
Foto ini menggambarkan suasana keramaian di Bandung saat merayakan Jubileum Ratu Wilhelmina pada tahun 1923. Foto diambil di sudut barat daya Alun-alun, di depan sebuah toko pakaian dan kelontong, Toko Tokyo. Pada gambar dapat dilihat plang nama Toko Tokyo di atas pintu gedung di sebelah kanan.
Toko Tokyo dibangun tahun 1914 dan hancur pada tahun 1940-an, kemungkinan pada sekitar peristiwa Bandung Lautan Api. Angka tahun pembangunan didapatkan dari angka yang tercetak besar pada atap gedung sebelah kanan. Dari sebuah foto udara yang dibuat oleh ML-KNIL tahun 1946 dan dimuat dalam buku karya RPGA Voskuil, “Bandung; Citra Sebuah Kota”, tampak lahan Toko Tokyo kosong dan belum ada bangunan penggantinya.


Sekarang, di lahan tempat Toko Tokyo berdiri sudah ada bangunan lain. Sebuah bangunan tua yang sudah terbengkalai cukup lama. Walaupun tampak tak terawat, bangunan ini cukup populer di kota Bandung karena bentuk bangunannya yang unik sekaligus menjadi landmark atau penanda bagi lingkungan sekitarnya. Bangunan unik ini dikenal dengan nama Swarha, sesuai rangkaian huruf yang terpasang di atap gedungnya.
Dari sebuah blog dengan nama yamanindonesia, saya baca keterangan tentang asal nama Swarha, yakni singkatan dari nama Said Wiratmana Abdurrachman Hassan. Beliau adalah putra dari Syech Abdurrachman bin Abdullah Hassan, yang berdasarkan cerita mulut ke mulut, merupakan salah satu saudagar kaya yang berasal dari Timur Tengah. Di masa Hindia Belanda, kawasan sebelah barat dan barat daya Alun-alun Bandung memang pernah jadi konsentrasi permukiman warga Arab, beberapa nama jalan masih menunjukkan itu, seperti Alketeri (Al Katiri) dan Al Jabri.
Gedung Swarha terdiri dari empat lantai, bagian bawah gedung masih aktif digunakan sebagai toko kain dan pakaian, sedangkan bagian atasnya sudah tidak difungsikan lagi dan dibiarkan kosong sejak lama.Saya pernah beberapa kali berkesempatan masuk dan melihat-lihat keseluruhan isi bangunan kosong ini, umumnya dalam keadaan rusak dan bocor di sana-sini. Lantai paling atas sudah banyak lubang di bagian atapnya dan menjadi rumah bagi burung-burung. Air hujan tergenang di beberapa bagian lantai.
Jalan keluar menuju balkon masih dapat digunakan. Dari balkon pemandangannya cukup menyenangkan bagi saya, terutama ke arah bangunan tua lainnya yang terletak di seberang jalan, Nederlandsch Indische Escomptobank, dan ke arah Jl. Banceuy. Kamar-kamar bekas hotel yang berjumlah 16 buah dibiarkan dalam keadaan kumuh, kecuali beberapa kamar yang pernah diperbaiki untuk keperluan pembuatan sebuah film layar lebar (Love is Cinta?). Dari bagian belakang juga dapat melihat ke arah Jl. Dalem Kaum tapi pemandangannya tidak menarik, hanya atap-atap bangunan rumah atau pertokoan saja.
Dalam buku Pedoman Kota Besar Bandung yang disusun dan “disiarkan” oleh Djawatan Penerangan Kota Besar Bandung (1956), tertera dua alamat berbeda untuk gedung yang saat itu merupakan hotel islami ini, dalam daftar nama-nama hotel ditulis alamat Djl. Raja Timur 46 dan dalam sebuah gambar iklan tertulis alamat Djalan Masdjid Agung 8A dengan nomor telepon 4712. Mungkin karena gedung baru ini saat itu menggabungkan dua gedung yang sebelumnya berdiri, Toko Tokyo dan sebuah bangunan perkantoran dengan arsitektur bergaya timur tengah di sisi selatannya. Harga sewa hotel ketika itu dihitung per orang, yaitu Rp. 19.97 tanpa makan.
Ketika mencoba mencari tahu soal arsitek gedung ini, saya agak heran karena banyak blog yang sepertinya saling copy paste menyebutkan bahwa gedung ini dibangun atara tahun 1930-1935 oleh arsitek terkenal, Wolff Schoemaker. Ada juga yang menyebutkan arsitek AF Aalbers sebagai perancang gedung ini. Saya ragu sekali pada keterangan ini. Dari sejumlah buku tentang arsitektur kolonial, saya tidak menemukan gedung ini dalam daftar karya Schoemaker ataupun Aalbers. Dari sebuah buku yang khusus membicarakan Schoemaker pun tidak ada keterangan soal Swarha. Entah dari mana dan bagaimana ceritanya sampai ada dugaan bahwa Wolff Schoemaker yang merancang gedung ini.
Tiba-tiba saya teringat pada sebuah pameran tentang karya-karya Wolff Schoemaker yang digelar di Hotel Preanger beberapa tahun lalu. Ketika itu saya berkunjung bersama seorang sahabat saya, seorang Belanda kolektor kartu pos tua. Saya ingat dia membacakan salah satu panel, kira-kira isinya berupa keterangan bahwa Gedung Swarha dibangun tahun 1940 oleh Wolff Schoemaker. Saat itu saya sudah meragukan informasi ini dan karena tidak terlalu hirau, saya pun lupa pada pameran tersebut.
Dibandingkan dengan karya-karya Schoemaker yang sudah banyak dikenal, Gedung Swarha sama sekali tidak memiliki kesamaan gaya atau bentuk bangunan. Gedung-gedung seperti Gedung Merdeka, Bioskop Concordia, Villa Isola, Hotel Preanger, atau Bio Farma, tampak terlalu megah bila dibandingkan dengan Swarha. Sepertinya akan menjadi sebuah kemunduran bagi Schoemaker bila ia benar merancang gedung Swarha. Tidak ada satu hal pun pada gedung Swarha yang dapat mengingatkan saya pada karya-karya Schoemaker lainnya.
Bahasan tentang Swarha sebetulnya cukup umum dan ditulis di banyak buku, mulai dari buku-bukunya Haryoto Kunto seperti Ramadhan di Priangan, sampai buku-bukunya Sudarsono Katam seperti Bandung; Kilas Peristiwa di Mata Filatelis, semua umumnya menyatakan hal yang sama, bahwa gedung Swarha dibangun menjelang pelaksanaan Konferensi Asia Afrika 1955 dengan fungsi sebagai hotel yang akan menampung para wartawan peliput perhelatan tersebut.
Selain itu, tentunya foto di atas tadi juga menunjukkan bahwa paling tisak sampai tahun 1946 gedung Swarha masih belum berdiri.
1 Pingback