Search

mooibandoeng

Pengeluyur di Bandung

Month

July 2013

Jalan-jalan ke Bogor

Re: Tour de Buitenzorg

BAGIAN 1

Catatan berikut ini saya sarikan dari tulisan tentang kunjungan sehari penuh ke Bogor bersama sejumlah teman beberapa waktu lalu. Beberapa lokasi tujuan sudah kami tentukan sebelumnya, sisanya kami kunjungi secara spontan karena kebetulan terlewati dalam perjalanan.

Ini bukan tulisan lengkap tentang sejarah Bogor ataupun objek-objek wisata di Bogor, namun sukur-sukur bila catatan ini bisa jadi panduan tambahan juga bagi mereka yang ingin berkunjung ke Bogor.

Afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1433-1527), tjantik alamnja, bagus letaknja dan njaman hawanja (72˚C). Gupernur-Djenderal Maetsuyker (1653-1678) telah tertawan hatinja oleh daerah itu sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerdja2 Sunda menemui banjak pohon-aren jang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira lagi (bogor), maka sedjak ketika itulah pula dinamakan Bogor.” Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.[1]

Sebelum memasuki Kota Bogor yang katanya njaman hawanja itu, kami mampir dulu ke bekas sebuah situs kuno di kaki Gunung Pangrango, yaitu Arca Domas. Situs ini berdampingan dengan situs makam lainnya yang merupakan kompleks pemakaman tentara Jerman dari masa Perang Dunia II. Untuk menuju lokasi ini kami harus masuk dari jalan yang tidak terlalu lebar di Gadog, perjalanan agak menanjak sekitar 6-7 kilometer. Seluruh badan jalan memang sudah beraspal namun sempitnya cukup menyulitkan juga terutama bila berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.

ARCA DOMAS

Biasanya nama Arca Domas dikaitkan dengan situs keramat masyarakat Baduy di Kanekes, Banten. Namun ternyata masih ada Arca Domas lainnya, yaitu di Cikopo, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung. Nama Arca Domas di sini disinggung pula oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817). Dalam buku itu Raffles menyebutkan terdapatnya patung-patung batu dengan bentuk kasar di Buitenzorg dan di Recha Domas, dua daerah yang berhubungan dengan ibukota kerajaan kuno, Pajajaran.[2] Continue reading “Jalan-jalan ke Bogor”

Prasasti Kawali – Situs Astana Gede

Buat yang mau jalan-jalan ke Ciamis, atau kebetulan lewat kota itu, coba mampir ke Situs Astana Gede di Kawali. Letak persisnya di kaki Gunung Sawal di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, sekitar 27 km di utara ibukota Kabupaten Ciamis. Dalam kompleks situs seluas 5 hektar ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah berupa punden berundak, menhir, prasasti, dan makam-makam kuno bercorak Islam.

Keberadaan situs ini ‘ditemukan’ oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang kemudian membukukan berbagai hasil penelitiannya di Pulau Jawa – termasuk tentang prasasti Kawali – dalam buku History of Java (1817).

Sejumlah penelitian kemudian dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, di antaranya oleh Duymaer van Twist (juga seorang gubernur jenderal periode 1851-1856), Friederik (1855), K.F. Holle (1867), J. Noorduyn (1888), Pleyte (1911), dan de Haan (1912). Penelitian oleh bangsa Indonesia di antaranya oleh Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990).

Berdasarkan prasasti (tanpa angka tahun) yang bertuliskan aksara dan bahasa Sunda kuno itu dapat diketahui tentang seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) yang berkedudukan di Kawali dengan keratonnya yang dinamakan Surawisesa. Kompleks situs Kawali ini berada tidak jauh dari lokasi Alun-alun Keraton Surawisesa dahulu.

Selain peninggalan Niskala Wastu Kancana, situs Kawali juga memiliki peninggalan berupa sebuah kolam kecil berukuran sekitar 10 meter persegi.  Kolam kecil ini sebetulnya merupakan sumber mata air yang bernama Cikawali. Konon dari nama kolam inilah nama daerah Kawali berasal. Ada juga sebuah menhir dengan tinggi sekitar 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm.

Berdampingan dengan menhir ini terdapat lumpang batu berbentuk segitiga. Jenis batu pada menhir ini konon hanya ditemukan di dua tempat saja di Jawa Barat, satu lainnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. Warga setempat menyebut menhir ini dengan nama Batu Pangeunteungan. Sejumlah menhir lainnya terserak secara acak di kawasan ini, sebagian sudah disusun kembali hingga menyerupai bentuk nisan, sebagian lainnya mungkin sudah hilang.

