KARYA-KARYA ARSITEKTUR SUKARNO DI BANDUNG

Setelah lulus sebagai Insinyur Sipil dari Technische Hoogeschool (THS), Sukarno dan kawan-kawan membentuk Algemeene Studie Club mencontoh yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo di Surabaya. Organisasi Indonesische Studie Club yang didirikan oleh Dr. Sutomo aktif membangkitkan kesadaraan sosial dan politik masyarakat. Sukarno sangat hormat pada apa yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk mendirikan organisasi serupa di Bandung. Sukarno ingin kelompok yang akan didirikannya bersama kawan-kawan dapat berperan lebih jauh lagi, lebih meluas, dan lebih progresif.

Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.
Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.

Sukarno kemudian terpilih untuk mengetuai Algemeene Studie Club dengan didampingi oleh Anwari dan Iskaq. Saat itu Sukarno sudah membayangkan bahwa organisasi yang baru mereka bentuk ini akan menuju pada pembentukan suatu partai dengan dasar kebangsaan yang luas. Tak lama, Studie Club ini telah berkembang ke daerah-daerah dan mengambil peran penting dalam mengembangkan gerakan-gerakan kebangsaan.

Dari sedikit buku yang membahas sisi Sukarno sebagai arsitek itu pun tidak ada yang memiliki daftar lengkap karya-karya arsitektur Sukarno di Bandung.

Menurut Peter Kasenda dalam bukunya “Sukarno Muda; Biografi Pemikiran 1926-1933” (Komunitas Bambu, 2010), perhatian utama Algemeene Studie Club yang beranggotakan kaum berpikiran radikal ini adalah masalah-masalah politik. Aksi-aksi mereka bersifat nonkooperatif dengan pemerintah kolonial dan berjuang agar secepatnya dapat mencapai kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar anggota berasal dari kalangan profesional yang sudah dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri atau kalangan mahasiswa yang bebas hambatan.

Demikian pula dengan Sukarno dan rekan sekelasnya, Anwari. Mereka berdua mendirikan sebuah biro teknik dengan nama Biro Insinyur Sukarno & Anwari untuk menopang biaya hidup mereka. Biro teknik ini berkantor di sebuah gedung yang terletak di sisi utara Mesjid Agung Bandung. Di depan kantor terhampar Alun-alun yang menjadi pusat kegiatan masyarakat umum saat itu. Tak lama kemudian, Sukarno mendirikan sebuah biro teknik lain yang dinamakan Biro Insinyur Sukarno & Rooseno bersama adik kelasnya, Rooseno Suryohadikusumo.

Lokasi Rumah Tinggal Sukarno Inggit di Regentsweg atau Jl Dewi Sartika Sekarang
Lokasi Rumah Tinggal Sukarno Inggit di Regentsweg atau Jl Dewi Sartika Sekarang

Tak ada dokumentasi meyakinkan tentang karya-karya yang pernah dikerjakan oleh kedua biro yang didirikan oleh Sukarno. Berbagai buku yang membicarakan kiprah Sukarno pun umumnya luput membicarakan karya-karya arsitektur Sukarno. Jumlah buku yang secara khusus mengaitkan Sukarno dengan arsitektur masih kurang dari hitungan sebelah jari tangan, kalah jauh dibandingkan dengan misalnya buku-buku yang berisi spekulasi harta karun Sukarno yang tersembunyi. Dari sedikit buku yang membahas sisi Sukarno sebagai arsitek itu pun tidak ada yang memiliki daftar lengkap karya-karya arsitektur Sukarno di Bandung. Dengan mengorek berbagai artikel majalah, kliping, weblog, dan beberapa buku tentang sejarah Bandung, terkumpullah daftar kecil karya arsitektur Sukarno di Bandung yang tentunya masih harus dilengkapi lagi.

NASIB BANGUNAN BERSEJARAH DI BANDUNG

Buku Haryoto Kunto “Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung” (PT. Granesia, 2000) memuat empat foto bangunan rumah karya Sukarno. Sayangnya pemuatan foto-foto bangunan tersebut tidak disertai dengan keterangan lokasi atau alamat. Pada bagian lain dalam buku yang sama, Haryoto Kunto juga menulis bahwa pada tahun 1983 saja ada sembilan buah rumah karya arsitektur Sukarno yang tergusur. Di bagian lain, Haryoto Kunto juga menyebutkan bahwa sampai tahun 1970, Kota Bandung masih memiliki sekitar 2500 bangunan berarsitektur kolonial dengan usia di atas 50 tahun.

Salah satu sisa bangunan rumah karya Sukarno di Bandung.
Salah satu sisa bangunan rumah karya Sukarno di Bandung.

