Oleh @omindrapratama

3-serangkai
Dari kiri ke kanan : Suwardi Suryaningrat, E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo.

Tiga Serangkai. Julukan ini adalah julukan yang seharusnya tidak pernah terlupakan jika kita berbicara Sejarah Pergerakan Nasional. Triumvirat Ernest Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat adalah tonggak pertama pergerakan bercorak nasionalis di Indonesia lewat Indische Partij, yang berumur pendek, serta berbagai gerakan politik, kebudayaan, dan pendidikan lain. Tanpa pengaruh dari Tiga Serangkai, bisa-bisa tidak ada pergerakan bercorak nasionalis dari Perhimpunan Indonesia di Belanda, atau Partai Nasional Indonesia, tidak ada pula Dwi-Tunggal Soekarno dan Hatta.

Semua pergerakan penting Tiga Serangkai tidak bisa dilepaskan dari Kota (dulu kabupaten) Bandung. Di kota ini Tiga Serangkai melakukan banyak gerakan yang membuat panas telinga pemerintah kolonial, sekaligus membangkitkan semangat nasionalisme kaum pribumi.

Bandung pada dekade awal abad 20, adalah kota yang mulai menggeliat dengan kegiatan budaya dan pendidikan penduduk pribumi. Tahun 1904 Raden Dewi Sartika merintis lembaga pendidikan khusus perempuan di Pendopo Kabupaten Bandung. Tahun 1907 Tirto Adhi Suryo menjalankan Surat Kabar Medan Prijaji di Jalan Naripan. Keberadaan sekolah-sekolah menengah yang membuka diri untuk siswa pribumi seperti Kweekschool, HBS, dan AMS di Bandung juga menjadi keran masuk pribumi-pribumi muda berpendidikan barat.

Eksponen Tiga Serangkai yang pertama menetap di Bandung adalah Douwes Dekker. Douwes Dekker yang pada 1908 turut serta mendirikan Budi Utomo di Batavia, merasa kecewa dengan perkembangannya yang makin dikuasai para priyayi konservatif, yang menyingkirkan pemuda-pemuda cerdas binaannya seperti Sutomo, Rajiman Wediodiningrat, dan Gunawan Mangunkusumo. Ia lalu mengunjungi tanah leluhurnya di Belanda selama 1 tahun, lalu kembali ke Hindia dan menetap di Bandung tahun 1910. Setibanya di Bandung, ia langsung aktif di dua organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde (di Insulinde Douwes Dekker pernah aktif sebelumnya). Lagi-lagi Douwes Dekker merasa kecewa karena sikap konservatif kedua organisasi tersebut yang tidak sepaham dengan ide Douwes Dekker, yaitu membolehkan kaum pribumi terpelajar bergabung untuk kemudian berjuang di ranah politik.

Pada September 1912, Douwes Dekker berdiskusi dengan kawan-kawan dekatnya di Bandung, membuat rencana pembentukan sebuah partai politik untuk “kaum-kaum yang merasa dicurangi”, dan dengan pengaruhnya, mendirikan Indische Partij sebagai hasil metamorfosis Indische Bond. Ia pun mengadakan tur keliling Jawa, dan dengan idenya, berhasil memukau banyak kaum Indo dan intelektual pribumi. Pendirian Indische Partij dapat dikatakan merupakan akhir rangkaian pergerakan politik Douwes Dekker.

Sebelumnya, pada Maret 1912, Douwes Dekker mendirikan Surat Kabar De Expres yang berkantor di salah satu bangunan di timur Alun-Alun Bandung. Surat kabar ini bercorak politis. Dalam perkembangannya, Douwes Dekker lalu mengajak dua pribumi radikal, Cipto dan Suwardi, untuk bergabung di redaksi De Expres dan pengurus organisasi Indische Partij. Sifat keras dan radikal dua putra Jawa itu sesuai dengan idealisme Douwes Dekker, De Expres, dan Indische Partij, yang keras dengan antikolonialisme dan antifeodalisme. Cipto dan Suwardi adalah kenalan lama Douwes Dekker saat membantu pembentukan Budi Utomo di STOVIA. Mereka berdua juga adalah barisan sakit hati atas jatuhnya Budi Utomo ke tangan para priyayi konservatif.

