Rontsgenweg
Jl. Westhoff – Westhoffweg
Taman Otten – Rotgansplein