Search

mooibandoeng

Senantiasa Belajar Kenal dan Cinta Kota Bandung

Tag

kopi

Gunung Lumbung

Dalam disertasinya tentang naskah-naskah Dipati Ukur, Edi Suhardi Ekadjati menyebutkan bahwa catatan tertua tentang tokoh ini mungkin yang ditulis oleh Salomon Muller dan P. van Oort dan diterbitkan dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1836. Salomon Muller dan van Oort adalah anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sudah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden dan sedang melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.

Pada tanggal 15 Januari 1833 pasangan ini berada di daerah Cililin, dua hari kemudian mereka diantar oleh beberapa orang penduduk setempat ke puncak Gunung Lumbung untuk menyaksikan peninggalan-peninggalan purbakala. Di puncak gunung inilah, Muller dan Oort mendapatkan cerita dari seorang tua tentang tokoh Dipati Ukur, tempat persembunyian dan benteng pertahanan terakhirnya. Catatan Muller dan Oort kemudian dimuat oleh NJ Krom dalam buku Laporan Dinas Kepurbakalaan (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië) yang terbit pada tahun 1914.

Pada hari Minggu lalu (12 Maret 2017), secara tidak sengaja kami juga sampai di lokasi yang dikunjungi oleh Muller dan Oort pada tahun 1833 itu. Di tengah ladang di puncak gunung ini, ada sepetak tanah yang dibatasi oleh susunan batu membentuk ruang persegi dengan beberapa pohon hanjuang merah yang menjadi batas petak. Di tengah petak terdapat pohon puspa dan nangka dan berbagai jenis tumbuhan lain, terutama hanjuang hijau. Nah di bawah pohon puspa inilah kami lihat dua buah batu panjang dalam posisi berdiri dan di bawahnya sebongkah batu lain yang sepertinya merupakan potongan atau sisa sebuah arca, pada bagian yang tertinggal masih bisa dilihat pahatan sepasang kaki.

Salah satu batu berdiri ini bentuknya tampak lebih modern, bagian atasnya melancip dan di beberapa sisi seperti ada bekas pahatan tulisan huruf Latin. Sebentar saya menduga batu ini seperti tugu triangulasi atau yang di beberapa tempat biasa disebut sebagai sayang kaak, kemudian ragu sendiri karena batu ukurannya lebih tinggi daripada yang biasa saya lihat. Pada batu yang lebih tua juga sepertinya ada bekas pahatan-pahatan, entah huruf atau relief, terlalu samar. Sementara pada bagian belakang sisa arca, terdapat pahatan yang membentuk huruf-huruf Latin, sepintas kami kira itu hasil vandalisme modern.

Tentu saja di sini kami tak bertemu dengan orang tua yang bercerita pada Muller dan Oort, tapi kami bertemu seorang tua lain, pensiunan Dinas Purbakala (?) yang sebelumnya bekerja di Cimahi dan ingin menghabiskan hari tuanya di Desa Mukapayung. Darinya kami mendengar tentang beberapa situs lain yang tersebar di puncak-puncak gunung di dekat Mukapayung, di antaranya Gunung Gedogan dan Gunung Masigit yang terlihat tidak terlalu jauh dari lokasi kami berdiri. Ya, kunjungan berikutnya ke kawasan ini, kami akan kunjungi dan lihat lebih banyak.

Pasir Junghuhn

12555983_1105901679454841_1931221710_n

Pabrik Teh Pasir Junghuhn.

Dulunya pabrik kina, tapi sekarang sudah tidak ada kebun kina di sini. Dulu pabrik ini berdiri sendiri, tapi sekarang menjadi bagian perkebunan lain yang lebih besar. Setelah pabrik, masih ada jalan batu rusak menuju kampung terakhir di kawasan ini, Srikandi. Setelah itu hutan dan gunung yang berbatasan dengan Kab. Garut. Di depan pabrik ada sebuah rumah sakit, RS Pasir Junghuhn, yang terpencil dan sepi. Hari ini hanya ada tujuh pasien di sana. Tak ada orang lalu-lalang, hanya seorang petugas keamanan yang terlihat sedang ngoprek gadgetnya. Tidak butuh waktu lama untuk mengelilingi RS dan pabrik dengan nama sama ini.

Di bawah, sebuah rumah tua yang tersambung dengan rumah dinas bergaya kolonial masih berdiri, namun tanpa penghuni. Warga pikir saya mau uji nyali di sana. Tidak. Saya jalan2 saja, lihat2 masa lalu.

A Cup of Java

image

Chicago, 1893.

