Search

mooibandoeng

Senantiasa Belajar Kenal dan Cinta Kota Bandung

Tag

Situ Cileunca

Travelogue : Situ Cileunca, Pangalengan

Sekitar 45 Kilometer dari Kota Bandung, terdapat sebuah Danau yang menyimpan beribu pesona dan cerita, Situ Cileunca namanya. Lokasi tepatnya berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada di ketinggian 1550 Mdpl, membuat Situ Cileunca memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Bahkan di saat-saat tertentu suhu di sana dapat mencapai 10°Celcius. Selain suasana danau yang syahdu, ketika kita berada disana mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan teh yang berada di sekitar danau.

Sejarah Situ Cileunca

Situ Cileunca bukanlah Danau yang terbentuk secara alami, Situ ini merupakan Danau buatan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik dan sebagai cadangan air bersih bagi warga Bandung. Jika dilihat dari sejarahnya, pada awalnya kawasan Cileunca merupakan Kawasan Hutan Belantara yang dimiliki oleh seorang Belanda yang bernama Kuhlan (Ada yang mengatakan bahwa Kuhlan adalah Willem Hermanus Hooghland pemilik Borderij N.V. Almanak). Jika dilihat dari waktu pembangunannya, Situ Cileunca berhubungan dengan keberadaan Pemancar Radio Malabar yang berada di sekitar kawasan Pangalengan.

Situ Cileunca Tempo Dulu
Situ Cileunca tempo dulu di sekitar tahun 1920-1932 (Sumber: tropenmuseum.nl)

Pembangunan Situ Cileunca memakan waktu selama 7 tahun diperkirakan antara tahun 1919-1926. Membendung aliran Kali Cileuca dan dialirkan melalui Bendungan Dam Pulo. Konon pembangunan Situ Cileunca dikomandoi oleh dua orang pintar Arya dan Mahesti,  uniknya dari cerita yang beredar di masyarakat pembangunan Situ Cileunca tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul, namun menggunakan halu (alat penumbuk padi).

Berenang Di Situ CIleunca
Sejak zaman kolonial, Situ Cileunca sudah dijadikan tempat wisata. (Sumber : tropenmuseum.nl)

Pada zaman dahulu, Situ Cileunca sudah dijadikan sebagai tempat wisata oleh orang Belanda, Para wisatawan ketika itu biasanya berenang di tepian atau menaiki perahu berkeliling danau. Dahulu pernah ada kapal Belanda yang dipenuhi oleh wisatawan tenggelam di Situ Cileunca. Semua itu masih perkononan hingga pada akhir 2016 ketika Situ Cileunca disurutkan untuk maintenance bendungan, warga menemukan bagian dari kapal belanda tersebut di dasar danau.

Kapal Belanda Situ Cileunca
Potongan Kapal Besi Zaman Belanda

Karena jaraknya yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, Situ Cileunca dijadikan salah satu alternatif destinasi liburan bagi warga Bandung. Kini di Situ Cileunca selain menikmati pemandangan, sudah banyak kegiatan dan fasilitas yang bisa dinikmati di sekitar Kawasan Situ Cileunca. Mulai dari menaiki perahu berkeliling, wisata petik strawberry, berkemah hingga yang ekstrim seperti Outbound dan Rafting di Sungai Palayangan.

Jembatan Cinta, Situ Cileunca.

Salah satu spot favorit saya di Cileunca adalah Jembatan Cinta. Jembatan ini merupakan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa di Cileunca, Desa Pulosari dan Desa Wanasari. Sebelum dibangun jembatan ini warga harus mengambil jalan memutar yang memakan waktu lebih lama. Warga pun berinisiatif membangun jembatan untuk mempermudah akses antar desa.  Kata warga sekitar, jembatan ini seringkali dijadikan sebagai tempat kumpul muda mudi dari kedua desa. Dikarenakan alasan itu maka jembatan ini pun dinamakan Jembatan Cinta. Lagipula segala seuatu yang diembel-embeli kata “cinta” terdengar lebih menjual kan?

Jembatan Situ Cileunca
Jembatan Cinta Situ Cileunca

Spot ini menjadi favorit saya karena dari sini kita dapat menikmati banyak hal, mulai dari pemandangan Perkebunan Teh Malabar di sebelah Timur Cileunca hingga mengamati kegiatan dan berinteraksi dengan warga sekitar. Ditambah lagi untuk mencapai spot ini tidak dipungut biaya (dasar mental gratisan, hehe).

Dalam tenang airnya, Situ Cileunca masih menyimpan banyak misteri yang belum terkuak.

Sudah pernah atau ingin datang ke Sini? Silahkan bagi pengalaman Anda di kolom comment di bawah ini.

 

Sumber: http://www.adiraoktaroza.com/2017/05/05/travelogue-situ-cileunca-pangalengan/

Cibuni, Kampung di Tengah Kawah

Repost

SONY DSC

Cerita unik tentang kawasan di sekitar Bandung memang seperti tak akan pernah habis. Ada kompleks-kompleks pemakamaman kuno dengan ciri-ciri kebudayaan Hindu di sekitar perbukitan Bandung utara dan timur. Peninggalan kebudayaan megalitik yang masih dapat disaksikan in situ juga tersebar di banyak tempat di seputaran Bandung seperti di Gunung Padang, Soreang, di Pasir Panyandakan, Ujungberung, Cililin, dll.

