Search

mooibandoeng

Pengeluyur di Bandung

Wajah Bandoeng Tempo Doeloe di Mata Haryoto Kunto

An4pjIUkv9l0l1AKl3NycbaJa3PP-Nox-YCE_IH376oB

Setiap kota pasti menorehkan kesan tersendiri bagi penghuninya, lepas dari apakah dia penghuni tetap ataupun sekadar singgah karena tuntutan sekolah atau pekerjaan. Kalau dibalik, setiap orang pasti menyimpan kesan tersendiri tentang kota yang ditinggalinya baik itu hanya untuk sementara ataupun dalam jangka waktu yang sangat lama.

Haryoto Kunto (1940-1999) menuangkan kesan-kesannya tentang Kota Bandung dalam banyak buku, dua di antaranya sudah  menjadi legenda dalam dunia perbukuan seputar sejarah Bandung, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984) dan “Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986).

Haryoto Kunto memang bukan yang pertama menulis buku “sejarah” Kota Bandung, sebelumnya sudah ada 2 jilid buku berbahasa Sunda, “Bandung Baheula” karangan Moech. Affandi (Guna Utama, 1969), dan “Keur Kuring di Bandung” karangan Sjarif Amin (…). Dalam bahasa Belanda juga banyak buku yang khusus membahas Kota Bandung seperti “Bandoeng” karangan H. Buitenweg (Katwijk, Holland, 1976) atau “Gids van Bandoeng en Omstreken” karangan S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (Vorkink, Bandoeng, 1921). Di dalam bahasa Inggris ada “Bandung & Beyond” karangan Richard & Sheila Bennet (Aneka Karya, Bandung, 1980).

Daftar di atas hanya secuil saja dari banyak buku lain yang sudah membicarakan Kota Bandung sebelum Haryoto Kunto menerbitkan buku-bukunya. Yang cukup menarik perhatian dan menjadi pembeda buku-buku karangan Haryoto Kunto adalah keluasan bahasan dan penggunaan bahasa yang sangat longgar, nyaris seperti bahasa lisan yang digunakan sehari-hari. Mungkin faktor bahasa ini pula yang membuat buku-buku Haryoto Kunto menjadi begitu populer dan dikenang oleh banyak orang.

Dalam salah satu bagian tulisannya, Haryoto Kunto menulis: “Wah, bila Cuma berbenah diri kalau ada penggede pusat yang datang meninjau, benar-benar brengsek dong.” Kalimat ini dilanjutkan dengan kutipan “”Emang, Kota Bandung sih Brenk-sex!” kata si Dolly yang sering mangkal di Kebon Raja, nimbrung bicara.” Ya, begitulah gaya Haryoto Kunto menulis atau berbicara, nyaris ceplas-ceplos. Dalam menyimak ceritanya pembaca bahkan tak pernah dipusingkan dengan apakah tokoh Dolly yang disebutkannya itu benar-benar ada atau hanya rekaannya saja dalam mengemas cerita. Di banyak bagian tulisan, Haryoto Kunto cukup banyak menggunakan dialog (entah karangan atau bukan) dalam menyampaikan ceritanya. Sepertinya saat menulis itu Haryoto Kunto mengandaikan dirinya sedang bercerita secara lisan kepada para pendengarnya.

Faktor lain yang membedakan buku-buku Haryoto Kunto dengan buku lainnya yang membahas Kota Bandung, disampaikannya lewat judul buku yang digunakan, “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”. Dengan sumber referensi begitu banyak buku antik yang berhasil dikumpulkan di rumah tinggalnya di Jl. H. Mesrie No. 5, Haryoto Kunto mereka-reka seperti apa rupa Kota Bandung di masa lalu. Dari buku-buku lama digalinya informasi sebanyak mungkin, lalu disusun sedemikian rupa sehingga mendapatkan gambaran umum rupa Kota Bandung dari waktu ke waktu.

Yang berikut ini khusus tentang buku Wajah Bandung Tempo Doeloe. Saya tak ingat berapa kali buku ini keluar masuk koleksi bukuku, aktivitas jual-beli buku bekas membuat banyak koleksi bukuku bisa keluar masuk dengan agak leluasa. Sejak diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Granesia tahun 1984, buku yang legendaris ini ternyata tidak mengalami banyak cetak ulang. Sampai tahun 2014, baru 5 kali cetak ulang, semua oleh penerbit yang sama. Dapat dibandingkan dengan banyak buku best-seller masa kini yang dalam satu tahun saja bisa cetak ulang sampai belasan kali.

Kebetulan buku yang sedang saya pegang ini merupakan cetakan yang kelima. Seingat saya, dua cetakan terakhir (2008 & 2014) buku ini dicetak dengan ukuran yang lebih besar (24 x 18 cm) dibanding sebelumnya (22 x 15 cm), selain itu sampulnya dibuat hard-cover. Perbedaan lainnya, dua buku edisi terakhir memiliki gambar sampul yang berbeda dan menggunakan bahan kertas berwarna kuning pucat yang belakangan ini memang banyak dipakai untuk penerbitan buku.

