TAPAK TILAS SUKARNO DI BANDUNG

Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Bandung pada tahun 1921 hingga pembuangannya ke Ende, Flores, pada tahun 1934, maka paling sedikit Sukarno melewatkan waktu sekitar 14 tahun di Bandung. Nah, bila sekarang ada yang bertanya di mana saja Sukarno pernah tinggal, atau ke mana saja beliau suka pergi selama di Bandung, maka jawabnya tidak akan mudah. Tidak ada rekaman jejak yang rinci tentang hal itu. Mungkin yang akan paling mudah teringat adalah kampus ITB di Jl. Ganesha, tempat Sukarno menjalani pendidikan hingga lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1926. Atau sebagian akan mengenang Gedung Merdeka sebagai perekam jejak inisiatif Presiden Sukarno untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia-Afrika.

IMG_8490

Tapi tentu saja dua tempat itu tidak cukup mewakili perjalanan panjang seorang pemuda pribumi yang telah menghabiskan masa mudanya ikut berjuang merintis kemerdekaan Republik Indonesia, pemuda yang kemudian menjadi pemimpin pertama negara merdeka ini sejak 1945 hingga 1967. Ada banyak lokasi ataupun gedung yang sebetulnya merekam jejak Sukarno di Bandung, tetapi rupanya hal ini belum menjadi perhatian utama baik dari pemerintah ataupun masyarakat kita.

Hampir semua tokoh utama perjuangan saat itu pernah datang ke rumah panggung ini untuk bertukar pandangan dan merancang berbagai gerakan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Rumah panggung ini merekam jejak kehadiran Agus Salim, Abdul Muis, K.H. Mas Mansur, Moh. Hatta, M.H. Thamrin, Moh. Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr. Soetomo, Asmara Hadi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

Sungguh miris bila membandingkan keadaan ini misalnya saja dengan ketokohan Jose Rizal, pahlawan nasional negara tetangga kita, Filipina. Dengan menggunakan mesin pencari di internet, mudah sekali kita mendapatkan informasi jejak-jejak Jose Rizal semasa hidupnya. Tidak hanya di Filipina, bahkan jejak-jejak Jose Rizal didokumentasikan di banyak daerah lain, di antaranya Hong Kong, Singapura, Spanyol, Perancis, dan seterusnya. Berbagai tour dengan tema Tapak Tilas Jose Rizal diselenggarakan di kota-kota tersebut. Semua jejak Jose Rizal dirawat dan didesain begitu rupa sehingga tampak menarik dan menggugah rasa ingin tahu dari generasi berikutnya.

Mungkin, kita terlalu sering mengulang-ulang kutipan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya,” sehingga sering terlupa untuk melaksanakannya. Tak sulit membayangkan bila di seluruh penjuru Kota Bandung ini dapat kita temukan sebuah panel metal misalnya sederhana yang berisikan informasi pendek tentang sejarah lokasi atau bangunan yang terkait. Misalnya saja pada dinding sebuah bangunan di pojokan Jl. Pungkur dan Jl. Dewi Sartika, bisa dipasang panel logam seperti itu dengan keterangan bahwa bangunan itu dulu bekas rumah tinggal Drs. Sosrokartono “Sang Dokter Cai”, yang bersama rekan seperjuangan lainnya pernah mewarnai kehidupan Kota Bandung tempo dulu.

Lokasi bekas Pondok Dar-Oes-Salam tidak menyisakan jejak sejarahnya.
Lokasi bekas Pondok Dar-Oes-Salam tidak menyisakan jejak sejarahnya.

Ke rumah Sosrokartono itu Sukarno muda sering mampir untuk berjumpa dan berdiskusi sosial politik dengan tokoh-tokoh lain seperti Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan lainnya. Dengan setiap orang yang melewati rumah itu dapat membaca informasi ringkas tentang sejarah kota, tentu generasi berikutnya dapat diharapkan akan lebih merasa memiliki kota ini. Rasa memiliki menumbuhkan cinta, dengan cinta generasi berikutnya dapat merawat kota ini dengan lebih baik. Berikut ini adalah hasil penelusuran sejumlah lokasi yang berhubungan dengan kehidupan Sukarno selama tinggal di Kota Bandung antara 1921-1934.

