Oleh @fan_fin
“Tuang jang?”
“Mangga.., mangga, Pak”
Begitu serunya dengan mulut yang masih dipenuhi makanan, lantang tapi belepotan menawarkan kepada saya nasi kuning yang tengah ia makan sebagai pengganjal perut di pukul sepuluh pagi.
Sedangkan saya sendiri menjawab tawarannya sambil asyik di belakang jendela bidik menangkap setiap gerakan dari figur unik yang saya temukan hari itu di sekitar Jalan Arjuna Bandung.
Figur yang saya temui itu adalah Pak Aang, seorang penggenjot becak yang sudah 20 tahun lebih mencari nafkah di Bandung, khususnya di sekitaran jalan Arjuna, Ciroyom dan Pajajaran, hampir seluruh warga sekitar sudah sangat mengenalnya, ibu-ibu yang melintas pulang dari pasar pun sudah begitu akrab menyapanya. Dandanannya yang nyentrik cukup mudah dikenali, dan menjadi daya tarik orang yang lalu lalang.
Pak Aang hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mencari penghidupan dari menarik becak, satu moda transportasi yang sampai sekarang masih digunakan di Bandung, namun sudah mengalami pergeseran fungsi. Memang sejatinya becak dapat ditemukan pula di berbagai kota lainnya di Indonesia, bahkan di luar negeri pun becak masih digunakan sebagai saran transportasi dengan berbagai sebutan dan bentuk. Namun, semenjak saya kecil bentuk becak yang di Bandung inilah yang saya kenali sampai saya beranjak dewasa dan mengunjungi beberapa kota lain di Indonesia yang juga masih menggunakan becak.
Saya rasa ada peran pemerintah terhadap majunya becak sebagai moda transportasi wisata di Yogyakarta, dapat saya lihat di Jalan Malioboro, aparat hukum berdampingan dengan tukang becak dan delman di samping jalan.
Recent Comments