Pada bagian isi, ada penambahan pengantar dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil, dan Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan. Di penerbitan awal, pengantar hanya diberikan oleh Walikota Bandung, Ateng Wahyudi. Pada bab terakhir yang merupakan kumpulan foto perbandingan antara foto zaman baheula dengan foto terkini juga mengalami perubahan, tidak lagi memuat foto-foto tahun 1984 seperti dalam terbitan pertamanya, melainkan foto-foto yang diambil tahun 2007. Saya tidak menemukan keterangan kenapa buku terbitan 2014 ini menggunakan foto-foto pembandingnya dari tahun 2007 dan bukan 2013 atau 2014. Saya juga tidak berhasil menemukan siapa nama fotografer untuk foto-foto “baru” ini.

Isi buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dibagi ke dalam 18 Bab, dimulai dengan Bab I ”Pendahuluan” lalu Bab II “Negorij Bandong”, yang sebagian ceritanya sudah saya kutipkan di atas, yaitu latar belakang kelahiran Kota Bandung. Selanjutnya adalah bab-bab yang tidak terlalu ketat dengan urutan waktu namun secara umum ada gambaran kronologis. Bab-bab awal diisi oleh nostalgia Kota Bandung, cerita-cerita tempo dulu atau di sini sering disebut “zaman normal”, uraian pernik sejarah yang dianggap ikut membangun kejayaan Kota Bandung. Bab XIV memasuki “Wajah Pudar Bandoeng Tempo Doeloe” yang dilanjutkan dengan Bab XV “Pemugaran Bangunan Bersejarah”, kemudian kembali ke nostalgia dengan pilihan tema yang agak spesifik pada Bab XVII “Seabad Jalan Braga”. Rangkaian ini ditutup oleh Bab XVIII dengan judul “Bandung Antara Harapan dan Kenyataan”.

Haryoto Kunto membuka cerita dari mention pertama nama Bandong oleh Juliaen de Silva pada tahun 1641: “Aan een negrije genaemt Bandong, bestaende uijt 25 a 30 huijsen. (Ada sebuah negeri bernama Bandong yang terdiri dari 25-30 rumah)”. Lalu pencarian sulfur untuk campuran bubuk mesiu oleh Abraham van Riebeek yang sampai mendaki Gunung Papandayan dan Tangkubanparahu, berlanjut ke cerita tentang orang kulit putih pertama yang menjadi warga Tatar Bandung, yaitu Kopral Arie Top, yang mendapatkan tugas dari Kompeni (1741) sebagai Plaatselijk Militair Commandant (Komandan Militer Menetap di Satu Daerah). Sebagian besar Tatar Bandung saat itu masih berupa hutan dan rawa-rawa dengan beberapa kampung kecil di beberapa tempat.

Setelah itu cerita bersambung ke kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) membentang dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jawa Timur. Pembangunan jalan raya ini mengakibatkan ibukota Kabupaten Bandung harus dipindahkan dari Krapyak, Citeureup (Dayeuhkolot sekarang) ke lokasi Alun-alun Bandung sekarang. Tanggal dikeluarkannya surat keputusan resmi perpindahan ibukota ini dijadikan sebagai patokan kelahiran Kota Bandung, yaitu 25 September 1810. Dapat dibayangkan saat itu pembangunan fasilitas pemerintahan yang baru dipusatkan di sekitar Alun-alun: Pendopo, masjid, paseban, kompleks kapatihan, pasar, banceuy, dan pesanggrahan. Disebutkan saat itu sudah ada  sejumlah kampung tua di Tatar Bandung, seperti Cikalintu, Balubur, dan Cikapundung Kolot.

Perpindahan ibukota kabupaten diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1864. Artinya ada perkembangan situasi kota Bandung mengikuti perpindahan ini, jalur-jalur jalan baru dibuat, dan orang-orang baru berdatangan. Groneman mencatat pada tahun 1870-an banyak orang sibuk membuka lahan di kota untuk dijadikan kebun dan bermukim di situ. Haryoto Kunto mencatat paling sedikit lahir sekitar 20 nama kampung dengan kata kebon di depannya, seperti Kebon Kawung, Kebon Jati, Kebon Kalapa, Kebon Jeruk, dst.

