Image

Repost

Gara2 diingatkan pengalaman beberapa waktu lalu berkunjung ke situs makam Dayeuhluhur di Sumedang, jadi ingat postingan ini. Pada publikasi lama cerita ini pernah diprotes oleh mereka yang punya versi cerita berbeda. Tapi saya memang tidak mempunyai pendapat apa pun dan tidak menambahkan apa pun dalam/tentang cerita ini, sepenuhnya hanya mencoba mengenalkan ulang satu tokoh sejarah yang namanya dipakai sebagai salah satu nama jalan di pusat kota Bandung.

Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun (1558-1601 M) adalah raja Sumedanglarang ke-9 yang bertahta pada 1578-1601 M. Ibunya, Satyasih atau Ratu Inten Dewata (lebih populer dengan gekar Ratu Pucuk Umun) adalah raja Sumedanglarang ke-8. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Raden Solih (Ki Gedeng Sumedang atau lebih populer dengan gelar Pangeran Santri), cucu dari Pangeran Panjunan. Pangeran Santri kemudian menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai Raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata I dan memerintah pada 1530-1578 M.

Pada masa ini Kerajaan Sunda mengalami kejatuhan ke tangan Kesultanan Surasowan Banten. Namun mahkota kerajaan, Mahkota Binokasih, sempat diserahkan kepada Raja Sumedanglarang sebagai simbol pewarisan bekas wilayah Kerajaan Sunda. Prabu Geusan Ulunlah yang menerima pewarisan ini. Wilayah kekuasaan Sumedanglarang saat itu seluas Jawa Barat sekarang tidak termasuk Banten dan Jakarta yang dibatasi oleh sungai Ci Sadane, dan Cirebon dengan batas sungai Ci Pamali.

Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun, pusat kerajaan sempat dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuhluhur, sebuah kabuyutan di atas bukit. Pemindahan ini berkaitan dengan peperangan antara Sumedanglarang dengan Keraton Panembahan Ratu Cirebon.

Sebelum tahun 1585 Prabu Geusan Ulun pernah berguru agama Islam ke Demak dan Pajang. Di Pajang, Geusan Ulun bertemu dan memadu cinta dengan Harisbaya, seorang putri Pajang berdarah Madura. Sayang hubungan percintaan ini harus putus di tengah jalan karena urusan politik antarkerajaan.

Saat Raja Pajang, Hadiwijaya wafat, keluarga Trenggono di Demak menghendaki agar penggantinya adalah Arya Pangiri, menantu Hadiwijaya dan putra Sunan Prawoto dari Mataram. Namun keluarga Panembahan Ratu Cirebon berkeinginan lain, mereka meminta agar putra bungsu Hadiwijaya, Pangeran Banowo, yang menggantikan Hadiwijaya. Untuk mendiamkan Panembahan Ratu, Arya Pangiri “memberikan” Harisbaya kepada Panembahan Ratu untuk dijadikan istri keduanya. Arya Pangiri pun berhasil meneruskan Hadiwijaya sebagai penguasa Pajang.

Setelah usai belajar agama di Demak, dalam perjalanan pulangnya Geusan Ulun sempat mampir bertamu ke Panembahan Ratu untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya dengan Harisbaya. Namun di luar dugaan, pertemuan dengan Harisbaya di Cirebon ternyata mengakibatkan CLBK alias cinta lama bersemi kembali.

Kerinduan dan cinta yang menggebu telah membuat Harisbaya mengendap-endap mendatangi tajug peristirahatan keraton dan membujuk Geusan Ulun agar membawa serta dirinya ke Sumedanglarang. Bila keinginan ini tidak dipenuhi oleh Geusan Ulun, Harisbaya memutuskan akan bunuh diri saja. Setelah berembuk dengan para pengawalnya, maka diputuskanlah malam itu juga mereka pergi secara diam-diam meninggalkan Keraton Panembahan Ratu.

