Kalau melintas di jalan raya Bandung-Tangkubanparahu, mata ini sering melirik ke sebuah bangunan unik bertembok hitam dengan arsitektur yang tampak kuno. Di dinding bagian depan terdapat tulisan yang cukup jelas untuk dibaca dari jauh, “ Dolce Far Niente”, lalu di bawahnya, “Monteiro”. Sebenarnya saya cukup sering berada di dekat bangunan ini, terutama saat salah seorang paman saya mengelola hotel besar yang berada di dekatnya. Pagi-pagi berjalan kaki dari hotel sering melintas dekat bangunan hitam ini, tapi tidak juga ada keinginan untuk mampir. Yang saya tahu, sejak dulu di rumah itu diproduksi selai yang konon sempat populer di kota Bandung.
Tapi pagi ini ada pengalaman lain yang membuat saya mendatangi rumah hitam ini. Suasana sekitar bangunan tampak sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang sedang parkir. Semua pintu dan jendela rumah tertutup, begitu juga garasi yang berwarna merah di sebelahnya. Tak jauh dari rumah utama ada seorang ibu. Saya hampiri dan menyampaikan maksud ingin bertemu penghuni rumah hitam itu. Ibu ini mengantar saya ke sebuah rumah lain di belakang rumah hitam.
Masa kecil dan remaja Beni dihabiskan di Pekalongan. Karena kenakalannya, sekolahnya berantakan. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD saja. Saat itu ia lebih senang blusukan ke kampung untuk mengadu ayam atau jangkrik daripada bersekolah. Untunglah ia masih sempat belajar membaca dan menulis. Bekal kecil ini membuatnya gemar mengoleksi dan membaca buku2 filsafat di kemudian hari, terutama karya2 MAW Brouwer.
Di rumah belakang saya diterima oleh seorang ibu muda bernama Herni Monteiro. Saya langsung menangkap, Monteiro yang dikenal sebagai nama produk selai ini ternyata berasal dari nama kelurga. Ibu yang ramah ini mengajak masuk. Di dalam rumah saya lihat ada beberapa puluh botol selai di atas meja. Saya kira saya akan ngobrol soal selai saja sebagai pembuka perkenalan. Ibu yang baik ini menyerahkan beberapa lembar kertas fotokopian sambil menunjukkan botol-botol selai dan bungkus-bungkus dodol produksi keluarganya, YH Dodol Strawberry Milk. Ternyata cerita-cerita berloncatan dengan cepat dan tiba juga pada nama itu, Monteiro.
Adolph Bernard Monteiro, menilik namanya saja dia bukanlah orang Indonesia. Tapi Beni, begitu nama kecilnya, tak pernah melihat negeri lain selain Indonesia selama hidupnya. Beni dilahirkan di Manado pada tahun 1917 dari ayah kelahiran Blitar bernama Herman Christian Monteiro dan ibu kelahiran Cirebon, Eugenie Geerath.
Dari garis ayahnya, Beni mendapatkan darah Portugis, sementara dari ibunya darah Belanda. Konon kakeknya datang dari Portugis ke Indonesia bersama dua orang saudaranya untuk berkelana. Mungkin mencari penghidupan di negeri yang sempat berada dalam kekuasaan Portugis ini. Kakeknya wafat dan dimakamkan di Banyuwangi, sementara kedua saudara kakeknya tak ada kabar berita. Makam kakeknya masih ada di Banyuwangi, namun Beni tak pernah melihatnya langsung.
Masa kecil dan remaja Beni dihabiskan di Pekalongan. Karena kenakalannya, sekolahnya berantakan. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD saja. Saat itu ia lebih senang blusukan ke kampung untuk mengadu ayam atau jangkrik daripada bersekolah. Untunglah ia masih sempat belajar membaca dan menulis. Bekal kecil ini membuatnya gemar mengoleksi dan membaca buku2 filsafat di kemudian hari, terutama karya2 MAW Brouwer.
Pada tahun 1941 terjadi Perang Dunia II. Saat itu usia Beni 24 tahun dan ia bekerja bertani membantu ayahnya yang ahli pertanian. Namun perang menyeretnya untuk ikut mobilisasi massa dan masuk ketentaraan KNIL. Tahun 1942 Beni menjadi tawanan Jepang dan dipekerjakan secara paksa untuk membangun sebuah lapangan terbang di Pulau Amahai, Ambon. Seluruh keluarganya tercerai berai tak tentu rimba. Selama menjadi tawanan Jepang, Beni mengalami banyak kekerasan yang membuatnya trauma hingga kini. Pekerjaan yang terlalu berat bahkan membuatnya mengidap pembengkakan jantung. Kelaparan sudah menjadi pengalamannya sehari-hari.
Beni bertahan hingga Indonesia mencapai kemerdekaan di tahun 1945. Beni yang bebas segera berjuang keras untuk mendapatkan pekerjaan. Nasibnya sedang mujur, ia diterima bekerja di Amacap, suatu lembaga yang bergerak di bidang sosial. Pengalamannya dengan dunia pertanian membuatnya dipekerjakan untuk mengolah suatu lahan pertanian di Lembang. Hasil tani ini dipakai oleh rumah sakit rumah sakit yang berafa di Bandung.
Sekitar tahun 1948, Beni dan kawan2nya keluar dari Amacap dan mendirikan sebuah kelompok tani. Mereka menyewa tanah dan menanam arbei serta sayur2an. Ketika itu produksi arbei dari Lembang sedang sangat bagus. Dalam satu hari, Beni bisa memetik arbei sampai seberat 1 kuintal.
