Re: Tour de Buitenzorg

BAGIAN 1

Catatan berikut ini saya sarikan dari tulisan tentang kunjungan sehari penuh ke Bogor bersama sejumlah teman beberapa waktu lalu. Beberapa lokasi tujuan sudah kami tentukan sebelumnya, sisanya kami kunjungi secara spontan karena kebetulan terlewati dalam perjalanan.

Ini bukan tulisan lengkap tentang sejarah Bogor ataupun objek-objek wisata di Bogor, namun sukur-sukur bila catatan ini bisa jadi panduan tambahan juga bagi mereka yang ingin berkunjung ke Bogor.

Afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1433-1527), tjantik alamnja, bagus letaknja dan njaman hawanja (72˚C). Gupernur-Djenderal Maetsuyker (1653-1678) telah tertawan hatinja oleh daerah itu sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerdja2 Sunda menemui banjak pohon-aren jang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira lagi (bogor), maka sedjak ketika itulah pula dinamakan Bogor.” Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.[1]

Sebelum memasuki Kota Bogor yang katanya njaman hawanja itu, kami mampir dulu ke bekas sebuah situs kuno di kaki Gunung Pangrango, yaitu Arca Domas. Situs ini berdampingan dengan situs makam lainnya yang merupakan kompleks pemakaman tentara Jerman dari masa Perang Dunia II. Untuk menuju lokasi ini kami harus masuk dari jalan yang tidak terlalu lebar di Gadog, perjalanan agak menanjak sekitar 6-7 kilometer. Seluruh badan jalan memang sudah beraspal namun sempitnya cukup menyulitkan juga terutama bila berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.

ARCA DOMAS

Biasanya nama Arca Domas dikaitkan dengan situs keramat masyarakat Baduy di Kanekes, Banten. Namun ternyata masih ada Arca Domas lainnya, yaitu di Cikopo, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung. Nama Arca Domas di sini disinggung pula oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817). Dalam buku itu Raffles menyebutkan terdapatnya patung-patung batu dengan bentuk kasar di Buitenzorg dan di Recha Domas, dua daerah yang berhubungan dengan ibukota kerajaan kuno, Pajajaran.[2]

Konon di lokasi ini sejak masa Kerajaan Pajajaran dahulu sudah dijadikan kompleks pemakaman dan pemujaan leluhur yang dikeramatkan. Catatan tentang hal ini sudah disampaikan oleh seorang jurnalis bernama David Jardiner dalam artikelnya “The Thinker : German Mystery in the Heart of Java.”[3] Saat ini sudah tidak ditemukan lagi bekas-bekas pemakaman kuno itu di sini. Hanya empat pohon beringin besar saja yang masih berdiri di lokasi ini.

Nama daerah Arca Domas masih dikenali hingga sekarang. Namun sayangnya arca-arca seperti yang disinggung oleh Raffles juga sudah lenyap tanpa bekas. Hanya rekaman foto yang dibuat oleh Isidore van Kinsbergen saja yang dapat menjadi saksi keberadaan arca-arca itu di masa lalu.

KLV001055766  KLV001055768
Foto-foto Arca Domas karya Kinsbergen yang dikoleksi Perpustakaan KITLV Leiden.
Ada 9 foto patung-patung di Arca Domas, saya post di halaman lain saja.

Tak ada informasi apa pun tentang ke mana perginya arca-arca kuno tersebut. Padahal jumlahnya bisa dipastikan sangat banyak sesuai dengan namanya domas (= dua omas) yang berarti 800. Yang tertinggal sekarang ini hanyalah empat pohon beringin berukuran sangat besar berjarak masing-masing sekitar 10-20 meter. Saya berangan-angan bila saja kesemua arca itu masih ada, sungguh tempat ini akan menjadi tempat yang dahsyat baik sebagai kabuyutan, objek wisata sekaligus studi sejarah.

DEUTSCHER SOLDATENFRIEDHOF[4]

Bersebelahan dengan situs Arca Domas terletak lokasi makam yang lebih modern, yaitu kompleks makam tentara Jerman yang berasal dari periode Perang Dunia II. Sebuah tugu bertuliskan Deutscher Soldatenfriedhof akan menyambut pengunjung di sisi kiri jalan masuk kompleks. Di depannya terbujur rapi sepuluh buah makam dengan nisan berbentuk silang atau salib bujur sangkar.

Di tengah kompleks makam terdapat sebuah tugu lain yang lebih tinggi dengan tulisan :

DEM TAPFEREN
DEUTSCH-OSTASIATISCHEN
GESCHWADER
1914

“Satuan Tempur Kapal Laut Jerman-Asia Timur yang Gagah Berani, 1914”.[5]

Di bawahnya sebuah tulisan lain :

ERRICHTET
VON
EMIL UND THEODOR HELFFERICH
1926

“Didirikan oleh Emil dan Theodor Helfferich, 1926”.

