Ini soal nisan lagi.
Sejak disinggung oleh Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), nisan yang satu ini hanya beredar sebagai kabar burung saja tanpa pernah ada catatan dari seseorang yang benar-benar melihatnya.
Haryoto Kunto menyampaikan cerita nisan ini dengan mengutip buku karya Reitsma & Goodland tahun 1921, disebutkannya bahwa bukti sejarah paling otentik tentang kehadiran pertama orang Belanda di daerah sekitar Bandung hanya ditunjukkan oleh sebuah batu nisan dengan nama Anna Maria de Groote, anak Sersan de Groote, yang meninggal pada hari Rabu tanggal 28 Desember 1756, pada jam 24.00. Disebutkan usia Anna Maria 1 tahun 3 bulan 4 hari. Nisan ini ditemukan di Dayeuhkolot.
Di bagian awal bukunya Haryoto Kunto juga bercerita tentang orang kulit putih pertama yang menjadi warga Tatar Bandung (Bandoenger), yaitu Kopral Arie Top pada tahun 1741. Kehadiran kopral ini di wilayah Bandung sebetulnya sebagai orang buangan atau hukuman akibat pelanggaran yang dilakukannya di Batavia. Wilayah Bandung yang ketika itu masih banyak hutan dan penuh dengan rawa dianggap cocok sebagai tempat pembuangan. Tapi ya itu, tidak ada jejak atau bukti fisik tentang keberadaan Kopral Arie Top di wilayah Bandung pada masa itu.
Kembali ke Anna Maria. Cerita nisan ini sempat terlupakan begitu saja dalam waktu cukup lama sampai saya menemukan buku tulisan Reitsma dan Hoogland tersebut beberapa tahun lalu. Langsung saja saya cari bagian halaman yang menyebutkan soal nisan Anna Maria itu. Walaupun tidak menyebutkan lokasi nisan secara jelas, namun waktu itu saya pergi juga ke Dayeuh Kolot untuk mencari. Informasi yang saya miliki memang hanya cerita bahwa nisan yang saya cari berada di permakaman yang terletak di sebelah timur Alun-alun. Nisan berada di bawah sebuah pohon beringin. Dengan informasi yang sangat minim ini, saya memang tidak berhasil menemukan nisan Anna Maria. Lalu terlupakan lagi.
Cerita nisan Anna Maria datang lagi ketika saya mendapatkan buku “Bandung and Beyond” karangan Richard & Sheila Bennett (1980): A few years ago there was also a gravestone dated 1756 proclaiming that on Tuesday evening, 28th December at 12 midnight, Anna Maria de Groote died, aged 1 year 3 months and 4 days. A short life, but long remembrance. Dari caranya menulis, sepertinya pasangan Richard & Sheila ini memang melihat sendiri nisan itu.
Bagi saya buku Richard & Sheila Bennett tidak memberikan informasi baru soal nisan Anna Maria, namun membuat saya semakin penasaran saja pada nisan dengan angka tahun sebelum kemunculan kota Bandung ini. Setiap kali ada kesempatan ke Dayeuhkolot atau pun bila kebetula lewat, saya tetap teringat pada nisan itu dan menyempatkan mencari lokasi makam-makam tua. Dari buku Sejarah Bandung Selatan yang baru saya dapatkan akhir tahun 2013 lalu, saya berharap dapat menemukan informasi tambahan soal nisan Anna Maria, tapi ternyata buku ini sama sekali tidak menyinggung soal itu.
Dua minggu lalu, setelah disibukkan oleh “penemuan” nisan Letnan Tionghoa, Oeij Bouw Hoen, di Babakan Ciamis dan membaca tulisan teman saya, Ariyono Wahyu, tentang makam-makam di Bandung, saya diingatkan lagi pada nisan Anna Maria de Groote. Kali ini dengan teknologi internet, saya menemukan satu artikel dari The Jakarta Post yang menyebutkan nama Anna Maria, lalu satu artikel lagi dari sebuah koran lokal. Hanya satu artikel saja yang membahas agak khusus soal nisan tua itu.
Sungguh di luar dugaan, ternyata nisan yang selama ini ingin saya lihat itu berada hanya sekitar satu kilometer saja dari tempat tinggal saya, di Museum Sri Baduga. Nisan batu andesit seberat 300 kilogram dengan ukuran 125 x 60 x 15 sentimeter ini sudah mengalami perjalanan panjang. Konon, dari Dayeuhkolot nisan batu ini dipindahkan ke kompleks makam yang baru dibuka oleh Kotapraja Bandung.