Masuknya jalur kereta api ke Bandung tahun 1884 menambah semarak kota kecil ini, disusul pembangunan berskala besar oleh Bupati RAA Martanagara yang bertindak sebagai Mandor Besar memimpin para kuli pribumi. Beberapa karya Martanagara adalah:

  • Lahan kota Bandung bagian selatan yang kebanyakan masih berupa rawa dijadikan persawahan, kolam ikan, atau disaeur (ditimbun tanah) seperti bisa dilihat dari nama tempat Situ Saeur.
  • Menggali dan memperbaiki saluran air (kanal) seperi Cikapayang dan Cikakak.
  • Penggantian atap dan tembok rumah menggunakan bata dan genteng yang dibuat di Merdika Lio.
  • Pembangunan jembatan-jembatan, termasuk penggantian bahan jembatan yang tadinya barbahan kayu dan bambu menjadi batu, tembok, dan besi.
  • Menata kawasan Grote Postweg sekitar Alun-alun menjadi kawasan perkantoran (Eropa) dan Braga menjadi kawasan pertokoan.

Pada Bab XII dengan judul “Bandung Penuh Sanjung”, Haryoto Kunto menceritakan bagaimana sejumlah orang Indo atau Belanda yang sudah kembali ke negerinya memendam kerinduan yang mendalam kepada kota ini. Cerita ini dilanjutkan dengan membahas berbagai julukan yang pernah disematkan kepada Kota Bandung, seperti Paradijs op Aarde, Paradise in Exile, sampai Bandung Kota Intelektual. Cerita berlanjut ke sekolah-sekolah tempo dulu, kehidupan kesenian, kelahiran Bandoengsche Radio Vereeniging (BRV), lalu beranjak sampai cerita soal kamp interniran di Bandung.

Bab XIII dengan judul Bandung adalah Bandung diisi oleh perbandingan perkembangan kota di Jakarta. Haryoto Kunto menyoroti pembangunan kota yang mengarah Jakarta-sentris. Tulis Haryoto Kunto: “Adalah usaha yang sia-sia, melawan dan membendung arus modernisasi dan kemajuan yang melanda masyarakat, maupun kota-kota besar di Indonesia. Namun kita harus cukup selektif dalam memilih bentuk teknologi yang akan diterapkan dalam planning dan pembangunan kota. Sebagai contoh: apakah tepat pengoperasian bis kota dengan ukuran long chassis dan mempunyai berat melebihi kekuatan jalan di Bandung yang sempit dan penuh tanjakan?”

Hampir di setiap bab yang ditulisnya Haryoto Kunto menyelipkan catatan dan pertanyaan tentang arah pembangunan dan perubahan kota yang dinilainya tidak memiliki kesadaran sejarah, sehingga Kota Bandung mengalami kerugian sejarah-budaya kota yang besar. Banyak harta karun sejarah-budaya yang musnah begitu saja. Pada bagian akhir Bab XIV Haryoto Kunto juga mempertanyakan soal penggantian nama-nama jalan dengan nama baru yang ternyata tidak menunjukkan identitas atau kaitan erat dengan sejarah yang terjadi di Kota Bandung.

Haryoto Kunto seperti hendak terus menegaskan betapa cantiknya Kota Bandung tempo dulu, betapa rinci perancangannya, dan betapa nyaman suasananya. Sayang semua itu hanya cerita tempo dulu. Perkembangan yang terjadi, terutama setelah masa kemerdekaan, justru berlawanan dengan keadaannya dulu. Kecantikan dan kenyamanan itu pelan-pelan memudar akibat pembangunan yang tidak terkendali dan kesadaran sejarah para penghuni kota yang dirasa sangat kurang.

Satu hal yang khas dari buku-buku karya Haryoto Kunto adalah kehadiran kutipan-kutipan di setiap pembukaan bab. Begitu juga dengan buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, penggalan puisi, lirik lagu, atau pepatah, menghiasi di sana-sini. Bila karya masterpiece-nya, “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (Granesia, 1986), dibuka dengan cuplikan dari naskah Kropak 632 Kabuyutan Ciburuy: hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke…, maka buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dibuka dengan cuplikan dari “Wawacan Purnama Alam” karya R. Soeriadiredja: Beunang nungtik ti leuleutik, nyutat-nyatet ti bubudak, tataros ti kolot kahot, juru dongeng alam kuna, ayeuna ditukilna, disurup kana lagu, ditulad dijieun babad. (Diteliti sejak kecil mula, dicatat sejak kanak-kanak, bertanya kepada orang tua, tukang cerita dulu kala, sekarang diungkapkan, digubah jadi lagu, direka jadi cerita).

Kiranya kutipan terakhir ini cukup menjelaskan proses berkarya Sang Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, bahwa bukan hanya catatan dan tulisan yang dikumpulkannya, melainkan juga cerita-cerita, obrolan, lagu, dan semua sudah dilakukannya (secara konsisten) sejak kecil.

***

Tulisan ini dibuat untuk keperluan Kelas Resensi di Komunitas Aleut, sebuah kegiatan mingguan baru yang diadakan di Perpustakaan Kedai Preanger

Gra Rueb, Perempuan Pematung Verbraak

Berikut ini tulisan Audya Amalia, rekan saya di @KomunitasAleut. Sudah dipost juga di beberapa website lain.

