Sukarno Muda Tiba di Bandung
“Ketika aku pindah dari Djawa Timur kedaerah Djawa Barat ini, Pak Tjokro telah mengusahakan tempatkumenginap dirumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihat–lihatkota, rumah mana jang akan mendjadi tempat tinggal kami selama empat tahun, begitulahmenurutperkiraanku diwaktu itu. Aku merasa hawanja dingin dan wanitanja tjantik-tjantik. Kota Bandungdan aku dapat saling menarik dalam waktu jang singkat.”
Pertama kali Sukarno menjejakkan kakinya di Kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke Technische Hooge School (THS), ia langsung jatuh cinta pada kota ini. “Kota yang menyenangkan hati,” begitu tutur Sukarno dalam buku karangan Cindy Adams, “Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Hari itu, pada akhir bulan Juni 1921, adalah awal perjalanan pemuda Sukarno di Bandung, sebuah perjalanan panjang yang kelak akan membawa bangsanya menuju kemerdekaan.
Saling menarik antara Bandung dengan Sukarno akan berlangsung paling tidak selama empat belas tahun ke depan. Di kota berhawa dingin ini Sukarno melahirkan pemikiran-pemikiran pentingnya. Bandung, seperti ditulis oleh Peter Kasenda dalam “Sukarno Muda; Biografi Pemikiran 1926-1933”, adalah pusat alam pemikiran nasionalis sekuler. Di Bandung telah berkembang pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh untuk tanah air Indonesia. Ke dalam pusat pergerakan inilah Sukarno muda menerjunkan dirinya.
Kehidupan Sukarno di Bandung dimulai dengan tinggal indekost di rumah Haji Sanusi. Seperti telah diketahui, Sukarno pernah tinggal selama hampir lima tahun di rumah Cokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam di Surabaya. Cokroaminoto juga yang telah mengatur bakal tempat tinggal Sukarno selama menjalani pendidikan di Bandung, yaitu di rumah Haji Sanusi yang terletak di Javaveemweg. Haji Sanusi adalah seorang anggota Sarekat Islam yang berkawan baik dengan Cokroaminoto. Di rumah ini pula Sukarno berjumpa dengan Inggit Garnasih yang saat itu masih berstatus sebagai istri Haji Sanusi.
Untuk sementara pasangan Sukarno-Inggit tinggal di rumah orang tua Inggit di Javaveemweg. Setelah itu mereka berpindah-pindah tempat tinggal ke beberapa lokasi di dalam kota Bandung. Awalnya ke Gg. Djaksa di sebelah selatan Regentsweg (sekarang Jl. Dewi Sartika), lalu ke Gedong Dalapan di Poengkoerweg (Jl. Pungkur), kemudian ke Regentsweg 22, sebelum akhirnya menetap di sebuah rumah panggung di Astanaanjarweg.
Sukarno datang ke Bandung dengan membawa serta istrinya, Utari, putri Cokroaminoto yang dinikahinya pada sekitar tahun 1920-1921. Namun seperti yang diakui sendiri oleh Sukarno, hubungan mereka berjalan tanpa cinta yang menyala-nyala, malah lebih mirip seperti adik-kakak. Di sisi lain, hubungan suami istri antara Inggit dan Sanusi pun tidak berjalan mulus. Jalan hidup rupanya telah ditentukan, Sukarno bercerai dengan Utari, dan Inggit bercerai dengan Sanusi. Sukarno pun melamar dan menikahi Inggit Garnasih.
Inggit Garnasih
Surat Keterangan Kawin dengan nomor 1138 bertanggal 24 Maret 1923 itu tertulis dalam bahasa Sunda. Selembar surat perjanjian yang juga ditulisa dalam bahasa Sunda menjadi pendamping surat kawin tersebut, isinya sebuah pernyataan bahwa jika dalam rentang waktu 10 bulan Sukarno menyakiti Inggit Garnasih, maka wajib bagi Sukarno untuk mengembalikan Inggit Garnasih kepada Haji Sanusi. Surat perjanjian ini dimaknai bahwa walaupun telah merelakan dan saling bercerai, namun Haji Sanusi tetap ingin menjaga Inggit.

Pernikahan pasangan ini berlangsung sangat sederhana. Sukarno mengenakan pakaian putih-putih dengan jas tutup dan peci beludru hitam, sedang Inggit memakai kebaya bunga-bunga dan kain bercorak lereng warna putih. Saat itu usia Inggit Garnasih 35 tahun dan Sukarno 21 tahun. Sukarno masih berstatus sebagai mahasiswa tahun kedua di Technische Hooge School Bandoeng, tujuan utamanya adalah meraih gelar insinyur. Tetapi Inggit melihat gejala lain, cita-cita Sukarno jauh lebih besar dari pada sekadar menjadi sarjana. Seperti yang diceritakan Sukarno kepada penulis biografinya, Cindy Adams:
“Masa jejakaku sudah berada di belakangku. Tugas hidupku terbentang di depanku. Pemikiran awal yang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemukan bentuknya di Surabaya, tiba-tiba keluar menjadi kepompong di Bandung dan berkembang dari keadaanya itu menjadi seorang pejuang politik yang sudah matang. Dengan Inggit berada di sampingku, aku melangkah maju memenuhi perjanjianku dengan nasib.”
Untuk sementara pasangan Sukarno-Inggit tinggal di rumah orang tua Inggit di Javaveemweg. Setelah itu mereka berpindah-pindah tempat tinggal ke beberapa lokasi di dalam kota Bandung. Awalnya ke Gg. Djaksa di sebelah selatan Regentsweg (sekarang Jl. Dewi Sartika), lalu ke Gedong Dalapan di Poengkoerweg (Jl. Pungkur), kemudian ke Regentsweg 22, sebelum akhirnya menetap di sebuah rumah panggung di Astanaanjarweg.