SUKARNO DAN BANDUNG

Seperti sudah diceritakan dalam tulisan lain di sini, Sukarno tinggal pertama kali di Bandung adalah di rumah Haji Sanusi di Javaveemweg. Jalan kecil yang paralel dengan jalur rel kereta api ini menghubungkan Viaduct dengan Jl. Braga. Dulu di ruas jalan kecil ini terdapat sejumlah rumah, selain rumah Haji Sanusi, rumah orang tua Inggit, juga rumah keluarga Haji Apandi yang namanya sekarang dipakai untuk menyebut nama kampung dan beberapa gang di sekitar Jl. Braga. Sudah tidak ada lagi rumah tersisa di kawasan ini, sebagian lahannya telah beralih menjadi bagian sebuah hotel. Di sini juga Sukarno menikahi Inggit Garnasih.

Setelah menikah, pasangan Sukarno-Inggit pindah rumah menempati sebuah rumah panggung di Gg. Djaksa (Gg. Jaksa), di ujung selatan Regentsweg yang menjadi Jl. Dewi Sartika. Rumah panggungnya memang sudah tidak ada lagi karena telah berubah menjadi bangunan permanen. Di dalam rumah ini sampai sekarang masih dipajang beberapa foto Sukarno-Inggit di masa muda. Tak jauh dari rumah mereka, terletak rumah Ibu Dewi Sartika yang berada di Gg. Idjan.

Rumah kontrakan di Gg. Djaksa.
Rumah kontrakan di Gg. Djaksa.

Dari Gg. Jaksa, pasangan Sukarno-Inggit pindah ke Gedong Dalapan di Poengkoerweg (Jl. Pungkur). Disebut Gedong Dalapan karena di sana ada 8 buah rumah kembar berjajar ke arah Jl. Oto Iskandardinata. Sukarno-Inggit menempati rumah dengan nomor 6. Tak jauh dari rumah mereka, tinggal menyeberang jalan saja, terletak rumah tinggal R.M.P. Sosrokartono, kakak kandung Kartini, yang baru saja kembali ke Tanah Jawa setelah 29 tahun melanglang Eropa. Raden Mas Panji Sosrokartono dikenal sebagai seorang jenius yang ahli dalam berbagai bidang.

Sosrokartono dikenal sebagai wartawan perang dalam kancah Perang Dunia I, ia menulis berita untuk The New York Herald. Kemahirannya dalam berbagai bahasa sangat menonjol, ia menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara. Karena kemahirannya ia bahkan pernah menjadi penerjemah bahasa Basque untuk pasukan sekutu yang akan melintasi wilayah itu. Menjelang akhir Perang Dunia I, Sosrokartono terpilih menjadi satu-satunya penerjemah tunggal bahasa-bahasa Eropa bagi tentara sekutu. Tahun 1919-1921, Sosrokartono menjabat sebagai kepala penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa.

Di Bandung, Sosrokartono tinggal di Poengkoerweg 7. Di situ ia membuka perpustakaan dan rumah pengobatan yang diberi nama Dar-Oes-Salam, artinya Rumah Damai. Caranya mengobati unik, karena hanya menggunakan air bening, kertas putih kecil bertuliskan huruf Alif, dan doa. Model pengobatan spiritual ini membuatnya mendapat julukan sebagai Dokter Cai dari warga Kota Bandung.

Dari Poengkoerweg pasangan Sukarno-Inggit pindah lagi ke Regentsweg (sekarang Jl. Dewi Sartika) 22. Di rumah ini Inggit menerima indekos untuk menambah penghasilan keluarga, di antara para penyewanya adalah Dr. Samsi yang membuka biro akuntan di beranda depan, dan Ir. Anwari yang menggunakan kamar tengah sebagai biro arsitek. Seluruh rumah tinggal pasangan Inggit-Sukarno sudah tidak bersisa lagi saat ini, sudah berubah menjadi bangunan-bangunan baru.

Lokasi rumah di Regentsweg yang juga dijadikan kantor Biro Insinyur Soekaro-Rooseno.
Lokasi rumah di Regentsweg yang juga dijadikan kantor Biro Insinyur Soekaro-Rooseno.
Salah satu karya Biro Insinyur Soekarno-Rooseno.
Salah satu karya Biro Insinyur Soekarno-Rooseno.

