Search

mooibandoeng

Senantiasa Belajar Kenal dan Cinta Kota Bandung

Category

mooibandoeng

Becak

image

Oleh @fan_fin

“Tuang jang?”
“Mangga.., mangga, Pak”
Begitu serunya dengan mulut yang masih dipenuhi makanan, lantang tapi belepotan menawarkan kepada saya nasi kuning yang tengah ia makan sebagai pengganjal perut di pukul sepuluh pagi.

Sedangkan saya sendiri menjawab tawarannya sambil asyik di belakang jendela bidik menangkap setiap gerakan dari figur unik yang saya temukan hari itu di sekitar Jalan Arjuna Bandung.

Figur yang saya temui itu adalah Pak Aang, seorang penggenjot becak yang sudah 20 tahun lebih mencari nafkah di Bandung, khususnya di sekitaran jalan Arjuna, Ciroyom dan Pajajaran, hampir seluruh warga sekitar sudah sangat mengenalnya, ibu-ibu yang melintas pulang dari pasar pun sudah begitu akrab menyapanya. Dandanannya yang nyentrik cukup mudah dikenali, dan menjadi daya tarik orang yang lalu lalang.

Pak Aang hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mencari penghidupan dari menarik becak, satu moda transportasi yang sampai sekarang masih digunakan di Bandung, namun sudah mengalami pergeseran fungsi. Memang sejatinya becak dapat ditemukan pula di berbagai kota lainnya di Indonesia, bahkan di luar negeri pun becak masih digunakan sebagai saran transportasi dengan berbagai sebutan dan bentuk. Namun, semenjak saya kecil bentuk becak yang di Bandung inilah yang saya kenali sampai saya beranjak dewasa dan mengunjungi beberapa kota lain di Indonesia yang juga masih menggunakan becak.

Saya rasa ada peran pemerintah terhadap majunya becak sebagai moda transportasi wisata di Yogyakarta, dapat saya lihat di Jalan Malioboro, aparat hukum berdampingan dengan tukang becak dan delman di samping jalan.

Continue reading “Becak”

Sosrokartono

image
Foto @KomunitasAleut

Oleh @tiarahmii

Drs. R.M.P. Sosrokartono
Walaupun nama beliau sama besarnya dengan Sang Adik, R.A. Kartini, namun sosok beliau tidak sepopuler Sang Adik dalam ingatan masyarakat Indonesia.

Setelah 29 tahun hidup di Eropa, Sosrokartono memutuskan pulang dan menetap ke Hindia Belanda. Kota pilihannya adalah Bandung. Sosrokartono mendirikan sebuah rumah panggung terbuat dari kayu berdindingkan bambu yang terletak di Poengkoerweg No 19. Rumah itu diberi nama Darussalam yang berarti “Rumah Kedamaian”.

Darussalam sering juga digunakan sebagai tempat berkumpul tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, dan Abdoel Rachim, kelak akan jadi mertua Mohamad Hatta. Partai Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie juga sering menggunakan gedung ini sebagai tempat pertemuan.

Tidak hanya menjadi rumah tinggal, Darussalam juga berfungsi sebagai balai pengobatan. Media pengobatan yang diterapkan oleh Sosrokartono dengan air putih yang dicelupkan kertas bertuliskan huruf Alif. Tak heran, Sosrokartono di Bandung dikenal sebagai dokter Cai atau dokter Alif.

Continue reading “Sosrokartono”

Tiga Serangkai di Kota Bandung

Oleh @omindrapratama

3-serangkai
Dari kiri ke kanan : Suwardi Suryaningrat, E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo.

Tiga Serangkai. Julukan ini adalah julukan yang seharusnya tidak pernah terlupakan jika kita berbicara Sejarah Pergerakan Nasional. Triumvirat Ernest Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat adalah tonggak pertama pergerakan bercorak nasionalis di Indonesia lewat Indische Partij, yang berumur pendek, serta berbagai gerakan politik, kebudayaan, dan pendidikan lain. Tanpa pengaruh dari Tiga Serangkai, bisa-bisa tidak ada pergerakan bercorak nasionalis dari Perhimpunan Indonesia di Belanda, atau Partai Nasional Indonesia, tidak ada pula Dwi-Tunggal Soekarno dan Hatta.

Semua pergerakan penting Tiga Serangkai tidak bisa dilepaskan dari Kota (dulu kabupaten) Bandung. Di kota ini Tiga Serangkai melakukan banyak gerakan yang membuat panas telinga pemerintah kolonial, sekaligus membangkitkan semangat nasionalisme kaum pribumi.

Bandung pada dekade awal abad 20, adalah kota yang mulai menggeliat dengan kegiatan budaya dan pendidikan penduduk pribumi. Tahun 1904 Raden Dewi Sartika merintis lembaga pendidikan khusus perempuan di Pendopo Kabupaten Bandung. Tahun 1907 Tirto Adhi Suryo menjalankan Surat Kabar Medan Prijaji di Jalan Naripan. Keberadaan sekolah-sekolah menengah yang membuka diri untuk siswa pribumi seperti Kweekschool, HBS, dan AMS di Bandung juga menjadi keran masuk pribumi-pribumi muda berpendidikan barat.

