Rencana hari ini sebetulnya hanya mengunjungi Kecamatan Pacet di kaki Gunung Rakutak untuk melihat beberapa objek kegiatan swadaya masyarakat yang berkaitan dengan Ci Tarum pada hari Sabtu-Minggu (26-27 Oktober 2013) nanti. Maka dengan beberapa rekan @KomunitasAleut, pagi-pagi sekali kami sudah berada di daerah Lemburawi, Ciparay, untuk mengambil beberapa foto lingkungan sekitar.

Puncak Cae-1 Kebun

Sebelumnya di Pakutandang saya sempat berhenti sebentar di depan sebuah kampung yang pernah saya sambangi beberapa tahun lalu dalam sebuah kegiatan perekaman musik gamelan. Kampung ini dihuni oleh para penghayat aliran kebatinan”Perjalanan.” Kebetulan saya pernah berkawan baik juga dengan salah seorang pemuda pemain kendang yang mumpuni dari kampung ini. Saya membantu lawatan kelompok musiknya ke beberapa kota di Pulau Jawa dan akhirnya mengikuti Worldmusic Festival pertama di GWK, Bali.

Nostalgia “Perjalanan” itu sekejap saja, karena tidak lama kemudian saya sudah berada di Padaleman, lalu Cikoneng, Maruyung, Buntultanggol, dan akhirnya Resmitinggal, berhadapan langsung dengan gunung legendaris itu, Rakutak. Di sekitar Harempoy sempat berhenti sebentar di warung untuk minum kopi dan ngobrol dengan warga. Pemeriksaan wilayah utama memang ada di wilayah ini hingga hulu Ci Tarum.

Tapi kemudian di Cinenggelan terjadi sebuah obrolan dengan seorang pekerja ladang yang mengubah sebagian besar rencana hari ini. Mendengarkan pengalaman peladang yang kelahiran kampung sekitar Rumbia ini cukup menarik. Dia menyebutkan beberapa dano, hutan pekat, dan jalur-jalur jalan tembus ke beberapa daerah lain dari tempat kami berada. Beberapa nama yang disebutkan sangat mengundang perhatian, Monteng, Puncak Cae, dan Asrama.

Dengan segera, isi kepala berputar-putar. Saya putuskan segera hari ini harus mencoba minimal salah satu jalur yang jadi bahan obrolan. Jalur Kertasarie-Pangalengan dengan banyak variannya sudah cukup sering saya jalani. Jalur Papandayan atau Kamojang pun tidak begitu asing. Jalur Cikajang sebetulnya sangat menarik hati dan kebetulan berkaitan dengan tugas dalam kegiatan lain yang berhubungan dengan perkebunan. Namun, mengingat saya harus sudah kembali lagi di Bandung malam harinya, maka saya memikirkan satu jalur lain yang belum pernah saya jalani: Puncak Cae, lalu tembus ke Garut.

Pertama mendengar nama Puncak Cae disebutkan, saya langsung teringat cerita-cerita Kartosuwiryo atau yang oleh warga kampung di banyak tempat sering disebut dengan istilah gerombolan. Sudah lama memang saya punya keinginan untuk mengetahui lokasi-lokasi persembunyian Kartosuwiryo yang pada masa akhirnya terkonsentrasi di sekitar Gunung Rakutak. Dan Puncak Cae adalah lokasi terbaik untuk melihat sebaran persembunyian itu di sekitar Garut-Majalaya-Bandung.

Cihejo-1

Segera pula saya teringat obrolan sebelumnya saat beristirahat minum kopi di sebuah warung di dekat Kampung Cihejo. Nenek pemilik warung yang warga Kampung Joglo banyak cerita tentang zaman gerombolan. Tentang hidup yang gelisah karena sewaktu-waktu gerombolan bisa muncul merampas bahan makanan atau harta benda apa saja. Masa yang gelisah karena pintu rumah bisa tiba-tiba digedor dengan keras atau didobrak dengan tendangan. Juga masa yang riuh karena kemudian di kampungnya pernah bermarkas sekelompok tentara yang melakukan pengintaian gerakan-gerakan gerombolan.

Lalu sekarang saya mendapatkan bayangan jalan untuk menuju Puncak Cae? Tetapi para pengunjung lain di warung ini ternyata berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa motor yang kami bawa, motor bebek biasa, tidak akan mampu menanjak dan menjalani jalanan yang rusak parah menuju Puncak Cae. Ada juga yang mengatakan bisa saja asal pelan-pelan dan berhati-hati, konon orang ini pernah melewatinya dengan motor biasa juga.