Hari itu, tanggal 1 Mei, perhelatan internasional World’s Fair: Columbian Exposition dibuka. Kegiatan ini diadakan untuk merayakan  400 tahun “penemuan” dunia baru oleh Christopher Columbus: Amerika.

Untuk ajang pameran berskala raksasa ini disediakan lahan seluas 280 hektar yang akan diisi oleh 46 negeri dari penjuru dunia. Pameran ini berlangsung selama 6 bulan penuh sampai hari penutupan pada tanggal 30 Oktober 1893. Tercatat ada 27.300.000 pengunjung yang datang.

Ada banyak keunikan dalam pameran akbar ini, di antaranya kehadiran bangunan-bangunan tiruan semacam yang dapat dilihat dalam skala kecil di Jaarbeurs Bandoeng lebih 20 tahun kemudian. Di Chicago hadir Teater Persia, Istana Moor, perkampungan orang Lapland, atau Benteng Donegal.

Dimulai dari hari itu di benua baru, Java identik dengan kopi.

Continue reading “A Cup of Java”

De Familie van Motman 1600-2006

12357641_804194496375021_908388018_n

Di Kampung Pilar, Ds. Sibanteng, Bogor, sampai sekarang masih terdapat sebuah komplek makam tua berbentuk mausoleum atas nama keluarga van Motman. Salah satu keluarga pengusaha perkebunan paling awal di wilayah Bogor.

Dulu di halaman mausoleum di ini terdapat 33 buah makam keluarga dan kerabat van Motman. Tapi sejak tahun 1970an, saat pernah terjadi perusakan dan penjarahan komplek makam, banyak makam yang rusak dan musnah. Batu2 marmer dicongkel, patung2 hiasan makam juga dicuri. Bahkan 4 jenazah yang sudah diawetkan juga hilang dari kuburnya.

Buku De Familie van Motman 1600-2006 dalam foto ini berisi riwayat keluarga dan keturunan van Motman dalam rentang yang panjang, 400 tahun. Tokoh utama dalam cerita adalah Gerrit Willem Casimir van Motman yang membangun sebuah landhuis di Dramaga. Landhuis ini sampai sekarang masih ada dan dipakai sebagai Wisma Tamu IPB.

Jenis kebun yang diupayakan keluarga ini berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Mula-mula menanam kopi, lalu berganti tebu, sawit, karet, sampai teh. Setelah kebangkrutan VOC, GWC van Motman menjadi tuan tanah dengan kepemilikan wilayah seluas 117.009 ha meliputi wilayah2 di Jasinga, Banten, Bogor, sampai sekitar Cianjur.

Tangkuban Perahu dan Kopi di Priangan

Konon pendakian pertama Gn. Tangkuban Parahu dilakukan oleh Abraham van Riebeeck pada tahun 1713. Pendakian ini merupakan misi pencarian belerang sebagai bahan campuran pembuatan bubuk mesiu untuk meriam dan bedil. Saat itu tentu saja belum ada jalur jalan seperti sekarang, sehingga pendakian ke puncak gunung dengan ketinggian 2.076 mdpl itu bisa sangat melelahkan.

Akibatnya memang fatal bagi van Riebeeck, beliau meninggal dalam perjalanan pulang dari puncak Tangkuban Parahu tanggal 13 November 1713 karena tenaga yang habis terkuras. Sebelumnya van Riebeeck juga sudah mendaki Gn. Papandayan di sebelah selatan. Beruntung van Riebeeck sempat meninggalkan catatan-catatan yang kemudian menyadarkan Kompeni Belanda tentang potensi alam Tatar Ukur (Priangan) waktu itu. {1}

Ridwan Tangkuban Parahu 2
Peta kawah dan trekking dari masa Hindia Belanda.

Abraham van Riebeeck adalah putra Joan van Riebeeck, pendiri Capetown di Afrika Selatan. Pada tahun 1712 ia mendarat di Wijnkoopsbaai (sekarang Pelabuhan Ratu) sebagai salah satu orang pertama yang memperkenalkan tanaman kopi ke Pulau Jawa.{2} Kelak penanaman kopi ini akan menjadi salah satu andalan hasil bumi Priangan hingga dipaksakan penanamannya mulai tahun 1831
melalui kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa sebagai upaya pemulihan kas Hindia Belanda yang tersedot akibat Perang Diponegoro (atau Perang Jawa, 1825-1830).{3}

Continue reading “Tangkuban Perahu dan Kopi di Priangan”

Blog at WordPress.com.

Up ↑