Apa makna tugu tersebut dan bagaimana makam tentara Jerman ini bisa berada di pedalaman Pulau Jawa? Di kawasan tempat Arca Domas berada dahulu terdapat perkebunan teh yang dimiliki oleh keluarga Helfferich. Emil Helfferich adalah seorang pengusaha Jerman yang meniti bisnisnya sebagai pegawai perusahaan perdagangan Jerman-Inggris di Penang. Bosan dengan pekerjaan kantor, Emil terjun ke lapangan menghampiri rimba, kesunyian, kesahajaan, dan bahaya dengan memilih tinggal di Teluk Betung, Lampung. Emil mengekspor aneka hasil hutan dan perkebunan dari Sumatra dan sebaliknya mengimpor banyak barang untuk pasar Indonesia.

Tahun 1903 Emil pindah ke Batavia dan mendirikan perusahaan Helfferich & Rademacher yang berkantor di gedung bekas kediaman Gubernur Jenderal VOC von Imhoff (sekarang dikenal dengan julukan Toko Merah – RH). Usaha Emil berkembang pesat namun juga naik turun, tapi yang jelas ia menjadi orang Jerman yang terpandang di Hindia Belanda. Pada sekitar tahun 1908 di Jerman Emil mendirikan gabungan perusahaan investor dengan nama Straits & Sunda Syndicate yang sukses dengan usaha impor karetnya. Pembelian lahan dan pembukaan tanah untuk perkebunan karet meluas hingga kawasan Asia Tenggara.

Di Batavia Emil Helfferich kemudian juga mendirikan perkumpulan Jerman Deutscher Bund in Niederlandisch-Indien pada tahun 1915 dan menjadi presidennya. Emil berperan sebagai juru bicara dan tokoh utama bagi komunitas Jerman di Hindia Belanda.

Di sisi lain, Emil terjangkit malaria yang datang menyerang berulang kali. Bersama teman hidupnya, Dina Uhlenbeck-Ermeling, Emil mencari lokasi rekreasi dan peristirahatan yang berhawa segar. Lokasi yang dipilihnya adalah lereng Gunung Pangrango, sekitar seribu meter dpl, di daerah yang bernama Arca. Di sini mereka tinggal tinggal di sebuah rumah kecil di tengah perkebunan teh.

Di areal tanahnya Emil dan saudaranya, Theodor, menyumbang sebuah tugu peringatan untuk menghormati satuan tempur Jerman-Asia Timur yang gugur dalam pertempuran di perairan Falkland semasa Perang Dunia I (1914). Tugu peringatan yang berbentuk mirip pura di Bali ini diberi dua buah plakat dengan tulisan seperti yang sudah dikutip di atas. Upacara peresmian dilakukan pada tahun 1926.[6] Di sebelah kiri tugu terdapat patung Ganesha, dan di sebelah kanan ada patung Buddha. Kedua patung ini merupakan pesanan Emil dari pengrajin di Jawa Tengah. Di depan tugu dibuatkan sebuah taman kecil yang asri.

2

Pada masa penjajahan Jepang di Nusantara, Jerman mendirikan pangkalan angkatan laut di Jakarta (1943) dan Surabaya (1944). Pangkalan-pangkalan ini berfungsi untuk mengatur pembekalan dan pengangkutan bahan baku dari Asia Timur ke Bordeaux, Perancis. Sementara itu perkebunan teh Cikopo berlanjut menjadi lokasi rekreasi dan rehabilitasi bagi para tentara Angkatan Laut Nazi Jerman (kriegsmarine). Itulah sebabnya beberapa tentara Jerman dapat dimakamkan di sini. Kriegsmarine ini meninggal karena sebab berbeda di lokasi yang berbeda-beda pula antara tahun 1944-1945. Jumlah seluruhnya ada 10 makam, dua di antaranya tak dikenal.

4

Tahun 1970 Emil kembali ke Neustadt dan meninggal dua tahun kemudian. Tugu yang didirikannya di Arca Domas pada tahun 1926 dibuatkan replikanya dan didirikan sebagai nisan bagi makam pasangan Emil dan Dina di Neustadt.[7]

* * *

BAGIAN 2 – KOTA BOGOR

Biasanya saya paling malas membaca buku-buku tentang profil suatu kota bila diterbitkan secara resmi oleh pihak pemerintah. Entah kenapa, selalu saja saya merasa buku-buku itu tidak memuaskan karena ditulis secara sembarangan dengan tata bahasa yang kaku dan tentu riset-riset yang tidak jelas pertanggungjawabannya karena menggunakan sumber-sumber yang juga tidak jelas. Tak jarang pula sumber-sumber acuan yang dipakai tidak dicantumkan sebagaimana mestinya.