Organisasi bentukan Beni tidak bertahan lama, bahkan kemudian terjadi boikot terhadap warga Belanda dan Eropa. Beni kemudian berusaha sendiri dengan berbagai keterbatasan. Sampai sini persoalannya belum selesai karena strawberry miliknya tidak diterima lagi oleh pabrik-pabrik yang melihatnya sebagai seorang Belanda. Saat itu semangat nasionalisme di Indonesia sedang tinggi dan di mana-mana terjadi gerakan antiasing.
Beni tidak menyerah, sebuah ide lain segera muncul. Ia berpikir mungkin tumpukan strawberry di gudangnya bisa diolah menjadi selai. Setelah membuat beberapa eksperimen, Beni menemukan olahan yang dianggapnya pas tanpa menggunakan campuran apapun. Selai ini dipasarkannya sendiri ke masyarakat sekitar dengan merek Monteiro & Sons. Banyak orang asing yang tinggal di sana menggemarinya, terutama karena rasanya yang khas dan pembuatannya yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia.
Usaha yang tidak besar ini dikelolanya sendiri dibantu istrinya, mojang asli Lembang, dan anak-anaknya. Ia juga mempekerjakan 10 orang pegawai untuk membantunya. Usaha ini tidak selalu berjalan mulus. Walaupun selai buatannya yang diberi merek Monteiro & Sons itu sudah cukup dikenal luas, tetapi bahan baku buah arbei tidak selalu tersedia dari kebunnya sehingga kadang-kadang ia harus mendatangkannya dari tempat lain seperti Sukabumi. Lalu pengemasannya pun punya masalah sendiri, untuk pengemasan selainya Monteiro mendapatkan botol-botol ini dari pedagang botol bekas yang ia bersihkan sendiri.
Semua itu cerita dulu. Usaha ini berkembang naik-turun hingga akhir tahun 1980-an. Produk selai Monteiro memang tak pernah menjadi industri yang besar, namun namanya cukup dikenal warga Bandung baheula. Monteiro mengelola usaha ini hingga akhir hayatnya di tahun 1987, setelah itu dilanjutkan oleh istrinya, Atikah, dan anak-anaknya. Saat ini minat terhadap selai Monteiro sudah tidak seramai dulu, namanya tersamarkan di tengah produk-produk modern yang sangat beragam.
Sampai beberapa tahun lalu selai Monteiro & Sons masih dapat ditemukan di Toko Setiabudhi atau di Roti Gempol yang memang selalu menggunakan selai ini sebagai salah satu pelapis rotinya yang terkenal itu. Bagi generasi sekarang yang mungkin ingin mencicipi selai Monteiro, dapat mencoba mencari di kedua tempat itu atau langsung berkunjung ke rumah Monteiro di Lembang. Dari arah Bandung, letaknya di sebelah kanan setelah Hotel Putri Gunung, lihat sebuah rumah bertembok hitam dengan tulisan “Dolce Far Niente”.
Foto: http://indischekwestie.nl/
Adolph Bernard Monteiro
1917 Manado
1989 Lembang
Foto-foto: Vecco Suryahadi @veccosuryahadi & Ridwan Hutagalung @pamanridwan
http://indischekwestie.nl/
Update, 11/04/2015
Senang sekali hari ini mendapatkan email dari seseorang bernama Tony yang ternyata keponakannya Ben(i). Ibu Tony beradik-kakak dengan Ben, tetapi sayang sudah wafat juga. Tony juga bercerita bahwa bibit strawberry yang diolah oleh Oom Ben – begitu Tony memanggilnya – dikirimkan oleh ayahnya pada masa-masa sulitnya Oom Ben. Tony dan keluarganya berencana akan berkunjung ke Bandung, semoga kami dapat berjumpa..
Terima kasih sudah mampir, Tony.
Salam.
June 6, 2015 at 7:54 am
wah saya kuper … kalau ke lembang suka melihat rumah ini … unik … ternyata rumah sekaligus pabrik selai
June 5, 2016 at 5:06 pm
Monteiro, sebuah nama dan legend yang harus di pertahankan di Lembang dan Indonesia, Oom Monteiro sudah berjasa dalam memulai dan memperbaiki kehidupan di sekitar lokasi Monteiro Lembang, dan saatnya kita perlu bergandeng tangan untuk tetap secara bersama menjaga Nama Monteiro dan meneruskan perjuangan beliau dengan pemikiran yang sederhana akan tetapi ternyata saat ini menjadi kebutuhan, mengolah produk pangan tanpa bahan pengawet. Saatnya berbuat dan berkarya untuk sesama. #savemonteiro #lembangmonteiro,#monteirolebang.
June 8, 2016 at 1:01 pm
Terima kasih responnya, Ferry. Keturunan Monteiro membaca ini. Nuhun.
September 6, 2016 at 1:49 pm
Nice story. Eugenie was the sister from my greatgrandfather. I saw the name Adolph Monteiro yesterday during search in my heritage tree. Please dont hesitate to contact me if you have further nice information I can add to my tree.
October 13, 2019 at 7:14 am
Saya merasa sangat bangga menjadi cucu dari seorang Aldoph Bernard Monteiro… Terimakasih untuk dukungan nya
October 23, 2019 at 2:56 am
Sama-sama terima kasih..
October 31, 2021 at 6:04 am
Wkkk..kangen banget dengan Bandung….sayabpernah sekali kesana thn 2010 an……
Kpn ya kesana lagi..