Apa yang biasanya dikisahkan setiap kita membahas tentang patung pastor di sudut Taman Maluku Bandung? Cerita yang selama ini berkembang di masyarakat selalu saja berhubungan dengan urban legend yang mengisahkan bahwa patung tersebut dapat bergerak dan berubah posisi.

Setiap mendengar kisah semacam itu, saya selalu ingin menyaksikannya langsung dan membayangkan hal tersebut dapat menjadi sebuah pengalaman estetik yang sangat canggih. Tapi setiap saya lihat patung tersebut, ya begitu-gitu saja. Diam, berdiri statis dengan jubahnya yang agung, sambil menggenggam sebuah alkitab dengan tatapan lurus ke depan.


Patung Verbraak (Sumber: grarueb.nl)

Sulit untuk menangkap dengan mata telanjang bagaimana eskpresi wajah patung ini, karena diletakkan di atas tembok pedestal putih yang tinggi. Pada bagian pedestal tersebut, tersemat nama “PASTOOR H.C. VERBRAAK” dengan huruf kapital hitam yang sangat kontras. Ditambah dengan keterangan tahun kelahiran dan kematian “1835–1918” seperti sebuah batu nisan.

Dalam tour Urban Legend yang diselenggarakan Komunitas Aleut dan Mooibandoeng pada 15 Februari 2020, dijelaskan bahwa Verbraak adalah seorang misionaris kelahiran Rotterdam yang pernah mendapatkan tugas di Padang dan Aceh.

Pastor dengan nama lengkap Henricus Christiaan Verbraak ini, dikenang sebagai sosok yang sederhana dan penuh cinta kasih. Sebagian besar umat yang mengikuti pelayanannya adalah para tentara yang bertugas di Aceh. Ia mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan ajaran agama dalam lingkungan militer di Hindia Belanda.

Di usia 77 tahun, kesehatan Pastor Verbraak menurun dengan drastis. Ia pun berhenti dari tugasnya dan menetap di Magelang, Jawa Tengah. Kota ini merupakan salah satu kota militer di Hindia Belanda. Ia menghembuskan meninggal dunia dan dimakamkan di kota tersebut.

Pada tahun 1922, Pemerintah Kota Rotterdam memberikan penghargaan untuknya atas pengabdiannya bagi kemanusiaan. Lembaga The Dutch East Indian Army di Bandung mengumpulkan dana untuk pembuatan patung sang pastor sebagai monumen ingatan terhadap kebaikan yang telah diberikannya.


Tour Urban Legend bersama Komunitas Aleut dan Mooibandoeng pada 15 Februari 2020 (Sumber: Komunitas Aleut)

Malam ketika tour Urban Legend itu, saya pun memerhatikan kembali wujud patung Verbraak. Saya bandingkan ketinggian patung ini 3x lipat dari tinggi badan rata-rata para peserta yang berdiri di sekitarnya –yang sedang menyimak pemaparan para pemandu. Setiap memerhatikan karya yang diletakkan di ruang publik seperti patung Verbraak ini, selalu ada pertanyaan khusus yang menggantung di pikiran. Siapa perupa yang membuat karya ini?

Ketika rombongan berjalan ke arah titik terakhir tour, Ariyono, salah satu pemandu Urban Legend dari Komunitas Aleut, memberitahu saya sekilas bahwa patung Verbraak dibuat oleh seorang perempuan pematung Belanda. Saya pun tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai sang pematung.

Gra Rueb dan Dunia Seni Rupa

Ialah Gerharda Johanna Wilhelmina Rueb. Dalam beberapa sumber tertulis, namanya sering disingkat menjadi G.J.W Rueb, namun dalam dunia seni rupa ia memiliki nama panggung Gra Rueb. Perempuan ini lahir di sebuah kota di selatan Belanda bernama Breda, pada tanggal 4 September 1885. Ia dikenal sebagai seorang pematung dan medailleur (seniman yang merancang uang koin).


Gra Rueb tengah mengerjakan model untuk Monumen HJ Lovink. Foto diambil pada tahun 1941. (Sumber: grarueb.nl)

Rueb dilahirkan dari keluarga yang sejahtera. Ia adalah anak dari direktur perusahaan mesin De Machinefabriek Breda, Johann Gerhard Rueb. Perusahaan ayahnya ini merupakan pemasok terbesar lokomotif uap untuk perusahaan trem di Belanda pada akhir abad ke-19.

Sejak kecil, Rueb menaruh minat dalam kesenian. Dalam sebuah wawancara di surat kabar Het Vrije Volk, Rueb pernah mengungkapkan masa kecilnya yang telah terbuka dengan dunia seni.