Akhirnya keputusan sudah diambil, kami akan jalani langsung jalur menuju Puncak Cae, nanti bila medannya memang sangat sulit, kami akan kembali lagi ke Pacet. Kami segera berangkat. Sambil jalan, tugas utama tetap kami kerjakan sedapatnya. Di setiap aliran sungai yang terlintasi kami berhenti dan membuat foto.

Memasuki Kampung Dangdang, kami menjumpai turunan yang cukup menyeramkan. Saya perlukan turun dari motor dan berjalan kaki turun ke dasarnya, aliran Ci Tarum. Di bawah sini terdapat sebuah jembatan dan satu aliran sungai lain yang lebih kecil namun relatif lebih bersih ketimbang Ci Tarum. Seluruh badan sungai dipenuhi bebatuan dalam ukuran yang cukup besar. Andai aliran air ini bersih, sudah pasti kami akan langsung terjun ke dalamnya. Sayangnya, air yang kami lihat ini berwarna hijau kusam membuat enggan mampir.

Dangdang

Dari sini kami memasuki kawasan Cihawuk dengan jalannya yang rusak, lalu menanjak terus ke atas sampai bagian jalan berbahan beton yang tampaknya masih baru dibuat. Di ujung tanjakan kami dapati sebuah kampung kecil. Ruas jalan ternyata berakhir di sini. Ini kampung terakhir yang bernama Kampung Datar. Rupanya kami salah mengambil jalan, walaupun masih termasuk bagian dari Puncak Cae, tapi untuk tembus ke Garut seharusnya kami tidak melewati kampung ini.

Seorang nenek bercerita, bahwa dulu memang ada jalan tanah yang tembus juga dari kampung ini menuju Garut dengan melewati hutan lebat. Tapi jalan itu sudah lama hilang setelah terjadinya longsor beberapa tahun lalu. Bekas jalan setapaknya masih dapat kami lihat mengarah ke atas dan luar kampung.

Kami segera kembali ke jalan yang benar, Pinggirsari. Di sini ternyata banyak terdapat pohon kayu putih. Beberapa ladang yang kami lalui merupakan kebun pembibitan, di antaranya bibit wortel. Di Tutugan, kami melihat sebuah menara pandang milik Perhutani, katanya untuk mengawasi perkebunan milik pemerintah. Kondisi jalan di sini cukup parah, tanjakan curam dengan badan jalan tanah penuh batu berukuran besar. Salah mengendalikan motor bisa cukup fatal akibatnya. Pada beberapa tanjakan, saya harus turun dari motor. Di ladang terakhir kami mengobrol lebih banyak tentang jalur jalan yang akan kami tempuh dengan seorang buruh ladang yang bekerja untuk pemilik ladang dari Cimahi.

Entah berapa banyak tanjakan curam menikung yang harus kami lalui. Jalan tanah berbatu cukup menambah kerepotan mengendalikan motor. Di sebelah kiri jalan selalu berupa jurang dalam. Tidak ada pembatas apapun antara jalan tanah dengan tebing mulut jurang.

Lokasi ladang terakhir sudah tampak mengecil di bawah kami, dan kelompok pohonan kayu putih jadi terlihat lebih banyak di area yang lebih luas. Di sebelah kiri kami terhampar hutan Rakutak yang masih cukup lebat. Beberapa puncaknya terlihat lebih jelas. Salah satu puncak di kawasan ini bernama Gunung Geber, di sanalah pertahanan terakhir Kartosuwiryo berada, di bawahnya terletak Situ Ciharus.

Konon di tengah hutan lebat di puncak gunung itu masih terdapat sebuah gua persembunyian dan tanah datar yang sempit tempat mereka mendirikan markas. Beberapa gunung lain yang dapat disebut di kawasan ini adalah Gunung Sanggar, Gunung Jaha (Jahe), Gunung Beling, Gunung Jawa. Warga sekitar sering juga menyebut Gunung Geber sebagai Gunung Dano karena keberadaan dano (situ) Ciharus di bawahnya.

Gunung Rakutak - Puncakb

Saya cukup senang dapat melihat hutan-hutan ini. Saya membayangkan bagaimana gerombolan itu tinggal di kelebatan hutan dan di puncak gunung untuk sekian lama. Puncak Rakutak masih sering tertutup kabut tebal bahkan hingga menjelang siang hari, seperti apa gerombolan itu hidup di sana? Benarkah banyak anggota gerombolan yang tertangkap atau tewas dibuang begitu saja ke Situ Ciharus?