Selain objek wisata alam atau sejarah, berbagai keunikan objek lainnya di Bandung masih dapat terus ditemui dan digali, seperti  kebiasaan-kebiasaan dan pola hidup masyarakat yang mungkin bagi sebagian orang terasa tidak biasa. Misalnya saja kelompok masyarakat penambang urat emas di Cibaliung, Pangalengan, daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Cianjur. Kelompok masyarakat yang sebagian besar memiliki pertalian keluarga ini tinggal di dasar lembah vertikal yang sempit. Puluhan keluarga membangun rumah kayu dan bilik mereka di tepi aliran sungai Ci Baliung secara vertikal mengikuti kontur bukit yang curam. Dari sisi jalan perkebunan Cukul, perlu waktu berjalan kaki menuruni lembah sekitar satu jam untuk dapat mencapai perkampungan ini dan tentunya lebih lama lagi untuk naik dan kembali ke jalan utama perkebunan. Dari Situ Cileunca, Pangalengan, dengan memakai kendaraan off-road perlu waktu satu jam menempuh jalan perkebunan yang berbatu menuju bibir lembah Kampung Cibaliung.

Warga Cibaliung membangun turbin-turbin untuk pembangkit listrik secara sederhana sebagai sarana penerangan rumah masing-masing. Selain itu di setiap jeram dibangun pula turbin yang membantu mereka dalam proses pengolahan biji emas yang berhasil didapatkan dari perut bukit yang mereka gali hingga berpuluh-puluh meter panjangnya. Kelompok masyarakat ini tinggal di keterpencilan lembah Cibaliung selama bertahun-tahun dan hanya sesekali saja keluar kawasan untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Cibuni, Rancabali
Sebuah kampung unik lain yang tak kalah menarik untuk dikunjungi terdapat di kawasan Perkebunan Rancabali, afdeeling Rancabali II. Daerah ini juga disebut Cibuni karena berada di dalam kawasan Perkebunan Teh Cibuni, Ciwidey. Jaraknya dari Bandung sekitar 50 kilometer dan terletak tidak jauh dari kompleks Cagar Alam Talaga Patengan. Perkampungan pegawai perkebunan dengan rumah-rumah berwarna biru cerah memberikan pemandangan yang segar di tengah hamparan perkebunan teh yang hijau. Ada beberapa kelompok perkampungan seperti ini di tengah luasnya kompleks perkebunan Cibuni.

Yang cukup menarik, di kawasan perkebunan ini terdapat beberapa kawah aktif yang dapat dikunjungi. Kawah-kawah ini terletak cukup terpencil sehingga sering luput dari perhatian para pengguna jalur jalan Ciwidey-Cianjur, walaupun ada beberapa papan petunjuk menuju kawah yang terpasang di sisi jalan. Yang paling unik dari semua kawah ini adalah kawah Cibuni yang berada sekitar satu kilometer dari jalan raya atau Jembatan Ciorok. Untuk menuju kawah, pengunjung harus mendaki jalan setapak yang sudah pernah diperlebar hingga tiga meter sepanjang kurang lebih satu kilometer.

Kondisi kawah di perkebunan ini secara umum mirip dengan Kawah Domas di Tangkuban Parahu atau Kawah Sikidang dan Kawah Sileri di daerah Dieng. Kita dapat melihat kepulan asap tebal yang keluar dari sela-sela bebatuan yang tersebar di area ini. Selain puluhan sumber asap tebal, puluhan mata air panas berbelerang juga mudah ditemukan tersebar di sekitar kawasan ini. Uniknya di atas area kawah ini dibangun beberapa rumah tinggal yang juga berfungsi sebagai warung dan sebuah musholla yang terbuat dari kayu dan bilik. Rumah-rumah ini juga biasa diinapi oleh para pengunjung yang bermalam di sini. Untuk menginap tidak dikenakan biaya tertentu, para pemilik rumah ikhlas menerima seadanya saja dari para pemakai jasa rumahnya.

Kebanyakan pengunjung yang datang menginap bertujuan untuk melalukan pengobatan dengan memanfaatkan aliran sungai berair panas. Di sebuah kolam kecil tampak sejumlah orang sedang berendam dan mandi di pancuran bambu air panas. Seorang bapak berusia sekitar 70 tahun mengakui sudah dua kali mengunjungi tempat itu. Kedatangannya adalah untuk mengobati penyakit rematik yang sudah cukup lama dideritanya. Bapak ini berencana tinggal beberapa hari di Kampung Kawah Cibuni. Dalam kunjungan pertamanya sekitar 10 tahun lalu, bapak yang berasal dari Naringgul ini mengakui berhasil sembuh dari penyakit rematiknya, namun kambuh lagi dalam dua minggu terakhir ini. Serombongan pengunjung yang terdiri dari dua keluarga juga memilih berbagai tempat untuk bersantai berendam menikmati air panas yang mengalir.