Bila benar begitu, berarti pemindahan ini terjadi pada sekitar 1906, karena di tahun itu Kotapraja Bandung membuka kompleks permakaman baru yang disebut Europeesche Begraafplaats di Kebon Jahe. Masyarakat umum menyebutnya Kerkhof Kebon Jahe atau kadang disebut ringkas sebagai kerkhof saja. Saat itu Kebon Jahe memang satu-satunya kompleks permakaman orang Eropa di Bandung setelah permakaman lama di Sentiong, Banceuy, dibongkar dan dipindahkan ke lokasi barunya di pinggir kota.
Kemudian, pada akhir tahun 1973, pemerintah kota Bandung merencanakan pembangunan suatu kompleks olah raga di atas lokasi kerkhof ini, akibatnya seluruh makam yang ada harus dipindahkan ke daerah lainnya. Sebelum pemindahan dijalankan, pemerintah sudah lebih dulu menyebarkan pengumuman tentang rencana ini, termasuk ke negeri Belanda, sehingga banyak pihak keluarga yang datang dan memindahkan sendiri makam-makam kerabatnya. Ada juga yang membawa pulang nisan keluarganya ke Belanda, sebagian lagi mengikut saja dipindahkan ke lokasi baru di Kerkhof Pandu.
Menurut satu versi cerita, salah satu nisan tua ternyata tidak mendapatkan pengakuan dari orang-orang Belanda. Nisan dengan nama Anna Maria ini lalu dibawa oleh salah seorang yang ikut membongkar makam dan mengaku masih memiliki hubungan kekerabatan dengan De Groote ke rumahnya di Maribaya. Rupanya tidak seluruh anggota keluarganya mengetahui soal nisan ini sehingga ada yang sempat menggunakannya sebagai alas untuk mencuci pakaian. Entah sejauh mana kebenaran cerita ini.
Versi lainnya mengatakan bahwa nisan Anna Maria ini cukup lama berada di rumah keluarga Eddy M. Ament. Pada waktu itu salah satu anggota keluarga mereka, T.H. Ament, adalah Kepala Catatan Sipil Kotamadya Bandung. Tetapi tidak ada keterangan bagaimana batu nisan ini bisa berada di rumah keluarga itu dan kapan diserahkan ke museum?
Sementara masih banyak informasi simpang siur, terutama sekali juga tentang siapakah Sersan De Groote yang anaknya wafat di Dayeuhkolot pada tahun 1756 ini, saya sudah cukup senang karena hari ini dapat melihat langsung nisan Anna Maria de Groote.
Isi nisan sebetulnya sudah saya ketahui dari terjemahan atau pun kutipan-kutipan, tetapi ini adalah teks yang saya salin langsung dari nisan itu, karena itu juga nama Anna sesuai yang terbaca, Annaa, dengan dua “a” di akhir. Guratan teks pada nisan sudah agak samar sehingga perlu juga sedikit meraba-raba pahatannya untuk menebak arah huruf:
Anno 1755
Den 24 September is geboren
op Woensdag avond te 8 uuren
den dogter van den
Sergeand Jan de Groote
met naame Annaa Maria
en overleden
op Dinsdag avond
ten 12 uuren
den 28 December 1756
Oudt synde 1 jaar
3 maande en 4 daagen
April 26, 2014 at 12:41 am
Jadi Bang sejauh ini tahun 1756 atau paling tidak 1741, ya? Saya menelaah salah satu versi cerita rakyat sasakala Sirah-Ranca sebuah tempat di Banjaran yang menyebutkan kedatangan pasukan tentara VOC di tatar Bandung pada abad ke-17, yang masih saya ragukan karena belum memperoleh keteranagn yg meyakinkan. Lagipula saya belum menemukn versi lain dari cerita rakyat tersebut.
December 19, 2014 at 3:10 pm
read through some of your articles, really intresting. FYI I was reliably told a long long time ago that bandung was founded by an orang Mardiyker called Julian de Silva in seventeenth century. In those days Poruguese was the lingua france is Batavia so it’s thought Bandung is a word of portuguese origin or meaning
Maaf saya kurang pandai dlm bhs indoensia, jarang pakai.
Cinaski – The last Mardijker
January 23, 2016 at 10:57 am
Dulu sy pernah lihat artikel di koran pr mengenai “nisan kafir”…disebut demikian karena nisan tsb milik non muslim…dan disebutkan di artikel bahwa nisan tsb mmg dipakai sbg papan cucian…sempat sy foto ketika br ditemukan (utk tugas mata kuliah seni rupa itb :)awal th 2000)…sayang lupa negatif film nya dmana…sayang lg waktu itu tdk sy cari lbh jauh mengenai nama yg ada di nisan 😦
January 23, 2016 at 2:57 pm
Saya malah baru tahu nisan itu pernah ada yang tulis sebelumnya. Memang nisan yang sama ya?