Setelah perjuangan keras, tiba juga kami di Puncak Cae. Lokasi keberangkatan sebelum menanjak tadi sudah tampak sangat kecil atau menghilang di balik lebatnya pepohonan. Tak disangka, di atas puncak ini malah terdapat sebuah warung yang dikelola oleh sebuah keluarga. Rupanya pada musim kering, jalur Puncak Cae cukup sering dipakai untuk jalan lintas Pacet-Garut, selain itu banyak peladang juga yang mondar-mandir di kedua wilayah ini. Keluarga warung ini tinggal di Tutugan, setiap hari mereka pulang balik ke Puncak Cae, kadang dengan berjalan kaki.

Sambil beristirahat, saya ngobrol panjang lebar dengan bapak pemilik warung, sambil mondar-mandir juga ke sana-sini untuk menunjukkan sesuatu. Sementara teman-teman lain ngobrol di warung. Dari bapak warung saya dapatkan cukup banyak cerita seputar gerombolan dan kawasan gunung-gunung di sekitar Pacet-Garut. Dari bapak ini juga saya dapatkan keterangan bahwa nama Puncak Cae bukanlah nama satu lokasi saja, melainkan dipakai untuk menamakan keseluruhan punggungan gunung yang berada di antara Pacet dan Garut ini. Lebih ke selatan, punggungan gunung ini menyambung dengan Gunung Dogdog.

Cerita-cerita mistik tentu saja disinggung juga, tapi rupanya bapak yang pernah bekerja sebagai supir di kompleks militer ini kurang tertarik pada kisah mistik, sehingga cerita itu hanya keluar bila kebetulan ditanyakan saja. Yang menarik, bapak warung menunjukkan pada saya yang mana yang disebut Gunung Beber, dan di mana saja lokasi markas2 militer selama proses pengepungan laskar Kartosuwiryo berlangsung. Lokasi-lokasi itu ternyata masih dapat ditemukan sampai sekarang, berupa tanah datar di tengah hutan. Di sebagian bekas markas masih dapat ditemukan juga jejak-jejak kegiatan pada waktu itu. Bapak warung menambahkan, bahwa lokasi-lokasi yang diceritakannya itu tidak banyak yang mengetahui. Ia mau menceritakan hanya karena melihat saya antusias saja bertanya tentang hal-hal itu. Rupanya baru kali ini juga ia menemukan orang yang menanyakan hal itu.

Siang itu senang sekali saya bisa mendapatkan beberapa informasi yang selama ini ingin saya ketahui. Dan hari ini saya mengalami lagi satu perjalanan baru dengan jalur yang baru kali ini saya jalani.

Dari Puncak Cae, kami masih harus melewati jalanan tanah berupa turunan hingga tiba di tengah kompleks Darajat. Lantas teringat cerita seorang warga Darajat yang beberapa bulan lalu bercerita bahwa dari kompleks Kawah Darajat ada beberapa jalan keluar alternatif offroad, di antaranya melalui Puncak Cae menuju Ciparay. Waktu itu tidak terbayang seperti apa rupa jalannya karena arah yang ditunjuk berupa hutan saja. Sekarang saya sudah tahu dan mengalaminya.

Perjalanan pulang kami jalani melewati jalur yang sudah cukup akrab, dari Darajat ke Samarang, Garut, Leles, Kadungora, lalu naik lewat Cijapati. Usai Cijapati kami pilih jalan yang juga cukup bikin susah karena kepadatan dan kerusakannya, Sapan.

Total hari ini kami menempuh perjalanan sejauh sekitar 200 km. Terima kasih buat teman seperjalanan, Tony @TonyMoviegoer, Reza @kobopop, dan Bey @beyhaqqi. Ini adalah perjalanan panjang ke sekian dalam sebulan ini. Rekor jarak perjalanan nonstop ini masih berada di lintasan Bandung-Majalaya-Garut-Samarang-Bayongbong-Cikajang-Cisompet-Pameungpeuk-Rancabuaya-Cisewu-Pangalengan-Bandung pada tanggal 12-14 Oktober 2013 lalu, sepanjang hampir 500 km dengan jalur naik-turun gunung.

Puncak Cae-1

Advertisement