Eksponen Tiga Serangkai yang pertama menetap di Bandung adalah Douwes Dekker. Douwes Dekker yang pada 1908 turut serta mendirikan Budi Utomo di Batavia, merasa kecewa dengan perkembangannya yang makin dikuasai para priyayi konservatif, yang menyingkirkan pemuda-pemuda cerdas binaannya seperti Sutomo, Rajiman Wediodiningrat, dan Gunawan Mangunkusumo. Ia lalu mengunjungi tanah leluhurnya di Belanda selama 1 tahun, lalu kembali ke Hindia dan menetap di Bandung tahun 1910. Setibanya di Bandung, ia langsung aktif di dua organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde (di Insulinde Douwes Dekker pernah aktif sebelumnya). Lagi-lagi Douwes Dekker merasa kecewa karena sikap konservatif kedua organisasi tersebut yang tidak sepaham dengan ide Douwes Dekker, yaitu membolehkan kaum pribumi terpelajar bergabung untuk kemudian berjuang di ranah politik. Continue reading “Tiga Serangkai di Kota Bandung”

Gugum Gumbira

image

Oleh @arnizimansari

Siapa yang tidak kenal dengan istilah Jaipong atau Jaipongan? Nama ini identik dengan Kota Bandung. Jaipong merupakan salah satu bentuk seni tari yang tumbuh dan berkembang di Kota Bandung, kemudian menyebar ke seluruh wilayah Priangan. Belakangan ini Jaipong digambarkan sebagai tarian yang lincah dan banyak gerakan pinggul. Namun banyak yang tidak mengetahui bahwa Jaipong pada awalnya merupakan tarian yang menggambarkan seorang wanita anggun dan cantik, namun memiliki kemampuan bela diri yang lihai. Pencipta genre tari ini tidak lain adalah Gugum Gumbira.

Gugum Gumbira adalah seorang seniman tari sekaligus karawitan yang merasa tertantang untuk mengembangkan kesenian tradisional atas dasar pelarangan musik rock and roll oleh Presiden Sukarno pada tahun 1961. Gugum yang sedari awal sudah memiliki minat tinggi terhadap kesenian tradisional, mempelajari kesenian-kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Di antaranya adalah ketuk tilu, topeng banjet, dan pencak silat. Pada masa itu, sinden pada ketuk tilu berfungsi sebagai penari pula. Oleh Gugum, sinden difokuskan fungsinya hanya sebagai penyanyi dalam komposisi musik karawitannya saja.

Berbagai macam gerakan tari disadur kemudian dipadukan dengan gerakan pencak silat. Ini bertujuan untuk memberikan citra bahwa perempuan yang cantik, berbadan sintal, luwes, serta menarik hati, mampu mempertahankan dirinya melalui gerakan-gerakan bela diri, yaitu pencak silat.

Kecantikan dan kemolekan mojang Priangan betul-betul ditunjukkan melalui busana tarinya. Namun Gugum juga ingin menunjukan bahwa wanita Sunda tidak mudah ditaklukan begitu saja oleh kaum laki-laki, oleh karena itu banyak disisipkan gerakan-gerakan pencak silat.

Continue reading “Gugum Gumbira”

Upit Sarimanah

image

Oleh @anggicau

Suryamah atau lebih dikenal sebagai Upit Sarimanah, adalah sinden yang terkenal di tahun 1950-an. Dia lahir di Sadang, Purwakarta, 16 April 1928. Bakat menyanyi Upit sudah terlihat usia 6 tahun. Upit mengorbit saat itu karena suaranya berhasil mengalun di radio Hindia Belanda, NIROM. Sebelum kelak moyan sebagai pesinden, Upit lebih banyak memainkan musik berirama keroncong atau Hawaiian yang memang sedang menjadi trend pada saat itu.

Karir Upit terus menanjak ketika bergabung dalam rombongan orkes Hawaiian Lieve Java. Pada tahun 1950 namanya semakin terkenal setelah turut serta dalam rombongan Kliningan seni Sunda RRI Jakarta pimpinan R Toteng Djohari.

Salah satu puncaknya adalah ketika Upit manggung di gedung YPK Jalan Naripan pada malam tahun baru 1956. Sebetulnya yang datang mengisi acara saat itu adalah rombongan RRI Jakarta, namun yang paling ditunggu oleh warga Bandung sebetulnya adalah salah satu penyanyinya, Upit Sarimanah. Di YPK, Upit manggung bersama dalang Gandaatmaja dari Dayeuhkolot.

“Cikapundung..Cikapundung..Cikapundung.. walungan di Kota Bandung
Kota kembang kota midang kota pangbangbrang kabingung”.

Continue reading “Upit Sarimanah”

Kina Pertama

image

160 tahun yang lalu, Franz Wilhelm Junghuhn, menanam kina pertamanya di daerah Pangalengan. Tentu ini bukanlah kina pertama yang ditanam di Pulau Jawa. Lokasi ini juga bukanlah satu2nya tempat penanaman kina itu, sebab Hasskarl sudah pernah menanam bibit yang dibawanya dari Peru di Cibodas. Tapi di sinilah monumen peringatan penanaman kina didirikan pada tahun 1955.

Tak jauh dari jalan raya Pangalengan, Junghuhn juga menanam kina di daerah yang kelak bernama Kampung Kina, Cibeureum. Selain itu juga di halaman rumah kerjanya di sebuah komplek bukit dekat Wanasuka yang sekarang bernama Pasir Junghuhn dan kemudian di tempat tinggalnya yang baru di Lembang.

Jauh sebelum kedatangan keluarga Preangerplanters yang dipelopori oleh Willem van der Hucht, Junghuhn sudah berkali-kali mengelilingi wilayah Jawa bagian Barat. Ia sudah hadir di Pangalengan dan mendaki Malabar sebelum kedatangan Kerkhoven atau Bosscha.

Continue reading “Kina Pertama”

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