RUMAH BERSEJARAH INGGIT GARNASIH

Rumah terakhir yang ditempati oleh Sukarno-Inggit adalah sebuah rumah panggung di ujung selatan Astanaanjarweg (bagian jalan ini kemudian menjadi Jl. Ciateul, lalu Jl. Ibu Inggit Garnasih). Di rumah ini aktivitas politik Sukarno dan kawan-kawan seperjuangan semakin menonjol. Di sini sering berkumpul para intelektual muda menggodog pemikiran-pemikiran kebangsaan mereka. Secara berkala diselenggarakan juga kursus-kursus politik yang diberikan oleh Sukarno.

Hampir semua tokoh utama perjuangan saat itu pernah datang ke rumah panggung ini untuk bertukar pandangan dan merancang berbagai gerakan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Rumah panggung ini merekam jejak kehadiran Agus Salim, Abdul Muis, K.H. Mas Mansur, Moh. Hatta, M.H. Thamrin, Moh. Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr. Soetomo, Asmara Hadi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya. Di rumah ini juga berlangsung diskusi-diskusi yang melahirkan Sumpah Pemuda (1928) dan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI, 1927) serta Partindo (1931).

Tak heran bila rumah ini sekarang diberi nama “Rumah Bersejarah Inggit Garnasih,” karena memang sangat banyak merekam jejak sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di dalamnya. Rumah ini sekarang dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Keadaan rumah secara umum cukup baik walaupun koleksi dan sediaan informasinya masih dapat diperbanyak lagi.

Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Jl. Ciateul.
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Jl. Ciateul.

MONUMEN PENJARA BANCEUY

Situasi yang agak berbeda dapat ditemukan di kawasan Banceuy. Dalam kompleks bekas penjara ini terdapat dua buah monumen yang kurang terawat. Monumen pertama adalah bekas menara penjara yang terletak di sisi Jl. ABC. Pada sisa menara yang tampil agak ganjil ini tidak terdapat keterangan apapun, siapa pun yang melihatnya tidak akan mudah menebak bangunan apa sebenarnya yang berdiri itu. Berulang kali pula kondisi bekas menara ini tampak memprihatinkan karena kumuh tidak terurus serta jadi korban vandalisme.

Di bagian dalam kompleks bekas penjara Banceuy ini terdapat satu monumen lain yang berhubungan langsung dengan Sukarno. Satu ruang bekas sel berukuran 1×2 meter masih berdiri sebagai saksi perjuangan Sukarno muda melawan kekuasaan pemerintah kolonial. Sukarno dan Gatot Mangkupraja ditangkap polisi Belanda di Yogya pada tanggal 29 Desember 1929. Setelah semalam ditahan di Mergangsan, sebuah penjara untuk orang sakit jiwa, Sukarno dan Gatot dibawa ke Bandung dengan menggunakan kereta api, diturunkan di Cicalengka, lalu dilanjutkan dengan perjalanan menggunakan mobil menuju Penjara Banceuy di pusat kota Bandung.

Monumen Penjara Banceuy yang tidak memiliki informasi memadai. Sering terabaikan juga.
Monumen Penjara Banceuy yang tidak memiliki informasi memadai. Sering terabaikan juga.

Pada malam penangkapan itu, rupanya seluruh Jawa digeledah polisi Belanda. Ada ribuan orang ditahan dengan tuduhan merencanakan pemberontakan bersenjata yang akan diadakan di awal tahun 1930. Sukarno dijebloskan ke dalam sel nomor 5 bersebelahan dengan Gatot di sel nomor 7. Keesokan harinya, Maskun dan Supriadinata menyusul masuk sel, masing-masing di sel nomor 9 dan 11. Ada empat tokoh pergerakan ditahan di Penjara Banceuy, tetapi hanya satu sel saja yang disisakan untuk mengenangnya.

Dengan bantuan Inggit Garnasih yang menyelundupkan berbagai bahan bacaan, Sukarno menyusun pembelaannya yang terkenal, “Indonesia Menggugat”, yang akan disampaikannya di gedung Landraad pada 18 Agustus 1930. Keempat tokoh ini kemudian dinyatakan bersalah dengan ganjaran hukuman 4 tahun untuk Sukarno, dan antara 1-2 tahun untuk Supriadinata, Maskun, dan Gatot Mangkupraja. Tak lama kemudian mereka dipindahkan ke Penjara Sukamiskin untuk melanjutkan hukumannya. Di penjara untuk penjahat kelas kakap untuk bangsa Belanda ini, Sukarno ditempatkan dalam sel nomor 233, dipisahkan dari rekan-rekannya yang lain.

Penjara Sukamiskin.
Penjara Sukamiskin.
Advertisement