Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Siapakah Chabanneau?

Ada informasi yang cukup mengejutkan ketika menelusuri jejak literatur yang menyinggung nama Chabanneau ini. Seorang antropolog, James T Siegel, menguak kabar bahwa ternyata sang penulis roman sesungguhnya adalah seorang pemeras.

Roman (3) 18 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 3) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015.

Dalam buku Siegel berjudul Fetish, Recognition, and Revolution, Chabanneau diidentifikasi sebagai seorang laki-laki. Siegel berkali-kali menyematkan kata ganti dalam bahasa Inggris “his” atau “him” kepada Chabanneau yang menunjukkan bahwa subjek yang sedang diceritakan adalah seorang laki-laki.

Menurut Siegel, cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda (yang diduga adalah nama samaran Hermine) kepada seorang pria bernama Lie Tok Sim.

Sungguh malang nasib Hilda. Demi cintanya kepada Tan Tjin Hiauw, ia rela menjalani pernikahan yang dianggap menyalahi adat sehingga hubungan kekeluargaannya diputuskan oleh keluarga Hilda. Pria yang dinikahinya pun, Tan Tjin Hiauw, bukan pria yang bersih. Setidaknya semasa berhubungan dengan Hilda pun, Tan masih pergi ke pelacuran di Suria Ijan-Tegallega dan malah memiliki gundik bernama Nyi Enom.

Saat hubungannya dengan Tan Tjin Hiauw belum jelas, Hilda mendapat surat cinta dari Lie Tok Sim. Hilda membalas surat surat-surat Lie tok Sim dengan nada yang terus menolak cinta Lie Tok Sim. Ketika hubungannya dengan Tan Tjin Hiauw agak jelas, Hilda minta surat-suratnya kepada Lie Tok Sim dikembalikan atau dibakar. Rupanya Lie Tok Sim tidak memenuhi keinginan Hilda dan malah menjual surat-surat itu kepada Chabanneau yang lalu digubah menjadi novel berjudul Rasia Bandoeng. Kepada Hilda, Lie Tok Sim berbohong dengan mengatakan bahwa surat-surat itu hilang dalam perjalanan dari Batavia ke Singapura.

Tingkah laku pemerasan yang dilakukan Chabanneau di masa lalu terungkap ketika Siegel, atas bantuan tokoh etnis Tionghoa, Myra Siddharta, mendapat sebuah transkrip wawancara Myra dengan salah seorang keponakan Hermine Tan. Sang keponakan itu mengaku pernah mendapat cerita dari ibunya bahwa kakeknya pernah diperas seseorang.

Orang tersebut mengancam akan menerbitkan surat-surat Hermine yang ia ubah menjadi sebuah roman. Walau nama-namanya disamarkan, si penulis memasang foto-foto asli lokasi kejadian yang diceritakan dalam roman, termasuk rumah Tuan Tan Djia Goan di Kebonjati. Namun karena kakeknya itu menolak membayar uang tebusan, maka roman itu pun terbit dengan judul Rasia Bandoeng. Sampai kini, jati diri Chabanneau sang penulis atau sang pemeras itu tak pernah terungkap.

Entah mengapa, tak seperti roman dan novel-novel lainnya yang muncul pada tahun 1900-an, roman Rasia Bandoeng ini relatif jarang dibahas. Di antara sedikit orang yang membahas roman ini adalah sejarawan sekaligus feminis dari Kanada, Tineke Hellwig. Ia membahas roman ini ketika meneliti pendidikan kaum perempuan dan adat Tionghoa di Hindia Belanda.

Menurut Hellwig, keberanian Tan Gong Nio atau Hilda untuk memperjuangkan cintanya kepada Tan Tjin Hiauw dianggap sebagai perjuangan perempuan menentukan pilihan hidupnya. Sosok Hilda juga sangat tegar ketika ternyata pria yang dicintainya itu tidak mencintainya dengan tulus. Sebab, Tan Tjin Hiauw hanya menginginkan harta keluarga Hilda yang saat itu kaya raya di Bandung.