Untuk menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan Sukarno, Inggit Garnasih yang memang sudah biasa mendapatkan nafkah sendiri yang akan lebih banyak mengambil peran. Inggit membuat dan menjual bedak, menjadi agen sabun cuci, cangkul, dan parang. Sementara itu sambil kuliah, Sukarno sangat aktif dalam pergerakan, intensif berdiskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan lain seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, atau Drs. Sosrokartono.
Tidak hanya berdiskusi dengan tokoh-tokoh, Sukarno juga aktif menyelenggarakan kursus-kursus politik untuk masyarakat kebanyakan. Kegiatan ini dilakukannya sebagai gerakan membangkitkan kesadaran sosial dan politik di kalangan rakyat. Setiap kunjungan ke luar kota, bahkan bila itu kunjungan liburan atau keluarga, akan dimanfaatkan oleh Sukarno untuk membicarakan soal-soal politik dengan bahasa yang disederhanakan.
“Dari Cigolentang ke Sukapasir, dari Bojonggede ke Ujungberung, ke Cisondari, dari Cimahi ke Padalarang. Dari rumah setengah batu pindah ke bioskop yang tertutup. Pidato dan pidato saja kerja suamiku, menggembleng kader-kader politik.” Begitu kenang Inggit dalam kisah romannya, “Kuantar ke Gerbang” yang ditulis oleh Ramadhan K.H. (Sinar Harapan, 1981).
Biro Insinyur Sukarno & Anwari
Sukarno lulus sebagai insinyur sipil dari THS dan menjalani wisuda pada tanggal 25 Mei 1926. Pada ijazahnya disebutkan bahwa spesialisasinya adalah pekerjaan jalan raya dan pengairan. Pada tahun itu juga Sukarno bersama seorang teman kuliahnya, Ir. Anwari, mendirikan sebuah biro teknik yang berkantor di sekitar Alun-alun Bandung. Sukarno memang telah menetapkan sikap, tidak akan berkompromi dengan kekuasaan pemerintah kolonial, karena itu ia menolak beberapa tawaran pekerjaan, di antaranya untuk bekerja di pemerintah kota atau menjadi pengajar di sekolahnya.

Melalui biro tekniknya, Sukarno melaksanakan beberapa pekerjaan di bidang bangunan. Ia juga bekerja sebagai juru gambar membantu seorang arsitek terkenal di Bandung, Prof. Wolff Schoemaker. Sukarno sangat menghormati Schoemaker sebagai gurunya di THS dan karena rasa hormat ini pula Sukarno tak kuasa menolak permintaan Wolff Schoemaker untuk membuat rancangan gedung Kabupaten Bandung yang terletak di belakang Pendopo. Selain itu, Sukarno juga membantu Schoemaker dengan menjadi juru gambar dalam perombakan total bangunan Hotel Preanger pada tahun 1928.
Melalui biro tekniknya, Sukarno & Anwari, Sukarno membangun sejumlah bangunan di kota Bandung. Pada umumnya berupa rumah tinggal untuk kalangan pribumi kelas atas. Tapi seperti yang dikenang oleh Inggit Garnasih, Sukarno tidak banyak membicarakan pekerjaannya ini. Bahkan tidak tampak membanggakan hasil-hasil pekerjaannya itu juga. Sukarno dan kawan-kawannya tetap saja membicarakan soal sosial politik dalam setiap kesempatan.


***
May 13, 2016 at 6:30 pm
setau saya pasangan Sukarno-Inggit tinggal di rumah orang tua Inggit di Javaveemweg itu sekarang jalan Lengkong kecil 28, trims.
May 14, 2016 at 5:24 am
Saya belum pernah dengar keterangan alamat yang di Jl. Lengkong Kecil 28 itu. Info yang ini dari hasil wawancara penulis Ramadhan KH dengan Ibu Inggit untuk pembuatan roman-biografis “Kuantar ke Gerbang”. Di sisi lain, Javaveemweg pada masa kolonial itu ya yang di ujung utara Jl. Braga, paralel dengan rel kereta api, sampe sekarang masih ada jalannya. Dinamakan begitu, karena di ujung jalannya memang ada gudang Javaveem (zaman kemerdekaan sering disebut Japapem). Btw makasih respon dan info itu..
May 13, 2016 at 6:34 pm
Lengkong, Kleine 28