Keesokan harinya keraton gempar karena para tamu dari Sumedanglarang telah tidak ada lagi di tajugnya dan bersama dengan itu Ratu Harisbaya juga ikut menghilang. Sejumlah prajurit dikerahkan untuk mengejar Geusan Ulun dan Harisbaya. Namun ketangguhan Patih Jaya Perkasa yang sungguh perkasa, berhasil memukul mundur seluruh prajurit ini.

Peristiwa ini memicu peperangan antara Sumedanglarang dengan Cirebon. Pasukan Sumedanglarang dipimpin langsung oleh Patih Jaya Perkasa. Sebelum berangkat perang Jaya Perkasa sempat menanam pohon hanjuang di Kutamaya, pusat kerajaan Sumedanglarang. Pohon hanjuang ini adalah tanda mengenai keberadaannya. Pohon hanjuang akan mati bila Jaya Perkasa kalah atau mati dalam perang dan akan tetap hidup bila berhasil memenangkan peperangan.

Namun perang berlangsung terlalu lama. Rupanya jumlah prajurit dari Cirebon terlalu banyak sehingga tidak mudah menaklukkannya. Sementara itu Geusan Ulun gelisah menunggu. Tak sabar menanti, seorang pengawal lain bernama Nangganan berprasangka jangan-jangan Jaya Perkasa sudah gugur di medan perang. Ia menganjurkan agar Geusan Ulun mengungsi saja ke daerah yang lebih aman, ke sebuah kabuyutan di puncak bukit yang bisa dijadikan benteng alami, Dayeuhluhur. Anjuran disetujui, dan pusat kerajaan Sumedanglarang segera dipindahkan ke Dayeuhluhur. Nangganan lupa, ia tidak memeriksa keadaan pohon hanjuang di Kutamaya…

Sementara itu, Jaya Perkasa ternyata berhasil memenangkan perang. Namun saat kembali ke Kutamaya yang ditemuinya hanyalah kesunyian. Pusat kerajaan telah kosong. Pohon hanjuangnya masih tetap hidup. Setelah mengetahui tentang kepindahan pusat kerajaan ke Dayeuhluhur, Jaya Perkasa segera menyusul ke sana dan menemui Geusan Ulun. Dalam kemarahan Jaya Perkasa membunuh Nangganan dan pergi meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapa pun.

Di Cirebon, Panembahan Ratu menceraikan Harisbaya dengan ganti talaknya daerah Sindangkasih. Prabu Geusan Ulun menikahi Harisbaya sebagai istri kedua dan mendapatkan dua anak, Raden Suriadiwangsa dan Pangeran Kusumahdinata. Sedangkan dari istri pertamanya, Nyi Gedeng Waru, lahir seorang anak, Rangga Gede. Setelah wafatnya Geusan Ulun pada 1601, maka berakhir pula masa kerajaan Sumedanglarang karena dalam periode waktu berikutnya Sumedang dijadikan wilayah kabupaten yang berada dalam kekuasaan Mataram. Putra Geusan Ulun, Raden Suriadiwangsa menjadi Bupati Sumedang pertama (1620-1625) dan lebih dikenal dengan gelar Pangeran Dipati Ranga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol.

Boleh percaya atau tidak, kono pohon hanjuang di Kutamaya itu masih tetap hidup sampai sekarang.

Catatan :
– Para pengawal Geusan Ulun yang turut menemani ke Demak adalah prajurit yang sama yang mengantarkan Mahkota Binokasi. Mereka biasa disebut Kandaga Lante. Masing-masing adalah Sanghiang Hawu atau Jaya Perkasa, Batara Dipati Wiradijaya atau Nangganan, Sanghiang Kondang Hapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot.
– Makam Nangganan terletak di lereng Dayeuhluhur.

Catatan ini disarikan dengan susah payah dari :

Sumedanglarang; Insun Medal Insun Madangan, 2008, R. Abdul Latief, R. Supian Apandi, R. Lucky Dj. Sumawilaga (Tanpa nama penerbit)

* Tata bahasa dalam sumber buku yang saya pergunakan ini kurang baik sehingga cukup merepotkan dalam mengartikan kalimat-kalimat dan maknanya. Mesti hati-hati membacanya.

Advertisement