Kalau melintas di jalan raya Bandung-Tangkubanparahu, mata ini sering melirik ke sebuah bangunan unik bertembok hitam dengan arsitektur yang tampak kuno. Di dinding bagian depan terdapat tulisan yang cukup jelas untuk dibaca dari jauh, “ Dolce Far Niente”, lalu di bawahnya, “Monteiro”. Sebenarnya saya cukup sering berada di dekat bangunan ini, terutama saat salah seorang paman saya mengelola hotel besar yang berada di dekatnya. Pagi-pagi berjalan kaki dari hotel sering melintas dekat bangunan hitam ini, tapi tidak juga ada keinginan untuk mampir. Yang saya tahu, sejak dulu di rumah itu diproduksi selai yang konon sempat populer di kota Bandung.
Tapi pagi ini ada pengalaman lain yang membuat saya mendatangi rumah hitam ini. Suasana sekitar bangunan tampak sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang sedang parkir. Semua pintu dan jendela rumah tertutup, begitu juga garasi yang berwarna merah di sebelahnya. Tak jauh dari rumah utama ada seorang ibu. Saya hampiri dan menyampaikan maksud ingin bertemu penghuni rumah hitam itu. Ibu ini mengantar saya ke sebuah rumah lain di belakang rumah hitam.
Masa kecil dan remaja Beni dihabiskan di Pekalongan. Karena kenakalannya, sekolahnya berantakan. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD saja. Saat itu ia lebih senang blusukan ke kampung untuk mengadu ayam atau jangkrik daripada bersekolah. Untunglah ia masih sempat belajar membaca dan menulis. Bekal kecil ini membuatnya gemar mengoleksi dan membaca buku2 filsafat di kemudian hari, terutama karya2 MAW Brouwer.
Recent Comments