Pada masa Walikota Husen Wangsaatmaja pernah dibentuk suatu Tim Pelestarian Bangunan Bersejarah yang membuat suatu daftar bangunan lama dan bersejarah di Kota Bandung yang harus dilindungi dan diselamatkan. Dari 150 bangunan yang terdaftar, sekitar 60 bangunan di antaranya kemudian tergusur. Memasuki tahun 1990-an, sebuah daftar lain dibuat dan berhasil mencatat 495 buah bangunan lama, namun masih di periode yang sama, sekitar 290 bangunan dalam daftar itu tergusur juga. Sepertinya artefak bersejarah berupa bangunan tidak pernah mendapatkan ruang hidup yang aman di kota ini.

Pada tahun 1997, Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) membukukan suatu daftar bangunan cagar budaya dengan jumlah 420 bangunan. Entah apa yang sudah terjadi dengan jumlah itu karena pada tahun 2008 muncul sebuah daftar lain dengan jumlah hanya 200 bangunan saja. Kedua daftar ini dapat diunduh dari situs www.bandungheritage.org.

Tahun 2011 lalu, Bandung Heritage dengan penulis Harastoeti D.H., menerbitkan sebuah buku dengan judul “100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung”. Jumlah bangunan cagar budaya yang semakin menciut dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada satu bagian buku itu dijelaskan bahwa berdasarkan kriteria cagar budaya yang sudah ditetapkan untuk Kota Bandung, masih didapatkan lebih dari 600 bangunan yang dapat dikategorikan sebagai cagar budaya. Namun dengan berbagai pertimbangan tertentu, hanya 100 bangunan saja yang dimasukkan ke dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung.

Sisa bangunan rumah karya Sukarno, sudah dalam keadaan rusak.
Sisa bangunan rumah karya Sukarno, sudah dalam keadaan rusak.

SUKARNO SANG ARSITEK

Sebagai seorang arsitek, mungkin nama Sukarno tidak sebesar seperti gurunya, Wolff Schoemaker, atau arsitek-arsitek Belanda yang juga pernah berkarya di Bandung seperti A.F. Aalbers, E.H. de Roo, F.J.L. Ghijsels, Edward Cuypers, dll. Tapi dengan merawat dan memelihara karya-karya arsitekturnya berarti juga merawat jejak sejarah Kota Bandung, merawat jejak pemikirannya yang tertuang melalui karya-karyanya. Seperti juga buku, suatu bangunan bisa menyimpan sangat banyak informasi masa lalu, misalnya saja dari bentuk bangunan secara keseluruhan, dari bahan-bahan bangunan yang digunakan, mulai dari batu bata, lantai sampai gentengnya.

Dalam beberapa bukunya, Haryoto Kunto menyebutkan ciri khas bangunan karya Sukarno adalah bentuk atap tumpang atau limasan dengan ornamen gada pada puncak atap. Ciri-ciri ini masih dapat terlihat pada beberapa bangunan karya Sukarno yang tersisa, misalnya saja di rumah dinas walikota Bandung atau pada beberapa rumah yang terdapat di Jl. Kasim. Ornamen gada yang menjadi ciri utama karya Sukarno bukanlah sesuatu yang dipakai dengan asal comot saja sebagai sebuah simbol, itu adalah gada milik Bima, tokoh pewayangan yang dikaguminya.

Rumah di Jl. Kasim.
Rumah di Jl. Kasim.

Pada masa remajanya, Sukarno sudah sangat rajin menulis terutama untuk surat kabar Oetoesan Hindia. Agar tidak membahayakan kehidupannya yang masih sangat muda belia, Sukarno menulis dengan menggunakan nama samaran. Nama yang dipilihnya didapat dengan membuka-buka kitab Mahabharata dan ia tertarik pada tokoh Bima yang berarti Prajurit Besar sekaligus simbol keberanian dan kepahlawanan. Simbol ini muncul lagi dalam karya lain Sukarno, yaitu arsitektur bangunan hasil rancangannya. Kali ini yang dipakai sebagai simbol adalah senjata pamungkas milik Bima, gada Rujakpala. Ornamen gada memang sering hadir dalam karya-karya arsitektur Sukarno, mencuat di puncak atap atau bagian tertinggi dari atap bangunan dengan bentuk gada yang tidak selalu seragam.

Gada Rujakpala, "tanda tangan" Sukarno pada karya arsitekturnya.
Gada Rujakpala, “tanda tangan” Sukarno pada karya arsitekturnya.

Daftar Sebagian Bangunan Karya Sukarno di Bandung

Beberapa bangunan karya Sukarno yang masih dapat disaksikan di Bandung. Bangunan-bangunan ini dikerjakan baik secara sendiri atau bersama Biro Insinyur Sukarno & Anwari dan Biro Insinyur Sukarno & Rooseno (dikumpulkan dari berbagai sumber oleh Ridwan Hutagalung).