image

Gunung Rakutak dilihat dari Kampung Cinenggelan, Pacet.

Akhir pekan lalu @mooibandoeng bersama rekan2 @KomunitasAleut mengadakan perjalanan keliling ke sejumlah perkebunan dan bekas perkebunan di kawasan sebelah selatan Kota Bandung. Perjalanan panjang dan sensasional ditempuh dengan penuh kegembiraan, penuh semangat juga karena menemukan banyak hal baru. Walaupun sudah puluhan kali mengadakan perjalanan serupa ini, ya tetap saja selalu ada hal baru, semangat baru.

Soal kebun mungkin belakangan saja, sekarang mau bagi pemandangan ini saja. Di sore yang sangat cerah itu, kami berhenti tepat di lokasi ini, melihat orang-orang yang bermain bola, mengamati kelompok2 remaja bermotor bolak-balik naik dan turun. Sore itu pemandangan pergunungan di sekeliling kami sangat bagus, bahkan ke arah perbukitan di sebelah utara Kota Bandung terlihat sangat jelas.

Inilah Gunung Rakutak. Bila berjumpa orang-orang tua di sekeliling gunung ini, ada banyak cerita tentang “gerombolan”, cerita seram yang mereka alami saat masih anak-anak. Gunung ini memang pernah jadi konsentrasi terakhir pertahanan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dkk, pemimpin gerakan DI/TII. Masyarakat Jabar sering menyebutnya “gorombolan” karena mereka memang bergerak gerilya dan bersembunyi di hutan gunung secara bergerombol. Untuk mendapatkan makanan dan keperluan sehari2, kelompok ini sering  melakukan aksi “duruk imah” sambil menjarah kampung. Banyak kampung di Priangan yang punya cerita seputar gerakan “gorombolan” ini antara tahun 1950-1962.

Di dalam gubuk, Kartowoewirjo terduduk pasrah. Ara mengajak bicara. Secara aneh Kartosoewirjo mengetahui bahwa istri Ara sedang hamil dan kelak akan melahirkan anak laki2. Ia juga memberikan hadiah sebatang pulpen.

Juni 1962, Ibrahim Adjie yang waktu itu Pangdam Divisi VI Siliwangi menerima berita tentang perampokan di Kampung Pangauban, Paseh.  Sudah satu bulan Adjie mengejar Kartowoewirjo melalui Operasi Brata Yudha. Bahkan Divisi Siliwangi saat itu mendapatkan bantuan juga dari Divisi Diponegoro dan Brawijaya. Adjie  segera menugaskan satu kompi yang dipimpin oleh Letda Suhanda untuk melacak jejak para perampok ini.

Jejak ditemukan, mengarah ke Gunung Geber, Majalaya, letaknya di sisi sebaliknya gunung ini. Salah satu anak buah Suhanda, Sersan Ara Suhara, warga asli Kampung Maruyung, Pacet, seorang diri mengikuti jejak sampai ke hutan di atas Gunung Geber.

Sampai di atas, Ara Suhara menemukan gerombolan ini dan langsung menodongkan senjatanya ke pasukan Kartosoewirjo yang sudah dalam keadaan sangat lemah. Di antaranya ada Panglima DI/TII Aceng Kurnia dan Dodo Muhammad Darda, anak Kartosoewirjo, yang menjabat Sekretaris DI/TII.

Di dalam gubuk, Kartowoewirjo terduduk pasrah. Ara mengajak bicara. Secara aneh Kartosoewirjo mengetahui bahwa istri Ara sedang hamil dan kelak akan melahirkan anak laki2. Ia juga memberikan hadiah sebatang pulpen.

Hari itu, 4 Juni 1962, menjadi hari terakhir petualangan Kartowoewirjo. Saat Ara Suhara tiba di markas terakhir DI/TII, pasukan TNI juga tiba tak berapa lama kemudian dan melakukan penangkapan.

Setelah proses2 pengadilan, pada tanggal 5 September 1962, Pemimpin DI/TII, Sekarmadji Maridjan Kartowoewirjo dihukum mati di sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Dalam waktu agak lama, diduga hukuman mati itu dilakukan di Pulau Onrust. Di salah satu sisi pulau terdapat sebuah bilik yang berisi makam, banyak orang menyebutnya makam Kartosoewirjo. Saat saya ke Pulau Onrust, itu juga yang disampaikan orang-orang di sana, lalu saya membuat sejumlah foto dan menuliskan catatan sesuai dengan yang saya dengar.

Belakangan, cerita ini agak berubah, dengan terbitnya buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo” (2012) yang disusun oleh Fadli Zon. Buku yang memuat dokumentasi 81 lembar foto hari-hari terakhir Kartosoewirjo sampai akhirnya dia dihukum mati itu menyebutkan berdasarkan keterangan dari foto asli bahwa lokasi hukuman mati itu dilaksanakan di Pulau Ubi. Sekarang Pulau Ubi sudah tidak ada, tenggelam ditelan laut, tentu bersama makam asli Kartosoewirjo.