Lima artikel yang dimuat di HU Pikiran Rakyat, rubrik Selisik, Senin, 22 Februari 2016. Salinan artikelnya menyusul.
(Reblogged dari keluyuran.net)
Sabtu kemarin saya melanjutkan perjalanan mapay2 jalanan baru di sekitar Kendan. Satu2nya bayangan tujuan adalah Kampung Cimulu. Minggu lalu beberapa warga Kendan bilang jalan di dalam hutan jati di belakang sudah dibeton sampai Cimulu dan dapat keluar sampai Cicalengka di jalur Cinulang. Nah ini saja patokannya.
Saya sudah tau nama Kampung Cimulu di dalam kawasan hutan Kareumbi dan pernah berkunjung untuk melihat beberapa lokasi yang dikeramatkan oleh warga. Tentu bukan kekeramatannya yang membuat saya mendatangi tempat itu, melainkan cerita2 di balik kekeramatan yang biasanya menyimpan sejarah lokal.
Saya pernah ke Cigumentong saat perjalanan menembus hutan Kareumbi menuju Sumedang. Dari sana saya mendapatkan informasi tentang perkebunan jeruk di kawasan Kareumbi tempo dulu. Makam orang Belanda pengelola kebun jeruk itu ternyata sudah hampir lenyap tertimbun tanah di dekat sebuah bak penampungan di dalan hutan Kareumbi. Dengan bantuan seorang warga asli Cigumentong, saya dapat menemukan makam itu. Entah bagaimana kondisi makam itu sekarang.
Nah kisah jalan tembus dari Kenda ke Cimulu ini yang menggoda saya untuk kembali satu minggu kemudian. Dengan beberapa teman bermotor, saya memulai perjalanan dengan mampir dulu ke kawasan vila Citaman Hill. Nama Citaman sering dihubungan dengan lokasi istana Kerajaan Kendan yang tidak ada bekasnya itu. Di Citaman juga pernah ditemukan sebuah arca Durga (sering disebut juga sebagai arca manik) pada tahun 1909 dan sekarang disimpan di Museum Nasional.
Setelah berkhayal sejenak memiliki salah satu vila Citaman Hill yang memiliki pemandangan sangat indah ke Lingkar Nagreg dan gunung2 di belakangnya, saya segera menembus hutan jati, mengitari Bukit Kendan. Benar, semua badan jalan sudah berlapis beton. Saya tak melihat satu kampung pun di jalur ini sampai tiba di sebuah lokasi yang baru saja dibuka, konon untuk mendirikan sebuah pesantren. Pada plang kecil terbaca nama Desa Simpen, Kecamatan Limbangan.
Seharian ini kami kalau tidak berada di dalam hutan ya di alam terbuka tetapi dengan awan yang cukup tebal, sama sekali tidak dapat menebak2 posisi Kareumbi.
Stasiun Cikajang, stasiun kereta api paling tinggi di Indonesia (+1.530 m). Dibangun pada tahun 1926 dan kemudian dinonaktifkan pada tahun 1983 karena mulai rusaknya jalur kereta dan penurunan jumlah penumpang.
Kondisi stasiun ini sudah rusak karena lama tidak dipakai dan semakin lama semakin mengkhawatirkan, tembok-tembok sudah mulai terkelupas dan rusak, bagian atap juga sudah banyak bolong-bolong. Pada bagian tembok belakang sudah menempel tembok sebuah bangunan baru. Di bagian atas satu sisi bangunan masih dapat terbaca tulisan “Cikajang”.
Jalur-jalur rel di depan stasiun sudah banyak yang terkubur tanah, sebagian masih dapat dilihat tersingkap di atas tanah. Sekitar 15-20 meter di depan rel ada sebuah jalur rel yang walaupun samar masih dapat ditelusuri arahnya, menuju ke kampung. Di ujung rel yang terdapat di tengah kampung ada sebuah sisa bak besar yang sudah dipenuhi oleh sampah. Menurut warga lokasi itu memang sudah menjadi TPS.
Di ruang depan kasur tanpa seprai menggeletak begitu saja, kain-kain serta pakaian bertebaran, sebuah lemari sederhana berdiri miring seperti menunggu runtuh.
Oleh @akayberkoar
Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar nama Abdul Muis? Saya pernah tanyakan pada kawan-kawan, jawabnya ada yang menyebut tokoh pergerakan, pahlawan nasional, juga wartawan atau satrawan. Yah, semuanya benar. Tapi bagi saya sendiri selama ini nama Abdul Muis hanya berkait dengan satu hal, trayek angkot atau nama terminal angkot di Bandung.
Ya, sejak umur 10 tahunan, nama Abdul Muis sudah tidak asing bagi saya. Saat itu saya sering menemani ibu naik angkot dan sering saya baca nama Abdul Muis tertempel di kacanya sebagai salah satu trayek, ada Abdul Muis-Elang, Abdul Muis-Dago, Abdul Muis-Cicaheum, sampai Abdul Muis-Cimahi. Yang terakhir ini sepertinya perubahan dari trayek Abdul Muis-Leuwipanjang. Saya agak lupa-lupa ingat juga.
Sudah sejak masa itu bagi saya nama Abdul Muis identik dengan teminal angkot Kebon Kalapa. Setiap sore ibu membawa saya menyambangi terminal untuk menunggu ayah pulang kerja. Saat itu ayah saya bekerja di daerah Kebon Kalapa, di suatu perusahaan yang masih saya ingat namanya, Hilton. Tapi tentu bukan hotel Hilton yang megah itu. Sambil menunggu ayah pulang, kami biasa jajan cendol langganan di pinggiran Jl. Pungkur. Rasanya jalanan saat itu masih sepi, tidak ramai oleh tukang batu-batu akik seperti belakangan ini.
Setelah dewasa, saya dihadapkan pada pertanyaan, siapakah Abdul Muis yang namanya dijadikan nama terminal itu? Zaman sekarang mudah saja googling. Ternyata, Abdul Muis adalah Pahlawan Nasional Pertama yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 30 Agustus 1959. Beliau dilahirkan di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 3 Juni 1883. Abdul Muis mengikuti pendidikan sekolah dasar warga Eropa, Eur Lagere School. Pendidikan lanjutan ditempuhnya di Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), tapi tidak sampai selesai karena sakit.
Mungkin ada alasan kenapa namanya digunakan sebagai nama terminal angkot di Bandung? Apakah karena nama jalan di depan terminal itu Jl. Abdul Muis? Kenapa nama jalan itu diberi nama Abdul Muis?
Recent Comments