de-expres
Edisi awal De Expres

Sejak di STOVIA, Cipto sudah dikenal sebagai orang yang anti terhadap birokrasi dan feodalisme, baik yang bercorak lokal Jawa, maupun yang datang dari kolonialisme. Cipto pernah memberontak atas peraturan berpakaian di STOVIA dengan memakai baju yang sangat jelek ke kelas. Pernah pula ia datang sambil merokok kemenyan. Beberapa guru STOVIA berusaha mengeluarkan Cipto, namun kecerdasan Cipto dalam menyerap pelajaran, serta nilai akademik yang mentereng, membuat ia dipertahankan oleh sekolah. Douwes Dekker sudah mengenal tulisan-tulisan Cipto yang tajam dan tendensius sejak bekerja di Surat Kabar Bataviaasch Nieuwsblad tempat Cipto sering mengirimkan tulisan yang pedas. Di Bandung, Cipto tinggal bersama Douwes Dekker di Jalan Ciateul.

drc
dr.Tjipto Mangunkusumo

Cipto pernah memberontak atas peraturan berpakaian di STOVIA dengan memakai baju yang sangat jelek ke kelas. Pernah pula ia datang sambil merokok kemenyan.

Suwardi, setelah keluar dari STOVIA akibat sakit, meniti karir sebagai penulis dan jurnalis yang bernas. Ia tercatat pernah bekerja untuk Surat Kabar Sediotomo, Midden Java, dan beberapa media lain, dengan tema tulisan yang banyak berbau antikolonialisme. Suwardi memang terpengaruh kakaknya, si Raja Mogok Suryopranoto, dalam pemikiran-pemikiran anti penindasan. Pangeran Pakualaman ini pun akhirnya direkrut oleh Douwes Dekker untuk masuk ke De Expres.

kihajar
Suwardi Suryaningrat

Pada hari Natal 1912, Iindische Partij mengadakan konvensi besar di Bandung. De Expres menulis pada edisi 27 Desember 1912, bahwa total peserta (lokal dan delegasi dari luar Bandung) mencapai 5000 orang. Konvensi tersebut menghasilkan kebijakan-kebijakan tentang keanggotaan Indische Partij (penduduk Hindia Belanda, tidak terbatas pada ras, jenis kelamin, dan suku) dan tujuan organisasi (memajukan kebutuhan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat Hindia Belanda). Douwes Dekker sadar bahwa dengan kebijakan-kebijakan itu, dibutuhkan aksi-aksi radikal yang membuat Indische Partij mungkin akan segera diberangus pemerintah.

Kekhawatiran tersebut terbukti. Pada 1913, pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak oleh pemerintah sehingga akhirnya mendaftarkan dengan nama Comite Boemi Poetra. Komite ini dibentuk dengan dalih sebagai perwakilan pribumi untuk rencana Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda. Cipto didaftarkan sebagai ketua, Sutatmo Suriokusumo sebagai wakil ketua, Suwardi sebagai sekretaris, dan Wigniadisastra sebagai bendahara.

indisce-partij
Lambang Indische Partij. (Tempo)

Alih-alih mendukung rencana peringatan, Indische Partij dan De Expres malah bergerak memusuhi rencana peringatan tersebut. Puncaknya adalah ketika pemerintah berencana mengumpulkan donasi untuk membiayai peringatan pada pertengahan tahun 1913. De Expres menurunkan serangkaian tulisan yang sangat keras. Tulisan pertama datang dari kontributor Abdul Muis yang menulis kecaman soal penghinaan seorang Belanda kepada seorang pribumi di daerahnya. Lalu pada 13 Juli 1913, Suwardi menulis pamflet legendaris, Als ik een Nederlander was (Andaikan Aku Seorang Belanda). Sebuah sarkasme atas rencana peringatan. Beberapa hari setelah terbit, Suwardi pun ditangkap oleh pemerintah.

wardinoto4
Tampilan depan pamflet “Als Ik Eens Nederlander Was,..”. (gatholotjo.wordpress.com)
135599_620
Tiga Serangkai sebelum meninggalkan Bandung menuju pembuangan ke Belanda.