Dari wawancara tersebut, kita dapat mengetahui bahwa situasi pada awal abad ke-20 di Eropa, pendidikan artistik masih dipandang sebelah mata. Ada dua hal yang mendasarinya, pertama, studi model tanpa pakaian dianggap praktik yang tidak pantas. Kedua, seni rupa –terutama seni patung–tidak sesuai untuk perempuan karena dianggap pekerjaan yang berat dan kasar.

Gra Rueb tetap teguh memperjuangkan keinginannya menjadi perempuan pematung, mengingat saat itu jumlahnya masih sangat sedikit. Meski sempat tidak direstui oleh ayahnya, perlu diingat bahwa Rueb terlahir dari keluarga yang sejahtera. Posisi ini sangat memungkinan Rueb untuk mampu membayar pelatihan-pelatihan kesenirupaan yang diinginkannya kepada berbagai perupa terkemuka.

Pada tahun 1911, Rueb pun mengasah teknik menggambar dan mematung di Den Haag kepada gurunya Toon Dupuis, pematung Belgia. Empat tahun kemudian, guna mematangkan keahliannya, Rueb pindah ke Paris. Di sana, ia mempelajari seni patung kepada salah satu pematung berpengaruh di Prancis, Antoine Bourdelle. Sejumlah seniman ternama pun pernah menjadi murid Bourdelle, di antaranya Alberto Giacometti dan Henri Matisse. (“De dieren van Gra Rueb: Fijnzinnig werk van een stoere vrouw”, Arjana de Bruin, De Kunstenaar)


Gra Rueb tengah mengerjakan patung kuda di studio Georg Graff pada tahun 1954 (Sumber: grarueb.nl)

Sebagai sosok penting dalam gerakan Art Deco di Eropa, Bourdelle terlibat dalam masa transisi dari gaya Beaux-Arts ke gaya patung modern. Secara estetika, Rueb pun mendapatkan pengaruh yang kuat dari gurunya ini.

Sepulangnya dari Paris, Rueb menetap di Den Haag. Ia memantapkan karir dalam dunia seni rupa dengan patung sebagai fokus medium yang dipilihnya. Selain itu, ia pun merancang berbagai uang koin serta bust (patung kepala). Rueb pun pernah merancang patung keramik untuk perusahaan keramik termasyhur di Belanda, Goedewaagen (kini bernama Royal Goedewaagen).

Gra Rueb dalam Penggarapan Patung Verbraak

Pemerintah Belanda melirik Rueb untuk bekerjasama dalam berbagai proyek. Beragam patung, monumen, dan plakat, dibuatnya. Pada tahun 1926, Rueb membuat patung bust Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik yang ditempatkan di Balaikota Rotterdam. Patung inilah yang menggiring Rueb untuk mengerjakan proyek patung Verbraak di Bandung.

Dalam monograf berjudul De Beeldhouweres Gra Rueb yang ditulis oleh kritikus seni, Cornelis Veth, dijelaskan bahwa Rueb langsung bersedia menerima tawaran proyek pembuatan patung Verbraak karena rasa hormatnya pada sosok sang pastor sangat tinggi. Bahkan Rueb tidak memaksakan klaim untuk karya patung ini.


Peresmian Patung Verbraak, dipindai dari “Life” edisi 3 April 1922 (Sumber grarueb.nl)

Rueb tidak lantas berlayar ke Hindia Belanda dan datang ke Bandung untuk membuat patung ini. Ia mengerjakan rancangan patung Verbraak setinggi 2,5 meter di Belanda. Model patung tersebut kemudian dicetak dengan material akhir perunggu oleh Fonderie Nationale di Brussel. Bagian pedestal patung dibuat tinggi dengan berbahan dasar granit Bavaria. Monumen ini pun kemudian diangkut ke Hindia Belanda oleh perusahaan kapal uap Nederland, lalu dikirim ke Bandung dan diletakkan di Molukkenpark (Taman Maluku).

Patung Verbraak berdiri dengan gagah di sudut taman itu. Meski dibuat dengan ukuran yang tinggi, Rueb seperti tahu betul bahwa Verbraak adalah sosok yang rendah hati. Rueb pun menggambarkan gestur Verbraak dengan kepala yang sedikit tertunduk ke bawah, tidak tegak dengan angkuh. Kerut demi kerut di dahi sang pastor dibuat mengimbangi tatapannya yang teduh.