Hingga sekitar setahun lalu, kawah di Cibuni ini lebih dikenal dengan nama Kawah Cibuni saja, namun belakangan sehubungan dengan rencana pengelolaan area menjadi Kawasan Wisata Agro dari Kebun Rancabali, PTP Nusantara VIII, nama kawah diubah menjadi Kawah Rengganis. Sebuah plang penunjuk didirikan di jalan masuknya, di sisi jalan raya Ciwidey-Cianjur. Namun sayang, entah sebab apa, rupanya rencana ini batal diwujudkan.

Sekarang kawasan wisata agro yang direncanakan terlihat agak terbengkalai tanpa pengelolaan yang cukup baik. Menurut warga setempat kunjungan wisatawan ke lokasi tersebut juga tidak terlalu banyak walaupun setiap harinya ada saja yang datang. Turis asing pun cukup sering mengunjungi tempat ini walaupun dalam kelompok-kelompok kecil atau perseorangan saja. Pada hari Minggu dan hari-hari libur saja biasanya jumlah pengunjung agak meningkat. Selain sekadar berjalan-jalan saja, kebanyakan pengunjung bermaksud melakukan pengobatan berbagai penyakit dengan memanfaatkan aliran air panas di sana. Atau yang juga cukup sering ditemui adalah kelompok pengunjung dengan tujuan berziarah ke sebuah makam tua di dekat kawah.

Abah Jaka Lalana
Pada umumnya warga tidak dapat bercerita banyak tentang masa lalu Kampung Kawah Cibuni. Kebanyakan mereka sendiri adalah keluarga pendatang dari wilayah di sekitarnya. Namun konon perkampungan di kawah ini sudah ada sejak zaman Hindia Belanda dan biasa dikunjungi oleh para pegawai perkebunan di sekitarnya. Pak Maman, salah satu warga sekitar yang berasal dari Rancasuni hanya dapat mengatakan bahwa dahulu kawasan ini dibuka oleh seorang yang sekarang dikenal dengan nama Abah Jaka Lalana. Makam tokoh perintis inilah yang kemudian hari banyak diziarahi orang. Keluarga penerus Abah Jaka Lalana juga tidak banyak menyimpan cerita masa lalu sehingga tidak banyak informasi sejarah yang dapat digali lebih jauh dari warga Kampung Cibuni.

Di kompleks kawah ini terdapat tujuh keluarga yang tinggal dan mendirikan rumah-rumah mereka di area kawah dan di bibir tebing di sisi kawah. Hampir semua keluarga ini menghidupi diri dengan bertani palawija. Mereka membuka dan mengelola lahan tidur di sekitar kampung dan di sisi hutan menjadi ladang-ladang. Usaha warung hanya dijalankan oleh dua keluarga saja. Untuk sarana penerangan, setiap keluarga membangung turbin-turbin penggerak dinamo di aliran sungai Ci Buni. Ada empat buah turbin berkekuatan masing-masing sekitar 70 watt yang memenuhi kebutuhan listrik tujuh keluarga kampung.

Objek lainnya
Dari Kawah Cibuni atau sekarang Kawah Rengganis, wisatawan dapat juga bertualang mendaki bukit dan menempuh hutan menuju puncak Gunung Patuha. Diperlukan waktu sekitar tiga jam untuk mencapai puncaknya. Bila berminat bertualang seperti ini sebaiknya menyertakan seorang warga sekitar sebagai pemandu agar tidak tersesat karena hutan di sekitar ini masih cukup lebat dan tidak memiliki jalan setapak. Di ketinggian bukit, juga terdapat kawah lain yang dinamakan Kawah Saat. Di dekat Kawah Saat juga terdapat sebuah makam tua lainnya yang biasa didatangi para peziarah. Bila dapat mencapai Kawah Saat maka tidak diperlukan waktu terlalu lama untuk dapat mengunjungi sebuah kawah lain yang lebih populer, yaitu Kawah Putih. Kawah lain dengan nama Kawah Saat juga terdapat di kawasan lain di Cibuni, yaitu di Kampung Pangisikan. Di kampung ini mengalir sungai Ci Pangisikan yang berair jernih.

Bertualang dengan berjalan kaki atau bersepeda dapat juga dilakukan di kawasan Cagar Alam Talaga Patengan dengan menyusuri jalur perkebunan teh yang terhampar dengan indahnya, atau menerobos hutan hingga mencapai Situ Patengan melalui jalan aspal yang cukup baik. Bila memiliki cukup banyak waktu dan energi, menyusuri jalan raya penghubung Ciwidey-Cianjur adalah alternatif yang sangat menarik karena sepanjang perjalanan akan menemui kompleks-kompleks perkebunan yang memanjakan mata serta kampung-kampung kecil yang asri yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Sekadar minum kopi atau teh di pinggir jalan raya yang tidak ramai ini pasti akan memberikan suasana segar yang tidak akan Anda dapatkan di perkotaan.

DSC07444B

IMG_5107

DSC07635B

DSC07516B

DSC07424B

DSC07427B

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