Sebagai reaksi atas penangkapan Suwardi, tanggal 5 Agustus De Expres menurunkan tulisan Cipto yang berjudul Kracht of Vrees? yang berisikan kritik atas rasa takut yang ditebar pemerintah. Alhasil Cipto pun menyusul Suwardi di Penjara Banceuy. Terakhir, Douwes Dekker akhirnya turun membuat artikel pembelaan atas kedua rekannya, berjudul Onze Helden : Cipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan Kita : Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat). Akibatnya, Douwes Dekker pun ikut diciduk. Tiga Serangkai dipaksa meninggalkan Bandung menuju Belanda pada akhir 1913. Meninggalkan benih nasionalisme yang prematur.

Namun Bandung rupanya masih dirindukan oleh Douwes Dekker dan Cipto. Setelah dipulangkan dari Belanda pada 1914 akibat sakit, Cipto aktif kembali dalam politik lokal melalui Insulinde yang mencoba menghidupkan lagi gagasan-gagasan Indische Partij, bahkan berhasil masuk menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) di Weltevreden, Batavia, tahun 1919. Gagasan, kritik, dan tentangan terhadap kolonialisme, ia utarakan langsung di depan hidung para pelakunya. Alhasil Cipto pun diusir kembali, ia dikenakan tahanan kota di Bandung. Di bagian kedua domisilinya di Bandung, Cipto lebih akrab dengan masyarakat. Ia membuka praktik dokter swasta di rumahnya di Tegalega. Tak hanya diam di rumah, ia pun rajin berkeliling dengan sepeda, mencari warga sakit yang butuh jasa pengobatan.

Douwes Dekker pun setali tiga uang, setelah pulang dari Belanda, ia kembali menjadi biang kerok di Hindia Belanda. Ia meneruskan upaya Cipto menghidupkan kembali Indische Partij dengan mendirikan National Indische Partij, yang tentunya kembali diberangus dan ditengarai terlibat dalam kerusuhan buruh tani di Polanharjo, Klaten. Seperti Cipto, Douwes Dekker juga dikenai tahanan kota di Bandung.

Douwes Dekker kemudian bekerja sebagai guru pada sekolah rendah swasta milik Ny. Mayer Elenbaas di Jalan Kebon Kalapa nomor 17. Pemerintah sengaja mengkondisikan Douwes Dekker untuk bekerja di bidang pendidikan guna meredam ambisi politiknya. Douwes Dekker mulai mengajar sejak September 1922 dan malah kemudian menjadi penggerak utama sekolah tersebut. Pada 1924, Douwes Dekker merombak struktur sekolah tersebut di bawah Yayasan Ksatrian Instituut setelah berdiskusi dengan Suwardi, yang sebelumnya juga sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa di Jogjakarta.

ksatrian
Iklan Ksatrian Instituut. Ksatrian Instituut berdiri di Nieuwstraat, Bandung (sekarang Jl.Kesatrian). (geheugenvannederland.nl, karya PF Dahler tahun 1935).

Rencana pemerintah mengisolir Douwes Dekker dan Cipto di Bandung nantinya terbukti merupakan blunder besar. Karena pada periode ini Douwes Dekker dan Cipto akhirnya bertemu dengan pemuda binaan HOS Tjokroaminoto yang bernama Sukarno.

Sukarno, yang datang ke Bandung tahun 1920 untuk menempuh studi di Technische Hoogeschool Bandung, malah lebih tertarik untuk berlama-lama berdiskusi dengan Douwes Dekker maupun Cipto di Tegallega. Douwes Dekker dan Cipto turut membantu Sukarno mendirikan Algemenee Studie Club Bandung pada 1927. Algemenee Studie Club adalah embrio Partai Nasional Indonesia, partai nasionalis non-kooperatif yang nantinya membawa Soekarno menjadi pemimpin pergerakan terbesar di Indonesia. Sukarno juga memperkaya pengalaman dengan mengajar matematika dan sejarah di Ksatrian Instituut, yang sudah pindah lokasi ke Pasir Kaliki.

