Berikut ini saya muatkan artikel bersambung tulisan rekan saya, Lina Nursanty, yang membahas sebuah roman baheula dengan latar cerita Kota Bandung di awal abad ke-20.
Selamat membaca!

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Kawin Semarga di Bandung Baheula

Pengantar:
Roman lahir untuk melukiskan perbuatan, watak, dan isi jiwa sang tokoh yang lebih banyak membawa sifat-sifat zaman. “Rasia Bandoeng” yang ditulis Chabanneau pada 1917 memotret kehidupan masyarakat Tionghoa di Bandung awal abad ke-20. Memperingati Tahun Baru Imlek 2566, wartawati Pikiran Rakyat, Lina Nursanty, membahas roman yang hampir satu abad itu. Selamat membaca.

Capture-1
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 1) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015.

“Satu Tinong Hoa Siocia yang dapat pendidikan Eropa. Pada peradatan bangsa sendiri, ia jadi lupa. Hingga berani membantah, kehendaknya ia punya bapa. Karena turut perasaannya, hal itu tidak jadi apa”. Paragraf ini dikutip dari roman “Rasia Bandoeng: Atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917” yang ditulis oleh Chabanneau dan terbit tahun 1918. Roman setebal 240 halaman itu dianggap sebagai salah satu sumber rujukan yang menggambarkan kehidupan masyarakat Tionghoa pada awal abad ke-20 di Bandung.

Sebagai penulis roman era itu, nama Chabanneau jarang disebut-sebut dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Dari namanya, terdengar mirip seperti nama orang berkebangsaan Prancis, namun sebenarnya Chabanneau adalah nama samaran dari seorang penulis yang jati dirinya tak mau terungkap. Meski menceritakan kehidupan orang Tionghoa di Bandung, roman ini diterbitkan oleh Penerbit Gouw Kim Liong dan dicetak oleh Kho Tjeng Bie & Co di Batavia tahun 1918.

Pada awal roman ini, Chabanneau mengatakan bahwa cerita ini benar-benar terjadi di Bandung saat itu. Semua penduduk Bandung telah mengetahui peristiwa itu dan menjadi buah bibir di kalangan penduduk. Saat roman ditulis, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu masih hidup di Bandung. Untuk menghindari masalah, Chabanneau menyamarkan semua nama karakter yang ada dalam ceritanya.

Roman ini menceritakan drama percintaan antara seorang siocia (sebutan untuk perempuan muda Tionghoa) bermarga Tan dengan laki-laki pujannya yang juga bermarga Tan. Dalam adat Tionghoa, perkawinan satu marga adalah sebuah hal yang tabu dan terlarang. Sebab, khawatir ada percampuran darah satu keturunan yang bisa mengakibatkan kecacatan pada turunan berikutnya.

Seperti tema-tema umum yang sering diangkat pada roman zaman itu, Chabanneau menyoroti tindakan melanggar adat yang dalam roman ini dilakukan oleh seorang perempuan muda bernama Tan Gong Nio. Perempuan yang memiliki nama barat, Hilda, ini mencintai pria yang juga bermarga Tan, yaitu Tan Tjin Hiauw. Mereka kemudian menikah tanpa restu orang tua. Keduanya memutuskan untuk kawin lari hingga punya anak.

Dalam roman tersebut, Chabanneau menggambarkan pergulatan hidup dan moral orang Tionghoa di Bandung pada periode itu. Salah satu tokoh utama dalam roman ini yaitu pria bernama Tan Djia Goan, ayah dari Tan Gong Nio atau Hilda. Tan Djia Goan adalah seorang perantau dari Tiongkok yang tiba di Surakarta atau Solo pada usianya yang masih belia.

Dari Solo, Tan Djia Goan merantau lagi ke Bandung tahun 1902 membawa istri dan dua putrinya, yaitu Tan Kaij Nio dan Tan Gong Nio. Keluarga kecil ini lalu mengambil alih sebuah toko makanan dan minuman, Provisien en Dranken, milik Jo Eng Hoeij di Pasar Baru.

Selain toko makanan dan minuman, keluarga itu juga membuka toko batik yang dikelola Nyonya Tan Djia Goan. Boleh dibilang toko batik milik Tan Djia Goan adalah toko batik Tionghoa yang terlaris. Sebab saat itu toko batik masih didominasi oleh kaum bumiputra. Belakangan, toko batik ini malah lebih maju dan mendatangkan keuntungan ketimbang Provisien en Dranken yang dikelola langsung oleh Tuan Tan Djia Goan.

Dikisahkan, keluarga Tan Djia Goan termasuk berpikiran maju. Mereka mengirim kedua putrinya ke sekolah Lagere School dan dididik ala Eropa. Tan Gong Nio bahkan pernah dikirim sekolah ke HBS di Batavia selama setahun. Karena didikan ala Eropa itu, kedua putri mereka sampai memiliki nama Eropa, yaitu Helena untuk Tan Kaij Nio dan Hilda untuk Tan Gong Nio.

Di sinilah awal mula perubahan moral dan gugatan terhadap adat yang dialami Tan Gong Nio. Si bungsu ini berbeda dengan kakaknya yang menurut ketika dinikahkan dengan seorang anak hartawan dari Solo, Tjia Sioe Loei. Tan Gong Nio atau Hilda tumbuh menjadi gadis berpikiran bebas layaknya gadis Eropa. Terutama soal pilihan jodoh, ia berpandangan setiap gadis memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Hilda memilih jatuh cinta kepada Tan Tjin Hiauw, pria semarga dengan dirinya.

Pertentangan batin kaum muda terhadap adat hampir selalu hadir dalam cerita-cerita roman pada era awal abad ke-20 di Indonesia. Roman Rasia Bandoeng lahir di era yang bersamaan ketika Balai Pustaka dibentuk Belanda pada 1917. Tema kawin paksa hampir selalu menjadi tema favorit para pujangga Balai Pustaka kala itu.

Namun, berbeda dengan roman Balai Pustaka yang hampir selalu membela pemrotes adat pada akhir ceritanya, roman Rasia Bandoeng justru membela adat, dalam hal ini adat Tionghoa untuk tidak menikah satu shee (marga). Satu kutipan paragraf di bawah ini dimuat di halaman pembuka roman tersebut. Hal ini seolah menegaskan posisi Chabanneau sebagai penulis yang mengecam tindakan Hilda karena melanggar adat Tionghoa.

“Apa yang dipikir dalam Siocia itu punya ingatan,
Nyatalah ia tidak peduli satu She atau Tan sama Tan,
Harus atau kudu dicela, Siocia itu punya perbuatan,
Enak saja ia langgar bangsa Tiong Hoa punya peradatan”.

* * *

Advertisement