Tapi buku “resmi” yang satu ini, “Sejarah Bogor”, ternyata agak lain, mungkin karena penulisannya dilakukan oleh Saleh Danasasmita (1933-1986). Buku ini diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor tahun 1983. Namun untuk keperluan penulisan blog ini saya menambahkan juga sejumlah referensi lain sebagai pendukung data.

Tulisan dimulai dengan sejumlah analisis tentang asal-usul nama Bogor dan Pakuan. Salah satu kemungkinan yang disampaikan oleh Saleh adalah dengan menggunakan kamus Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek karya S. Coolsma (1913).[8] Dalam kamus itu diterangkan bogor berarti “droogetapte kawoeng” atau pohon enau yang telah habis disadap, dan selanjutnya bisa dilihat pada awal tulisan ini.

Kemudian diceritakan juga sejarah singkat wilayah Bogor sejak masa Kerajaan Tarumanagara sampai abad 18 M. Kisah yang disampaikan sangat menarik karena menguraikan isi berbagai prasasti dan naskah kuno yang berhubungan erat dengan masa lalu kawasan Bogor. Disinggung pula berbagai penelitian pada masa Hindia Belanda yang mencoba mengungkapkan makna peninggalan-peningalan kuno yang tersebar di sekitar Bogor serta pelacakan mengenai bekas lokasi (keraton) Pakuan ibukota Pajajaran.

Mengasyikan sekali mengikuti kisah laporan-laporan dari masa VOC, cerita tentang kerajaan-kerajaan kuno seperti Taruma, Sundapura, Salakanagara, Kendan, Galuh, atau Pajajaran. Naskah-naskah kuno yang dibedah meliputi Waruga Guru, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa, Carita Parahyangan, dan banyak lainnya.

Karena sulit meringkas materi yang padat ini, jadinya saya sekip dan langsung loncat saja ke masa saat VOC memerlukan suatu ekspedisi pengenalan wilayah sekitar Batavia ke selatan hingga ke hulu Sungai Ci Sadane. Tim ekspedisi ini dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang membuka wilayah menjadi ladang-ladang, di antaranya yang terjauh adalah pembukaan wilayah Parung Angsana di bawah pimpinan Sersan Wisanala.

Sedangkan untuk penelitian wilayah hulu Cisadane VOC mengirimkan satu tim khusus yang dipimpin oleh Sersan Scipio dan dibantu oleh Tanujiwa (1687). Tanujiwa adalah seorang Sunda dari Sumedang yang oleh VOC disebut sebagai Leuiteunant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa). Ia mendapat perintah dari Joannes Camphuijs (1684-1691) untuk membuka hutan Pajajaran.

Tanujiwa sebelumnya sudah membuka wilayah pedalaman Batavia (Kampung Baru Cipinang, dekat Jatinegara). Saat membantu Scipio, Tanujiwa mendirikan sebuah kampung baru lainnya di Parung Angsana dan menamakannya Kampung Baru (sekarang bernama Tanah Baru, Bogor). Wilayah inilah yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor.[9]

Dalam ekspedisi tersebut Scipio menemukan bekas-bekas parit, benteng, susunan bebatuan yang teratur yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1681) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.

Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar.

Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).[10] Versi yang berbeda terdapat dalam Babad Bogor (1925) yang tidak mencantumkan Tanujiwa melainkan Mentengkara atau Mertakara (Kepala Kampung Baru ketiga, 1706-1718) sebagai “bupati pertama” Bogor.

8

Bogor dan Buitenzorg

Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.

Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang.

Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri. Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan.

Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama Buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.

5

Van Imhoff membuat usulan agar wilayah di sekitar Buitenzorg dijadikan eigendom para gubernur jenderal secara in officio. Statusnya menjadi semacam tanah bengkok[11] yang harus dibeli oleh setiap gubernur jenderal baru yang menggantikan pejabat lama. Batas-batas tanah Buitenzorg adalah Gunung Gede, Puncak, Talaga Warna, Mega Mendung, Ciliwung, muara Cihideung, Puncak Gunung Salak, Puncak Gunung Gede. Wilayah seluas itu hanya dapat disewakan dan tidak boleh dijual kecuali kepada gubernur jenderal berikutnya. Pembeli pertama dari Van Imhoff adalah Jacob Mossel (1750-1761) dan yang terakhir Daendels (1808-1811) di tahun 1808.