Peninggalan bercorak Islam dapat ditemukan pada makam Raja Kawali, Adipati Singacala (1643-1718), yang terletak di puncak punden berundak di tengah kompleks situs. Panjang makam ini 294 cm. Selain itu, masih ada sekitar 10 makam lainnya yang tersebar di situs ini. Continue reading “Prasasti Kawali – Situs Astana Gede”

Ledeng

Foto-foto koleksi KITLV.

Foto-foto koleksi KITLV.

Ledeng… Sebagai nama kawasan, Ledeng sudah sangat akrab dengan warga Bandung, karena terdapat sebuah terminal untuk akses transportasi ke wilayah di sebelah utara kota Bandung. Selain itu juga di kawasan ini terletak salah satu kampus penting di Bandung, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Tapi bagaimana ceritanya sehingga kawasan ini dinamai Ledeng?

Sampai tahun 1920-an daerah ini dikenal dengan sebutan Cibadak, sesuai dengan keberadaan sebuah mata air cukup besar di sana, Cibadak. Nama badak di sini ternyata selain dapat berarti mengacu pada hewan badak dan kemungkinan keberadaanya pada masa lampau di daerah ini[1], juga bisa jadi merupakan perubahaan dari kata bahasa Sunda lainnya, badag (=Cibadag), yang berarti besar.

Warga sekitar lokasi mata air ini memang mendapatkan cerita turun-temurun tentang besar atau melimpahnya air dari sumber mata air di sini. Hampir seluruh kampung di sekitar kawasan Cibadak lama memanfaatkan air dari tempat ini. Selain mata air Cibadak, ada juga beberapa mata air lainnya di dekat Cibadak, yaitu Cidadap dan Cikendi. Seluruh sumber air ini diberi benteng pelindung seperti tampak dalam foto kanan bawah, yang dibangun antara tahun 1920-1923.

Air yang melimpah ini disadap dan dialirkan melalui saluran pipa-pipa besar ke kawasan sekitarnya. Bangunan penyadapan tampak pada gambar kanan bawah. Pipa-pipa saluran berukuran besar yang melintang inilah yang yang kemudian menjadi cikal munculnya nama Ledeng bagi kawasan tersebut, karena ledeng (leiding) dalam bahasa Belanda memang berarti saluran. Sampai sekarang pipa-pipa ini masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke pemukiman penduduk.

Gambar kiri atas adalah mata air Cibadak, sedangkan gambar kiri dan kanan bawah adalah rekaman foto saat peresmian instalasi penyadap air Cibadak yang dilakukan oleh Walikota Bandung, Bertus Coops, tahun 1921.

(Sumber foto KITLV)

 


[1] Lihat buku “Lie Kim Hok” karya Tio Ie Soei  dan dua buku Haryoto Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya” dan “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”

Pemboman Radio Malabar

J.C. Bijkerk dalam bukunya “Vaarwel tot Betere Tijd” menulis bahwa pada tanggal 6 Maret 1942 para pembesar Pemerintah Hindia Belanda (Jend. Ter Poorten, G.G. Tjarda, Maj. Bakkers, dan Gubernur Jabar Hogewind) mengadakan suatu pertemuan di rumah Residen Bandung, Tacoma. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan menjadikan Bandung sebagai kota terbuka dengan maksud agar Jepang dapat masuk Bandung tanpa harus terjadi  peperangan.

Peristiwa ini tentu dapat dimaklumi mengingat sebelumnya Jepang telah memborbardir pertahanan sekutu Pearl Harbour di Lautan Pasifik (8 Desember  1941) yang dilanjutkan dengan siaran gencar radio propaganda Nippon yang dipancarkan dari Tokyo. Siaran dalam bahasa Indonesia ini berisi : “Sebentar lagi Tentara Dai Nippon akan tiba di Indonesia. Kami akan datang bukan sebagai musuh, tetapi bertujuan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.” Sebagai pembuai, siaran gombal dari Jepang ini selalu diakhiri dengan pemutaran lagu Indonesia Raya yang ternyata memang mampu membuai kebanyakan rakyat Indonesia.

Propaganda balik dari pihak Belanda dilakukan melalui radio-radio Nirom Surabaya dan Nirom Batavia, isinya agar rakyat Indonesia jangan memercayai siaran radio propaganda Jepang tersebut. Namun serangan balik ini sama sekali tidak berhasil karena tak lama kemudian Suarabaya, Malang, dan Madiun telah dibombardir (ejaan Hindia Belanda) angkatan udara Nippon.

Serangan berikutnya terjadi di Laut Jawa pada 27 Februari 1942. Jepang berhasil menenggelamkan kapal-kapal Exeter, Kortenaer, Java, dan Encouter milik sekutu yang disusul oleh dua kapal terakhir, Houston dan Perth. Continue reading “Pemboman Radio Malabar”

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