Repost: Lupa dulu di tulis untuk siapa..
Pagi itu cuaca cukup cerah, walaupun matahari di langit tidak tampak dengan jelas. Sinar kehangatan yang dipancarkan tidak terlalu terasa menembus kulit. Mungkin karena saat ini cahayanya terhalang bukit dan material alam lainnya.
Jalur perjalanan antara Garut – Tasikmalaya masih terhitung hijau dan asri. Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari kota Bandung, akhirnya tibalah di kawasan adat Kampung Naga. Dari bukit di seberang sungai Ci Wulan nampak lembah yang menjadi wilayah Kampung Naga. Kampung ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau, hutan yang dikeramatkan, pesawahan, beberapa kolam di depan kampung serta aliran sungai Ci Wulan yang semuanya bertaut menjadi semacam pagar alami bagi wilayah pemukiman masyarakat Kampung Naga. Atap-atap rumah tradisional masyarakat Kampung Naga nampak terkumpul di bagian tengah. Atap-atap tersebut nampak seragam dengan dominasi warna atap yang kehitaman.
Untuk memasuki wilayah Kampung Naga, sekitar ratusan anak tangga terhampar kokoh bagai jembatan penghubung antara dunia yang penuh dengan modernitas dengan dunia yang asri dan tenang yang jauh dari keriuhan kehidupan perkotaan. Tangga semen yang berliku sepanjang hampir 500 meter ini memiliki kemiringan sekitar 45 derajat.
Setelah menuruni anak tangga yang cukup membuat lelah, nampak area pesawahan serta sebuah jalan setapak yang akan mengantarkan kita memasuki area pemukiman penduduk. Pemandangan hijau alam yang terhampar dengan alunan suara riak kali di sebelah kiri dan debur sungai di sebelah kanan segera saja menghilangkan rasa capek. Nampaknya masyarakat kampung baru saja melakukan panen. Di sepanjang jalan setapak berjajar rapi tampah yang dipakai untuk menaruh padi yang akan dijemur.
Memasuki kompleks pemukiman, kita akan berada di sebuah ruang terbuka yang biasa dipergunakan sebagai tempat melaksanakan berbagai kegiatan ritual kampung ataupun kegiatan lain seperti yang tampak saat ini. Jajaran tampah dengan padi yang sedang dijemur pun memenuhi ruang terbuka ini. Lurus di depan adalah mesjid yang selain sebagai tempat ibadah, juga dipergunakan sebagai tempat pelaksanaan ritus adat. Di sebelah kirinya berdiri bale patemon sebagai tempat pertemuan warga untuk bermusyawarah serta tempat untuk menerima tamu yang datang dari luar kampung.
Di sebelah kiri-kanan adalah kelompok rumah panggung yang bersusun rapi dan saling merapat satu dengan lainnya. Semua rumah membujur memanjang ke arah barat-timur, dengan bagian pintu menghadap ke utara-selatan. Letak rumah-rumah itu saling berhadapan karena tidak diperbolehkan membelakangi bagian depan rumah lainnya.
Rumah-rumah masyarakat Kampung Naga berbentuk seragam persegi panjang. Rumah-rumah ini tidak dicat melainkan hanya dikapur putih pada bagian dindingnya yang terbuat dari bilik atau anyaman bambu. Sedangkan bagian-bagian lainnya dibiarkan dengan warna aslinya. Lantai rumah terbuat dari bambu atau papan kayu sedang atapnya terbuat dari ijuk. Pada bagian ujung atap dipasang gelang-gelang yang terbuat dari sepasang bambu menyilang membentuk tanduk. Seluruh material bangunan memakai bahan yang bisa didapatkan di sekitar kecuali beberapa perlengkapan pendukung seperti kaca. Kecuali keberadaan jendela, konon bentuk bangunan ini tidak mengalami perubahan sejak jaman dulu.
Pembagian ruang pada rumah-rumah Kampung Naga nampak sederhana namun sangat selaras dengan kebutuhan hidup dan kenyamanan tinggal. Pada bagian luar di depan pintu dua anak tangga yang disebut golodog. Golodog yang lebarnya sekitar 40 cm ini berfungsi juga sebagai tempat duduk-duduk, mengaso, mengobrol atau tempat bekerja membuat kerajinan bambu.
Memasuki rumah, ruang pertama yang kita temui adalah tepas imah, sebuah ruang kosong beralas tikar tanpa kursi atau meja. Ruang ini dianggap sebagai ruang laki-laki karena lebih banyak dipergunakan oleh kaum laki-laki untuk menghabiskan waktu, menerima tamu, atau mengerjakan anyaman bambu.
Lebih ke dalam adalah tengah imah, tempat berkumpulnya keluarga. Kadang ruang ini dipakai sebagai ruang makan bersama. Sering pula tengah imah ini dipakai sebagai ruang tidur anak-anak atau saudara yang menginap. Lalu ada ruang pangkeng atau tempat tidur utama yang dipergunakan oleh pasangan suami-istri pemilik rumah.
Kemudian ruang yang dianggap ruang perempuan yaitu dapur dan goah. Dapur dengan tungku tanah liat yang disebut hawu. Selain sebagai tempat memasak, dapur juga berfungsi sebagai tempat mengobrol atau menghangatkan badan saat udara sedang dingin. Sedangkan goah adalah tempat penyimpanan padi dan beras di dalam rumah. Peletakan goah di dalam rumah adalah di sisi barat atau timur sesuai dengan perhitungan weton atau hari kelahiran sang istri.
Kembali ke permukiman masih ada beberapa tempat yang menarik perhatian. Agak di ketinggian, terdapat sebuah bangunan rumah tanpa jendela yang di sekelilingnya diberi dua lapis pagar bambu. Bangunan keramat ini disebut Bumi Ageung yang merupakan tempat penyimpanan benda-benda pusaka.
Lebih ke atas adalah wilayah tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang, yaitu leuweung larangan. Di sini terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga yang dikeramatkan. Tak seberapa jauh adalah kompleks pemakaman umum masyarakat Kampung Naga.
Dalam jalan ke luar kampung baru disadari bahwa sekeliling perkampungan dipasangi pagar rangkap dua yang disebut kandang jaga. Pagar ini menjadi semacam pembatas antara wilayah pemukiman di dalam kandang jaga sebagai daerah bersih sedangkan yang berada di luarnya adalah daerah kotor. Masyarakat Kampung Naga tetap memelihara pengaturan wilayah tempat tinggalnya serta peri kehidupan sehari-hari sesuai tradisi warisan leluhur yang mengisyaratkan kehidupan yang selaras dengan alam.
Menyusuri lorong perkampungan dan jalan-jalan setapak Kampung Naga memang serasa berada di ‘dunia lain’ yang jauh dari ketergesaan kehidupan perkotaan. Masih ada seribu makna lain di balik kebersahajaan Kampung Naga. Sayang pola waktu kota pula yang memaksa untuk segera meninggalkan lokasi kampung adat yang asri sebelum senja turun menyelimuti wilayah perkampungan yang menolak masuknya listrik ini.

Kampung Naga tahun 1925. Koleksi Tropen Museum.
Leave a Reply