Lima artikel yang dimuat di HU Pikiran Rakyat, rubrik Selisik, Senin, 22 Februari 2016. Salinan artikelnya menyusul.
Oleh @akayberkoar
Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar nama Abdul Muis? Saya pernah tanyakan pada kawan-kawan, jawabnya ada yang menyebut tokoh pergerakan, pahlawan nasional, juga wartawan atau satrawan. Yah, semuanya benar. Tapi bagi saya sendiri selama ini nama Abdul Muis hanya berkait dengan satu hal, trayek angkot atau nama terminal angkot di Bandung.
Ya, sejak umur 10 tahunan, nama Abdul Muis sudah tidak asing bagi saya. Saat itu saya sering menemani ibu naik angkot dan sering saya baca nama Abdul Muis tertempel di kacanya sebagai salah satu trayek, ada Abdul Muis-Elang, Abdul Muis-Dago, Abdul Muis-Cicaheum, sampai Abdul Muis-Cimahi. Yang terakhir ini sepertinya perubahan dari trayek Abdul Muis-Leuwipanjang. Saya agak lupa-lupa ingat juga.
Sudah sejak masa itu bagi saya nama Abdul Muis identik dengan teminal angkot Kebon Kalapa. Setiap sore ibu membawa saya menyambangi terminal untuk menunggu ayah pulang kerja. Saat itu ayah saya bekerja di daerah Kebon Kalapa, di suatu perusahaan yang masih saya ingat namanya, Hilton. Tapi tentu bukan hotel Hilton yang megah itu. Sambil menunggu ayah pulang, kami biasa jajan cendol langganan di pinggiran Jl. Pungkur. Rasanya jalanan saat itu masih sepi, tidak ramai oleh tukang batu-batu akik seperti belakangan ini.
Setelah dewasa, saya dihadapkan pada pertanyaan, siapakah Abdul Muis yang namanya dijadikan nama terminal itu? Zaman sekarang mudah saja googling. Ternyata, Abdul Muis adalah Pahlawan Nasional Pertama yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 30 Agustus 1959. Beliau dilahirkan di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 3 Juni 1883. Abdul Muis mengikuti pendidikan sekolah dasar warga Eropa, Eur Lagere School. Pendidikan lanjutan ditempuhnya di Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), tapi tidak sampai selesai karena sakit.
Mungkin ada alasan kenapa namanya digunakan sebagai nama terminal angkot di Bandung? Apakah karena nama jalan di depan terminal itu Jl. Abdul Muis? Kenapa nama jalan itu diberi nama Abdul Muis?
Benda Cagar Budaya Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Sjahrir.
Sukabumi.
_______
Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Teluk yang molek dan telaga yang permai, gunung yang tinggi dan lurah yang dalam, rimba belantara dan hutan yang gelap, ataupun pulau yang sunyi serta pun padang yang lengang, semua itu bagian Tanah air yang sama kita cintai. Semuanya itu tidak boleh asing bagi kita. Dan kita bersedia menempuhnya satu persatu, di mana perlu.
. . .
Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira.
Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku.
. . .
Hatta, 1934.
_________
Hatta dan Sjahrir menumpang pesawat Catalina ke Surabaya, lalu menyambung dengan kereta api ke Jakarta, esoknya dilanjutkan dengan pengawalan ketat Polisi Hindia Belanda ke Sukabumi. Di sini Hatta dan Sjahrir menempati sebuah rumah inspektur polisi buatan tahun 1926, letaknya di dalam komplek Sekolah Polisi Sukabumi.
Artikel di koran PR tentang dua kegiatan @sahabatbosscha dan @mooibandoeng pada akhir pekan lalu. Masing-masing, Sabtu 16 Januari 2016, Bedah Buku Preangerplanters di Institut Francais Indonesia Bandung, Jl. Purnawarman No.32, dan Minggu 17 Januari 2016, Tour Preangerplanters ke Cimurah, Garut dan Pabrik Teh Cisaruni, Cikajang.
Kedua kegiatan sudah terlaksana dengan lancar dan menyenangkan.
Kunjungan ke Pabrik Teh Cisaruni hari Minggu, 17 Januari 2016 kemarin adalah ujung rangkaian kegiatan “Mengenal Riwayat Preangerplanters” yang sudah kami laksanakan dalam 2 minggu ini.
Dua kegiatan pertama berupa #Ngaleut dari @komunitasaleut
pada tanggal 3 & 10 Januari 2016 dengan judul “Jejak Preangerplanters di Kota Bandung”. Dari kegiatan ini terkumpul 24 bangunan dan lokasi yang berhubungan dengan aktivitas Preangerplanters tempo dulu di kota Bandung.
Kegiatan ketiga berupa “Bedah Buku Preangerplanters” pada hari Sabtu, 16 Januari 2016 yang diadakan di Auditorium Institut Francais Indonesia, Bandung, Jl. Purnawarman 32. Hadir dalam acara ini Bpk. Eka Budianta, Bpk. H. Kuswandi Md, Bpk. Kurnadi Syarif-Iskandar, Bpk. Ir. Nugroho, Bpk. Mahasena Putra, Bpk. Taufik Hidayat, Bpk. Sudarsa, Ibu Susan, dan sekitar 40 peserta lainnya.
Sebagai kegiatan keempat atau yang terakhir, berupa kunjungan ke Rumah Bambu di Cimurah untuk melihat arsip2 yang berhubungan dengan sejarah teh di Indonesia dan kunjungan ke Perkebunan Cisaruni di Cikajang untuk melihat jejak2 Karel Frederik Holle serta melihat langsung secara lengkap proses produksi teh.
Kegiatan terakhir ini diikuti oleh lebih dari 30 peserta dan ditambah dengan tamu2 undangan dari Garut, di antaranya Asgar Muda dari Cigedug, Bpk. Dedi Efendi, Bpk. Darpan, Paguyuban Moka Garut, Komunitas Sanghyang, dan sebuah kelompok seni karinding. Di sini diperkenalkan kembali tradisi masyarakat perkebunan teh yang hampir punah, yaitu nyaneut.
Semoga seluruh rangkaian kegiatan ini sudah memberikan pengalaman dan tambahan pengetahuan bagi para peserta dan dapat mengamalkannya lebih luas lagi.
Rangkaian kegiatan berikutnya akan segera menyusul, di antaranya kunjungan ke perkebunan di Gambung, Cinyiruan, dan Pasirmalang.
Salam.
Recent Comments