Pada dada kiri, terdapat empat lencana penghargaan. Dalam situs onderscheidingen.nl, Erik Müller menjelaskan arti empat lencana tersebut sebagai berikut (dari kiri ke kanan):

· Ridder in de Orde van de Nederlandsce Leeuw (Ksatria Ordo Singa Belanda)

· Officier in de Orde van Oranje-Nassau (Petugas Orde Oranye-Nassau)

· Atjeh-medaille 1873–1874 (Medali Aceh 1873–1874)

· Eereteeken voor belangrijke krijgsbedrijven met gesp ‘Atjeh 1873–1874’ (Tanda Kehormatan dalam Perang Aceh 1873–1874)


Kartu pos bergambar patung Pastor Verbraak (sumber: grarueb.nl)

Semasa hidupnya, karya-karya Rueb dibeli oleh berbagai museum seperti Gemmentemuseum Den Haag, Museum Boijmans van Beuningen di Rotterdam, Museum Stedelijk Amsterdam, dan Museum Kröller-Müller di Otterlo. Museum Breda, di kota kelahiran Rueb, pun mengumpulkan karya-karya Gra Rueb.

Tepat pada ulang tahun Rueb yang ke-60 pada 1946, Cornelis Veth menuliskan sebuah monograf berjudul De Beeldhouweres Gra Rueb. Dua sepupu dari Rueb berinisiatif membangun sebuah situs web grarueb.nl yang berisikan informasi mengenal kehidupan dan sebagian besar karya-karya bibinya tersebut. Pada 26 Desember 1972, Gra Rueb menghembuskan nafas terakhirnya di Den Haag.

Dari penelusuran ini, kita dapat mengetahui bahwa Verbraak tidak pernah menginjakkan kakinya di Bandung. Begitu pula dengan sang pematung. Jejak fisik Gra Rueb di Bandung hanya dapat ditemukan di sisi kiri pedestal patung Verbraak. Di sana tertera tandatangannya bertuliskan nama “GJW Rueb”.


Tandatangan Gra Rueb (sumber: grarueb.nl)

* * *

Dimuat pertama kali di https://medium.com/@audyaamalia/

Travelogue : Situ Cileunca, Pangalengan

Sekitar 45 Kilometer dari Kota Bandung, terdapat sebuah Danau yang menyimpan beribu pesona dan cerita, Situ Cileunca namanya. Lokasi tepatnya berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada di ketinggian 1550 Mdpl, membuat Situ Cileunca memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Bahkan di saat-saat tertentu suhu di sana dapat mencapai 10°Celcius. Selain suasana danau yang syahdu, ketika kita berada disana mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan teh yang berada di sekitar danau.

Sejarah Situ Cileunca

Situ Cileunca bukanlah Danau yang terbentuk secara alami, Situ ini merupakan Danau buatan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik dan sebagai cadangan air bersih bagi warga Bandung. Jika dilihat dari sejarahnya, pada awalnya kawasan Cileunca merupakan Kawasan Hutan Belantara yang dimiliki oleh seorang Belanda yang bernama Kuhlan (Ada yang mengatakan bahwa Kuhlan adalah Willem Hermanus Hooghland pemilik Borderij N.V. Almanak). Jika dilihat dari waktu pembangunannya, Situ Cileunca berhubungan dengan keberadaan Pemancar Radio Malabar yang berada di sekitar kawasan Pangalengan.

Situ Cileunca Tempo Dulu
Situ Cileunca tempo dulu di sekitar tahun 1920-1932 (Sumber: tropenmuseum.nl)

Pembangunan Situ Cileunca memakan waktu selama 7 tahun diperkirakan antara tahun 1919-1926. Membendung aliran Kali Cileuca dan dialirkan melalui Bendungan Dam Pulo. Konon pembangunan Situ Cileunca dikomandoi oleh dua orang pintar Arya dan Mahesti,  uniknya dari cerita yang beredar di masyarakat pembangunan Situ Cileunca tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul, namun menggunakan halu (alat penumbuk padi).

Berenang Di Situ CIleunca
Sejak zaman kolonial, Situ Cileunca sudah dijadikan tempat wisata. (Sumber : tropenmuseum.nl)

Pada zaman dahulu, Situ Cileunca sudah dijadikan sebagai tempat wisata oleh orang Belanda, Para wisatawan ketika itu biasanya berenang di tepian atau menaiki perahu berkeliling danau. Dahulu pernah ada kapal Belanda yang dipenuhi oleh wisatawan tenggelam di Situ Cileunca. Semua itu masih perkononan hingga pada akhir 2016 ketika Situ Cileunca disurutkan untuk maintenance bendungan, warga menemukan bagian dari kapal belanda tersebut di dasar danau.

Kapal Belanda Situ Cileunca
Potongan Kapal Besi Zaman Belanda

Karena jaraknya yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, Situ Cileunca dijadikan salah satu alternatif destinasi liburan bagi warga Bandung. Kini di Situ Cileunca selain menikmati pemandangan, sudah banyak kegiatan dan fasilitas yang bisa dinikmati di sekitar Kawasan Situ Cileunca. Mulai dari menaiki perahu berkeliling, wisata petik strawberry, berkemah hingga yang ekstrim seperti Outbound dan Rafting di Sungai Palayangan.

Jembatan Cinta, Situ Cileunca.

