Bagian kedua:

Gang Simcong dan SD Simcong

DI dalam roman Rasia Bandoeng, Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiauw, untuk menjalin hubungan asmara dengan Tan Gong Nio. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga (she) adalah hal tabu dan terlarang. Tan Shio Tjhie tahu benar soal itu, namun ia berbesar hati mengantar anaknya itu untuk melamar sang pujaan hati.

Sosok Tan Shio Tjhie diyakini tak lain adalah Tan Sim Tjong oleh cucu cicitnya. Bagi sosok saudagar seperti Tan Sim Tjong, hubungan asmara anaknya dengan Tan Gong Nio adalah tantangan yang sangat berat karena itu artinya harus melawan adat. “Rupanya dia punya gebrakan pada masanya, contohnya mendukung perkawinan satu marga. Itu saya anggap sebagai sesuatu sosok yang progresif, menyayangi anak, dan memberi keleluasaan bergerak,” ujar cicit Tan Sim Tjong, Bambang Tjahjadi.

Itulah sosok Tan Sim Tjong di mata cicitnya. Sementara, warga sekitar Cibadak dan Sudirman mengenal Sim Tjong sebagai nama sebuah jalan kecil di Jalan Jenderal Sudirman yang bisa tembus ke Jalan Kelenteng dan Jalan Kebonjati. Letaknya kini tepat di pintu masuk Sekolah BPK Penabur. Dulu, di gang ini pula berdiri sebuah sekolah dasar bernama SD Simcong.

Peta Gg. Simtjong, koleksi Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa UNIKA Maranatha, Dr. Sugiri Kustedja.
Peta Gg. Simtjong, koleksi Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa UNIKA Maranatha, Dr. Sugiri Kustedja.

Salah seorang warga asli Gang Simcong, Yunus (73), mengatakan bahwa sejak tahun 1990-an, nama gang tersebut diubah menjadi Gang Adibrata. Meski begitu, warga setempat masih saja menyebut gang tersebut dengan sebutan Simcong. Yunus kemudian berkisah bahwa ia menamatkan sekolah dasarnya pada tahun 1955 di Sekolah Rakyat Simcong yang berada persis di samping sekolah zending (yang kini menjadi BPK Penabur). “Dulu namanya Sekolah Rakyat Simcong. Banyak anak-anak Tionghoa yang tidak mampu yang bersekolah di sini,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya di RW 08 Kelurahan Kebonjeruk, Kecamatan Andir, (9/4/2015).

Meski banyak murid Tionghoa, SR Simcong tidak mengajarkan Bahasa Tionghoa maupun Bahasa Belanda di sekolah. Bahasa yang digunakan dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut adalah Bahasa Indonesia. Yunus mengaku tidak tahu sejarah pendirian SR Simcong. Sebab, menurut dia, sekolah itu sudah ada sejak dia kecil. Namun, pada tahun 1998, SD Simcong pindah dan bergabung ke SD Inpres di Cibadak. Sementara, lahan SD Simcong dibeli oleh sekolah zending untuk memperluas area sekolah tersebut.

Sebagai saudagar dan tuan tanah, nama Tan Sim Tjong cukup dikenal masyarakat pada akhir abad ke-19 hingga ia meninggal pada tahun 1929. Kendati dirinya belum lahir pada saat Tan Sim Tjong hidup, namun Tan De Seng (73) sering mendengar nama Tan Sim Tjong dibicarakan para orangtua ketika ia kecil. “Masa kecil saya di Gang Tamim (wilayah Pasar Baru-Jalan Sudirman), saya sering dengar tentang Simcong. Sebagai tokoh Tionghoa, beliau itu aktif di Tiong Hoa Hwee Koan (THHK),” ujar Tan De Seng.

Tiong Hoa Hwee Koan atau Zhong Hua Hui Guan adalah sebuah organisasi perkumpulan orang Tionghoa yang didirikan pada tahun 1900 di Batavia. Tujuan utama para pendirinya adalah untuk mendorong orang Tionghoa yang bermukim di Indonesia (waktu itu bernama Hindia Belanda) untuk mengenal identitasnya. Perkumpulan ini dibubarkan pemerintah Orde Baru pada tahun 1966.

Terkait nama Simcong yang pernah menjadi nama sekolah rakyat di wilayah tersebut, Tan De Seng memiliki dua dugaan. Pertama, karena mungkin Tan Sim Tjong memang turut berjasa mendirikan sekolah tersebut. Dugaan kedua, yaitu mungkin karena warga ingin memberikan penghargaan atas sosok Tan Sim Tjong sebagai saudagar kaya di wilayah tersebut. “Rakyat kita ‘kan suka memberikan nama bangunan atau gedung itu berdasarkan nama lokasi atau tempat gedung tersebut berada, mungkin karena lokasinya di Gang Simcong, maka disebutnya SD Simcong,” tuturnya. Bersambung.

Advertisement