Selain Hellwig, James T Siegel membahas roman ini dalam bukunya Fetish, Recognition,and Revolution yang terbit tahun 1997. Berbeda dengan Hellwig, Siegel meneliti roman ini untuk mendukung tesisnya mengenai peran penguasaan bahasa asing dalam revolusi di Indonesia.

Siegel menyoroti kepiawaian bahasa Tan Gong Nio dan juga kekasihnya, Tan Tjin Hiauw. Karena didikan ala Eropa yang mereka peroleh sejak kecil, keduanya fasih berbicara dan membaca dalam bahasa Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman. Menurut Siegel, akses kaum bumiputra terhadap bacaan-bacaan bermutu dari barat turut memengaruhi munculnya ide revolusi kemerdekaan. Peran para penerjemah seperti Tan Tjin Hiauw atau peran para kaum muda seperti Tan Gong Nio yang pintar berbahasa asing dipercaya turut mempercepat proses penyebaran ide revolusi di kalangan kaum muda saat itu.

Roman Rasia Bandoeng juga dijadikan rujukan oleh Devisanthi Tunas yang meneliti tentang permukiman orang Tionghoa pada awal abad ke-20 di Bandung. Dari roman tersebut, peneliti kelahiran Bandung itu mendapatkan gambaran tentang bentuk rumah dan detail permukiman serta tata kota Bandung pada periode itu.

Andai Tan Djia Goan asli dulu membayar ransum yang diminta oleh Chabanneau, barangkali Rasia Bandoeng tidak akan pernah terbit dan dibaca orang hingga sekarang hampir satu abad sejak diterbitkan. Entah karena deskripsi detail dalam surat-surat Hilda atau kepiawaian Chabanneau mengolah mengolah surat-surat Hilda menjadi roman beralur menarik, yang pasti Rasia Bandoeng berhasil memotret situasi masyarakat pusat Kota Bandung dari perspektif orang Tionghoa pada awal abad ke-20.

* * *

Lina Nursanty – Wartawati Harian Pikiran Rakyat

Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat pada hari Selasa, 17 Februari 2015

NB.
Sebetulnya sudah sejak lama saya menaruh perhatian pada isi roman Rasia Bandoeng yang menjadi bahasan dalam tulisan ini. Saya sudah menelusuri sebagian lokasi yang disebutkan dan mengidentifikasi beberapa tokoh dalam cerita. Namun suatu waktu saya berjumpa dengan anggota keluarga tokoh utama dalam cerita yang tampaknya kurang senang ada yang masih membahas roman yang disebutnya “engga bener itu”. Lalu saya pun kurang semangat melanjutkan penelusuran sampai kemudian muncul artikel ini di koran PR pada hari Selasa, 17 Feb 2015 lalu.

Saya memang tidak membaca langsung dari korannya melainkan dalam format pdf kiriman teman yang isinya sama persis dengan isi koran. Sejujurnya, ada sedikit rasa semangat yang kembali setelah membaca artikel-artikel ini. Teringat sejumlah obrolan dan bahasan dengan beberapa tokoh, serta sejumlah off the record. Saya bahkan berhasil menemukan lokasi makam keluarga tokoh dalam bahasan ini. Saya ingat betapa gembiranya saya ketika menemukan sebuah cungkup berisi sebuah batu besar dan beberapa nisan dengan pahatan nama-nama yang saya kenali.

Entahlah, mungkin suatu waktu nanti saya akan kembali menyusuri isi cerita dalam Rasia Bandoeng. Terus terang, daya tarik utama dari novel ini buat saya bukanlah isi ceritanya, melainkan bahwa tokoh-tokoh itu memang ada, populer, dan juga menjadi bagian menarik dari pernik sejarah Kota Bandung.