Mengiringi kehadiran dan aturan wilayah Buitenzorg tersebut, Bupati Kampung Baru (Demang Wiranata) menyewa tanah kampung Sukahati untuk tempat kediamannya. Di luar pagar depan rumah tersebut terdapat sebuah kolam besar atau empang. Berangsur-angsur nama kampung Sukahati pun berganti menjadi Empang. Diperkirakan nama kampung Empang sudah muncul antara 1770-1775 sehingga menjadi salah satu kampung tertua juga di Bogor sekarang.

6

Tentang Kampung Empang dapat dibaca lebih lanjut tulisan rekan saya, @omindrapratama di sini.

Pasar Bogor di dekat Kampung Bogor tumbuh pesat dan mengundang para pedagang termasuk kaum Tionghoa untuk menetap dan membuka usaha di sana. Mula-mula mereka menetap di daerah Lebak Pasar, namun kemudian berkembang ke arah sepanjang Jalan Suryakencana sekarang, sehingga kawasan ini dapat disebut Pecinannya Bogor.

Para pandai tembaga atau paledang juga mendirikan pemukiman di lokasi Kantor Pos sekarang. Saat lokasi kantor pos tersebut dimasukkan menjadi bagian Kebun Raya Bogor, permukiman kaum paledang dipindahkan ke lokasi Kampung Paledang sekarang. Tokoh terkemuka kaum paledang adalah Embah Jepra. Makamnya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Kebun Raya Bogor sekarang.

Begitulah awalnya secara berangsur Kota Bogor mulai terbentuk dan berkembang dengan pesat hingga terkesan tak terkendali seperti sekarang ini.

Nb. Sebetulnya masih ada beberapa objek kunjungan lain dalam perjalanan ini antara lain ke kompleks makam Raden Saleh. Tulisannya bisa baca karya Asep Nendi di aleut.wordpress.com atau langsung di sini. Catatan lainnya, tentang Ki Mastanu atau Raden Tanujiwa dari Asep Nendi bisa dibaca di sini, atau tulisan Indra Pratama di sini dan Muh. Ryzki Wiryawan di sini.

Sila dinikmati.

Bahan Bacaan :
“Lie Kim Hok (1853-1912)”, Tio Ie Soei, L.D. Good Luck, Gardudjati, Bandung.
“Sejarah Bogor – Bagian I”, Saleh Danasasmita, Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor, 1983.
“Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia”, Mona Lohanda, Masup Jakarta, 2007.


[1] Sejumlah karya tulis Lie Kim Hok (1853-1912) berhasil dikumpulkan oleh Tio Ie Soei dan diterbitkan oleh L.D. Good Luck, Gardudjati, Bandung, pada tahun 1958 dengan judul “Lie Kimhok 1853-1912”.

[2] “History of Java”, karya Thomas Stamford Raffles, diterbitkan pertam kali pada 1817. Acuan di atas dari cetak ulang oleh Oxford University Press tahun 1994.

[3] Artikel ini tanpa keterangan tahun, namun copyright ada pada Jakarta Globe, 2009. Saat itu David Jardiner sedang mengerjakan sebuah buku kecil tentang keterlibatan militer Inggris di Indonesia pada tahun 1945-1946.

[4] Sumber utama yang berhubungan dengan Emil Helfferich dalam bagian tulisan ini diambil dari buku “Berjejak di Indonesia – Kisah Hidup 10 Tokoh Jerman”, Rudiger Siebert, Katalis, 2002.

[5] Terjemahan via sms oleh rekan dari Komunitas Aleut!, Natasha Dilla Ameilia

[6] Menarik sekali mengetahui bahwa upacara peresmian tugu ini pada tahun 1926 direkam dengan kamera film oleh Dina. Dokumentasi rekaman amatir ini masih tersimpan dengan baik, namun sayang saya belum mendapatkan aksesnya. Akan cukup menarik bila ternyata dalam film dokumenter itu bisa diketahui keberadaan arca-arca pada saat itu.

[7] Neustadt an der Weinstrasse adalah kota di Jerman tempat lahir dan meninggalnya Emil Helfferich.

[8] Soendanessch-Hollandsch Woordenboek” karya S. Coolsma diterbitkan oleh A.W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij, Leiden, 1913

[9] Untuk bahan ini Saleh menggunakan acuan karya CHF Riesz “De Geschiedenis van Buitenzorg”, De Particulere Landrijen van Westelijk Java, G. Kolff & Co., Batavia, 1887

[10] Dr. F. De Haan “Priangan”, Deel 1-4, G. Kolff & Co., Batavia, 1911-1912

[11] Tanah desa yang dipinjamkan kepada pegawai desa untuk digarap dan diambil hasilnya sebagai pengganti gaji. Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, 2008.

Advertisement