Search

mooibandoeng

Pengeluyur di Bandung

Tag

Prajadiphok

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago, Bandung

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-1   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-2 Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-3   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-4

Tahun 1989 seseorang menemukan dua buah batu bertulis di tebing dekat Curug Dago. Lalu ia mengumumkan penemuannya di media cetak. Mungkin sempat membuat heboh warga Bandung. Lalu muncullah berbagai dugaan tentang apa sebenarnya batu bertulis itu, siapa yang membuatnya?

Informasi awal mulai bermunculan. Itu huruf Siam, digurat oleh dua orang Raja Siam (Thailand), masing-masing Rama V dan Rama VII, yang memang pernah datang berkunjung ke kota Bandung dalam kesempatan berbeda, masing-masing tahun 1896 dan 1901. Tetapi apa makna tulisan itu? Kenapa mereka membuatnya di situ?

Dugaan-dugaan berkembang. Lokasi Curug Dago memiliki suasana magis, ada sesuatu yang saral di sana. Sepertinya Raja Siam bersemedi di bawah air terjun itu. Air Ci Kapundung pada saat itu tentulah begitu jernihnya, di tengah lingkungan hutan yang lebat dan asri, tenang, sejuk, dan memberikan ketenteraman. Gemuruh air terjun pada saat itu tentu cukup menggetarkan, mengingat polusi suara belumlah separah zaman modern ini.

Pada tahun 2001 terbitlah sebuah buku dengan judul “Journeys to Java by a Siamese King” yang ditulis oleh Imtip Pattajoti Suharto. Isi buku ini sesuai judulnya, mengisahkan perjalanan Raja Siam ke Pulau Jawa.

Continue reading “Prasasti Raja Thailand di Curug Dago, Bandung”

Pangeran Paribatra di Bandung

Pada bagian ini, saya kembali lagi ke buku Wisata Bumi Cekungan Bandung seperti yang sudah saya kutip dalam tulisan sebelumnya. Pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

“Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.”

Di sebelah utara Bandung ada satu tempat yang dinamai Bunderan Siam (biasa dibaca Siem). Lokasi ini persisnya berada di perpotongan antara Jl. Cipaganti dengan Jl. Lamping (sekarang ditempati oleh pom bensin). Bunderan Siam memang cukup unik, selain namanya yang mengingatkan kepada kerajaan Thailand yang memang bernama lama Siam, juga karena di situ dahulu terdapat sebuah taman yang sangat indah.

Continue reading “Pangeran Paribatra di Bandung”

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago

Melanjutkan kisah tentang Chulalongkorn, pada bagian ini saya akan ringkaskan perjalanannya ke Pulau Jawa, terutama pada bagian kunjungan ke Priangan. Sebelumnya, saya kutipkan beberapa paragraf dari buku Wisata Bumi Cekungan Bandung (Budi Brahmantyo & T. Bachtiar, Truedee Pustaka Sejati, Bandung, 2009) yang berkaitan dengan jejak Raja Thailand tersebut di Bandung. Bagian ini dari halaman 116-117 di bagian dengan judul tulisan “Artefak di Ci Kapundung: Dago Pakar dan Prasasti Thai di Curug Dago”. Di situ tertulis:

Inskripsinya berbunyi: Coporo 34 Ra Sok 120, jika dipanjangkan berarti, Chalacomklao Paramintara = Chulalongkorn (gelar paduka raja), 34, Zaman Ratanakosin 120. Prasasti ini kemudian diinterpretasikan sebagai berikut: “Raja Rama V berkunjung ke Bandung saat berumur 34 tahun, sebagai peringatan ibukota Kerajaan Thai Ratanakosin ke-120”. Kerajaan Thai diketahui berdiri pada tahun 1782. Jika demikian, kunjungannya ke Curug Dago adalah pada tahun 1902. Ukiran lain pada batu itu adalah berupa bintang segilima dengan inskripsi berbunyi: Vachira Wudha.

Namun jika melihat biografi singkat Raja Rama V, penafsiran 34 sebagai umur sang raja saat berkunjung ke Bandung, ternyata tidak tepat. Dengan asumsi dia lahir pada 20 September 1853 (wafat pada 23 Oktober 1910 di usia 57), maka pada 1902, usia sang raja seharusnya adalah 49.