Sukarno, yang datang ke Bandung tahun 1920 untuk menempuh studi di Technische Hoogeschool Bandung, malah lebih tertarik untuk berlama-lama berdiskusi dengan Douwes Dekker maupun Cipto di Tegallega.

Pertikaian Cipto dan Douwes Dekker dengan pemerintah kolonial rupanya belum usai meskipun mereka mulai menua. Cipto dituduh terlibat dengan Pemberontakan PKI tahun 1926-1927 dan peledakan gudang mesiu di Bandung. Cipto pun dipaksa sekali lagi meninggalkan Bandung, menuju Banda Neira, Makassar, dan Sukabumi, hingga wafatnya pada 8 Maret 1943.

Sedangkan Douwes Dekker kembali mengalami represi karena menulis materi sejarah yang antikolonial untuk siswa-siswa Ksatrian Instituut. Tahun 1933 seluruh buku semi-ilmiah karya Douwes Dekker disita Karesidenan Bandung dan dibakar. Douwes Dekker dikenai larangan mengajar dan kemudian dibuang ke Suriname tahun 1941 karena dituduh sebagai kolaborator fasisme Jepang. Istrinya, Johanna Petronella Mossel (guru dan tenaga administrasi Ksatrian Instituut) mengkhianatinya dengan menikah dengan Djafar Kartodiredjo, juga seorang guru Ksatrian Instituut, tanpa pemberitahuan kepada Douwes Dekker (nantinya mereka baru resmi bercerai 1947).

Di Suriname, Douwes Dekker mengalami kebutaan akibat kondisi yang buruk di kamp pengasingan. Ia akhirnya dipindahkan ke Belanda sebelum dikembalikan ke Indonesia pada pertengahan 1966. Sekembalinya ke Indonesia, Douwes Dekker langsung terlibat aktif pada pemerintahan yang tersingkir ke Jogjakarta, sekaligus berganti nama menjadi Danudirja Setiabudi sesuai saran Sukarno. Pada 21 Desember 1948, Douwes Dekker kembali diciduk Belanda di rumah dinas di Kaliurang saat Belanda melancarkan Agresi Militer ke-II.

img_00141
DD di masa tua. Foto dari santijehannanda.wordpress.com

Douwes Dekker pun akhirnya dilepas Belanda setelah berjanji tidak akan melibatkan dari dalam politik. Ia dikirim kembali ke Bandung bersama istrinya, Nelly Albertina Gertzma (Harumi). Douwes Dekker, yang kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk berpolitik aktif, akhirnya memutuskan untuk menghabiskan masa tua di sebuah rumah di Lembangweg (sekarang Jl. Setiabudi, dekat Swalayan Borma Setiabudi), yang dinamainya “Djiwa Djuwita”. Setelah kemerdekaan ia sempat aktif kembali di Ksatrian Instituut dan menulis otobiografi 70 Jaar Konsekwent (70 Tahun Konsistensi). Douwes Dekker mengakhiri perjuangan panjangnya di Bandung, pada 28 Agustus 1950, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra.

Bagi mereka, Bandung bukanlah Garden of Allah, atau Parijs van Java. Bandung bagi mereka bukanlah gemerlap kamar bola dan pusat perbelanjaan, bukan pula bangunan Art-Deco. Bagi mereka, Bandung adalah sisi lain dunia yang dihisap oleh kolonialisme yang harus dibangunkan dan digerakkan. Namun di Bandung, yang sering membanggakan diri sebagai pusat sejarah pergerakan nasional, kisah mereka tidaklah menjadi ingatan umum. Jangan sampai tidak ada keinginan mengingat atau mencari lagi di mana Kantor De Expres, di mana Indische Partij berkonvensi atau di mana letak persis rumah Cipto di Tegalega. Atau minimal, jangan sampai tidak ada lagi ingatan apa itu Indische Partij, dan siapa itu Setiabudi.

_______________________________________________________________

Tulisan ini dipost juga di sini https://oomindra.wordpress.com/

Advertisement