Salah satu spot favorit saya di Cileunca adalah Jembatan Cinta. Jembatan ini merupakan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa di Cileunca, Desa Pulosari dan Desa Wanasari. Sebelum dibangun jembatan ini warga harus mengambil jalan memutar yang memakan waktu lebih lama. Warga pun berinisiatif membangun jembatan untuk mempermudah akses antar desa.  Kata warga sekitar, jembatan ini seringkali dijadikan sebagai tempat kumpul muda mudi dari kedua desa. Dikarenakan alasan itu maka jembatan ini pun dinamakan Jembatan Cinta. Lagipula segala seuatu yang diembel-embeli kata “cinta” terdengar lebih menjual kan?

Jembatan Situ Cileunca
Jembatan Cinta Situ Cileunca

Spot ini menjadi favorit saya karena dari sini kita dapat menikmati banyak hal, mulai dari pemandangan Perkebunan Teh Malabar di sebelah Timur Cileunca hingga mengamati kegiatan dan berinteraksi dengan warga sekitar. Ditambah lagi untuk mencapai spot ini tidak dipungut biaya (dasar mental gratisan, hehe).

Dalam tenang airnya, Situ Cileunca masih menyimpan banyak misteri yang belum terkuak.

Sudah pernah atau ingin datang ke Sini? Silahkan bagi pengalaman Anda di kolom comment di bawah ini.

 

Sumber: http://www.adiraoktaroza.com/2017/05/05/travelogue-situ-cileunca-pangalengan/

Mengenal Willem Gerard Jongkindt Conninck

Nisan W.G. Jongkindt Coninck.jpg
Batu nisan W.G. Jongkindt Coninck/foto oleh Asep Suryana

 

Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)

Pada bulan Juni 1934, sebuah perayaan spesial untuk Tuan W.G. Jongkindt Coninck diselenggarakan di Kertamanah. Banyak telegram, karangan bunga, serta bingkisan diterima oleh panitia perayaan di Kertamanah. Saking spesialnya perayaan ini, banyak artikel koran Belanda yang merekam peristiwa ini. Tapi siapa sih Tuan Jongkindt ini?

Untuk mengenalnya, mari kita mundur sekitar 50 tahun dari perayaan itu yakni tahun 1884.

Pada tanggal 22 Juni 1884, Willem Gerard Jongkindt Conninck dan kakaknya bernama Gerrit Jan Jongkindt Conninck datang di Hindia Belanda untuk pertama kalinya. Tujuan mereka ialah mencari peruntungan di bidang perkebunan. Perlu diketahui Willem dan Gerrit berumur 18 dan 24 tahun.

Karir Willem diawali sebagai pegawai perkebunan tembakau di Sumatera. Pada awalnya, dia bekerja perkebunan di Belawan. Lambat laun, karena kerja keras dan ketekunannya, dia berhasil menjadi seorang administratur perkebunan tembakau di Deli pada tahun 1889. Saat itu dirinya berumur 23 tahun!

Setelah 15 tahun berkarir di Sumatera, Tuan Willem pindah ke perkebunan di Jawa. Perkebunan pertama yang disinggahinya berlokasi di Lampegan. Lalu, dia pindah ke Kertamanah dan menjadi administratur perkebunan pada 1 April 1904.

Selama di Kertamanah, fokus Tuan Willem lebih ke arah budidaya kina. Metode pengolahan tanah, pemilihan benih, dan penanggulangan penyakit kina menjadi fokusnya. Salah satu penelitian yang dilakukan Tuan Willem tentang penyakit kina diterbitkan di koran De Preangerbode edisi Juli 1913.

Berkat metode-metode itu nama perkebunan Kertamanah dan Willem G. Jongkindt Conninck terkenal di Jawa. Hal itu terlihat dengan banyaknya undangan sebagai pembicara yang diterima oleh Tuan Willem. Salah satunya adalah undangan Tentoonstelling te Semarang yang menempatkan dirinya di seksi agrikultur dan holtikultura.

Hingga pada tahun 1934, Willem Gerard Jongkindt Conninck dianugerahi Ridder in de Orde van Oranje-Nassau berkat jasa dan kiprahnya selama 50 tahun di budidaya kina. Penganugerahan itu dirayakan di Kertamanah. Banyak koran Belanda yang merekam peristiwa ini.

Sayangnya, jejak langkah Tuan Willem Conninck di bidang budidaya kina berhenti saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Bahkan kehidupan Willem Gerard Jongkindt Conninck pun berhenti saat dirinya berada di Kamp Interniran 7 Ambarawa. Dia meninggal di sana pada tanggal 23 Januari 1945. (Vss/Rap)

 

Gunung Lumbung

Dalam disertasinya tentang naskah-naskah Dipati Ukur, Edi Suhardi Ekadjati menyebutkan bahwa catatan tertua tentang tokoh ini mungkin yang ditulis oleh Salomon Muller dan P. van Oort dan diterbitkan dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1836. Salomon Muller dan van Oort adalah anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sudah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden dan sedang melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.