Sementara itu pada batu kedua, terdapat tulisan dalam huruf Thailand juga, yang diukir oleh sang penerus, yaitu Raja Rama VII. Inskripsinya berbunyi: Poporo Bu Sok 2472. Artinya: Prajatipok Paramintara, Tahun Budha 2472 (atau tahun 1929 M). Prasasti tersebut menjadi acara napak tilas sang cucu terhadap kakeknya ke Curug Dago, 27 tahun kemudian.

Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.
Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Lalu, pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.

P1310113

Dari tulisan bagian pertama dibuat sebuah hitungan berdasarkan inskripsi pada batu di Curug Dago. Hasilnya menyimpulkan angka tahun 1902 sebagai tahun kunjungan Raja Rama V ke Bandung. Dalam buku karya Imtip Pattajoti[1] diceritakan bahwa sama seperti kunjungan2 tedahulu, perjalanan Raja Rama V selalu dicatat dan kemudian dibukukan. Seperti sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya, Rama V dua kali mampir ke kota Bandung dalam perjalanannya ke Pulau Jawa, masing2 tahun 1896 dan 1901.

Chulalongkorn_crowned

Perjalanan tahun 1901 dicatat oleh putrinya yang juga ditugasi sebagai sekretaris pribadi sang raja, yaitu Putri Suddhadibya Ratana (1877-1922). Catatan2 ini kemudian dibuat menjadi dua buku yang diterbitkan pada tahun 1923. Masing2 buku itu: 1) A Diary of the Last Journey to Java in 1901 by H.M. King Chulalongkorn, dan 2) The Official Dispatches of His Majesty’s Daily Activities to the Public of Bangkok, Recorded by Prince Sommot Amornpan and Printed in the Government Gazette.

Dari judul buku itu sudah dijelaskan bahwa tahun kunjungan terakhirnya ke Bandung adalah 1901. Keseluruhan perjalanan berlangsung dari 5 Mei 1901 sampai 24 Juli 1901. Saya tidak tahu bagaimana menginterpretasikan angka 120 dan 34 pada prasasti pertama, namun bila angka tahunnya adalah 1902, memang akan lebih mudah, misalnya tahun Rattanakosin ke-120 yang bila dihitung sejak 1782 akan mendapatkan angka tahun 1902. Begitu pula angka 34 bisa mendapatkan keterangan masa kepemimpinannya sebagai Raja Siam sejak dinobatkan pada tahun 1868, hasilnya akan sama, angka tahun 1902.

Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti. Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896). Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.
Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti.
Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896).
Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.

Yang cukup jelas, ada kesalahan keterangan dalam paragraf berikutnya yang mengatakan bahwa Rama VII adalah cucu Raja Rama V. Setelah meninggalnya Rama V dan tahta kerajaan dilanjutkan oleh Rama VI atau Vajiravudh (1910-1925). Vajiravudh adalah anak Chulalongkorn dari istrinya yang bernama Saovabha. Vajiravudh memerintah Siam sebagai pemuda lajang. Dia baru menemukan calon permaisurinya, Indrasakdi Sachi, pada tahun 1920. Bahkan, Vajiravudh baru mendapatkan seorang anak perempuan dari selirnya, Consort Suvadhana, hanya dua jam sebelum kematiannya karena sakit pada tanggal 24 November 1925.

Prajadhipok's_coronation_records_-_001

Sebelum kematiannya, Vajiravudh sempat mengumumkan bahwa bila anak yang dikandung istrinya laki2, maka tahta kerajaan akan jatuh kepada sang anak, namun bila perempuan, maka tahta kerajaan akan diberikan kepada Prajadiphok, saudara laki2nya. Kemudian ternyata anaknya perempuan dan Prajadiphok akhirnya menerima tahta kerajaan sebagai Rama VII. Prajadiphok memerintah di Kerajaan Siam antara 1925 sampai 1935.

Vajiravudh memiliki empat orang istri, dan seorang putri. Sementara Prajadiphok yang menghapuskan sistem poligami hanya memiliki seorang istri tanpa membuahkan keturunan.


[1] “Journeys to Java by a Siamese King” – Imtip Pattajoti Suharto (2001)

Blog at WordPress.com.

Up ↑