Pada tanggal 15 Januari 1833 pasangan ini berada di daerah Cililin, dua hari kemudian mereka diantar oleh beberapa orang penduduk setempat ke puncak Gunung Lumbung untuk menyaksikan peninggalan-peninggalan purbakala. Di puncak gunung inilah, Muller dan Oort mendapatkan cerita dari seorang tua tentang tokoh Dipati Ukur, tempat persembunyian dan benteng pertahanan terakhirnya. Catatan Muller dan Oort kemudian dimuat oleh NJ Krom dalam buku Laporan Dinas Kepurbakalaan (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië) yang terbit pada tahun 1914.

Pada hari Minggu lalu (12 Maret 2017), secara tidak sengaja kami juga sampai di lokasi yang dikunjungi oleh Muller dan Oort pada tahun 1833 itu. Di tengah ladang di puncak gunung ini, ada sepetak tanah yang dibatasi oleh susunan batu membentuk ruang persegi dengan beberapa pohon hanjuang merah yang menjadi batas petak. Di tengah petak terdapat pohon puspa dan nangka dan berbagai jenis tumbuhan lain, terutama hanjuang hijau. Nah di bawah pohon puspa inilah kami lihat dua buah batu panjang dalam posisi berdiri dan di bawahnya sebongkah batu lain yang sepertinya merupakan potongan atau sisa sebuah arca, pada bagian yang tertinggal masih bisa dilihat pahatan sepasang kaki.

Salah satu batu berdiri ini bentuknya tampak lebih modern, bagian atasnya melancip dan di beberapa sisi seperti ada bekas pahatan tulisan huruf Latin. Sebentar saya menduga batu ini seperti tugu triangulasi atau yang di beberapa tempat biasa disebut sebagai sayang kaak, kemudian ragu sendiri karena batu ukurannya lebih tinggi daripada yang biasa saya lihat. Pada batu yang lebih tua juga sepertinya ada bekas pahatan-pahatan, entah huruf atau relief, terlalu samar. Sementara pada bagian belakang sisa arca, terdapat pahatan yang membentuk huruf-huruf Latin, sepintas kami kira itu hasil vandalisme modern.

Tentu saja di sini kami tak bertemu dengan orang tua yang bercerita pada Muller dan Oort, tapi kami bertemu seorang tua lain, pensiunan Dinas Purbakala (?) yang sebelumnya bekerja di Cimahi dan ingin menghabiskan hari tuanya di Desa Mukapayung. Darinya kami mendengar tentang beberapa situs lain yang tersebar di puncak-puncak gunung di dekat Mukapayung, di antaranya Gunung Gedogan dan Gunung Masigit yang terlihat tidak terlalu jauh dari lokasi kami berdiri. Ya, kunjungan berikutnya ke kawasan ini, kami akan kunjungi dan lihat lebih banyak.

Hana Nguni Hana Mangke

image

Salah satu karya Pak Sunaryo yang sangat menarik dan sangat saya sukai hari ini: sebongkah batu besar setinggi dada orang dewasa yang bagian atasnya dipotong miring ke bawah, lalu dilubangi mengikuti bentuk rangkaian mesin yang diletakkan di dalamnya. Mesin ini terus bergerak dengan daya yang didapat dari energi sinar matahari.
.
Pada permukaan batu yang miring itu dipasang kaca tebal yang dipotong mengikuti bentuk garis luar bongkah batu sebagai penutup mesin.
Bongkah batu ini diletakkan dalam posisi vertikal di dekat tembok kompleks Wot Batu, bagian atasnya diberi atap beton yang ditopang oleh tembok di satu sisi dan oleh kaca tebal vertikal di sisi lainnya.
.
Yang membuat lebih menarik adalah pahatan kalimat Sunda Kuno yang legendaris pada bagian atas tembok di bawah atap, sebuah kutipan dari naskah Kropak 632 yang sering disebut dengan judul “Amanat Galunggung”:
hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke.
.
Lalu tiba-tiba saya merasa mengenali sesuatu: prasasti. Ya, saya lihat batu ini sebagai prasasti dunia modern. Manusia dulu meninggalkan jejak lewat kalimat² dalam huruf kuno yang ditoreh pada daun lontar, atau pahatan tulisan di atas batu, atau mungkin lewat kisah tenaga gaib yang mampu meninggalkan jejak kaki pada batu cadas.
.
Selanjutnya imajinasi saya melayang ke sana-sini tentang kegiatan sejarah, tentang jejak² yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu, dan tentang apa yang akan kita tinggalkan pada generasi yang akan datang. Hehe, ceritanya bisa sangat panjang ya.. Silakan lanjutkan saja dengan interpretasi masing².

Blog at WordPress.com.

Up ↑