Berikut ini cerita singkat tentang balandongan yang pernah menjadi bagian sejarah kota Bandung.
Cerita awalnya pernah saya twitkan melalui akun @mooibandoeng pada tanggal 21 September 2013.
Ini cerita dari zaman pembukaan sebuah kawasan di Bandung yang bernama Kampung Jawa dan Babakan Surabaya. Letaknya di sebelah timur kota Bandung, cukup jauh dari stasiun kereta api Bandung.
Kedua kampung ini dihuni oleh para pendatang dari Jawa Timur, terutama Surabaya dan Ngawi. Mereka ini para pekerja di pabrik senjata dan mesiu yang baru dibangun di Kiaracondong (1895). Ketika itu, pabrik-pabrik senjata dan sejumlah instansi militer memang dipindahkan dari beberapa daerah untuk dipusatkan di Bandung.
Nah yang sering menjadi masalah adalah transportasi kereta api yang saat itu jadwal tibanya di Stasiun Bandung selalu lewat tengah malam. Rombongan buruh asal Jawa Timur ini biasanya langsung melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Kiaracondong melalui jalan-jalan setapak.
Kebiasaan ini ternyata mengundang kemunculan begal-begal (perampok) di wilayah yang sering dilalui, daerah yang masih sepi, yaitu di jalur jalan lama di sekitaran Karees. Begal paling terkenal namanya Maling Darda. Hanya mendengar nama begal ini saja orang-orang sudah takut duluan.
Penginapan murah belum banyak tersedia saat itu. Akibatnya, seringkali buruh-buruh ini terpaksa menginap di pelataran stasiun, menggelar tikar, berjejer2. Beberapa pedagang melihat fenomena ini sebagai kesempatan baru, mereka membuat “balandongan,” semacam los pasar, bale atau amben.
Bahan membangun balandongan adalah bambu atau kayu dengan ukuran 4×4 meter. Satu bale cukup buat 4 orang ngampar, dan biasanya masih cukup ruang pula buat menaruh barang-barang bawaan.
Karena banyak peminat, balandongan menjadi tempat singgah yang cukup populer. Beberapa kompleks balandongan pernah hadir di sekitaran stasiun kereta api Bandung, terutama di daerah Babatan, Suniaraja, Kebonjati, sekitar Pasar Baru, Kebonjeruk, dan Banceuy. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya dulu kawasan sekitar kompleks balandongan. Banyak warung dibuka untuk menyediakan berbagai kebutuhan para penyewa balandongan. Warung-warung ini biasanya buka sampai 24 jam.
Pada tahun 1916, balandongan pernah punya peranan cukup penting. Saat itu di Bandung sedang diselenggarakan Kongres Nasional Sarekat Islam yang pertama. Ada ribuan wakil Sarekat Islam yang datang ke Bandung untuk mengikuti kongres itu. Tentu tak mudah menampung tamu sebanyak itu. Nah, balandonganlah yang banyak berjasa menampung tamu-tamu itu. Selain di balandongan, tamu-tamu juga dapat menggunakan ruang-ruang sekolah pribumi yang saat itu sengaja diliburkan,
Tapi itu semua cerita masa lalu saja karena pastinya semua balandongan itu sudah tidak ada lagi bekasnya sekarang. Selain karena zaman tidak mendukung, juga bahan yang digunakan memang tidak bertahan lama. Sekarang balandongan sudah berganti rupa dengan hotel-hotel murah, wisma, sampai hotel-hotel dari kelas biasa sampai yang paling mewah sekalipun tersedia di Bandung.
Nuhun ka @A13Xtriple yang sudah membantu mengumpulkan kembali twit-twit ini :-))
November 17, 2013 at 3:01 pm
asal katanya ti mana nya kang? kalau di kehutanan aya kenal istilah ‘blandong’: buruh kasar pengangkut kayu. Akhir-akhir ini sering diasosiasikan dengan pencuri kayu. Biasanya terdapat di hutan-hutan jati yang dikelola Perhutani yang banyaknya di daerah Jawa Tengah dan Timur. Apa ada hubungannya ya kang? Sala, kenal 🙂
November 17, 2013 at 5:17 pm
Kamus Sunda karangan Danadibrata (2006), menyebutkan b(e)landong berasal dari kata bahasa Jawa yang biasa dipakai untuk menyebutkan kegiatan menebang pohon jati yang sudah cukup umurnya.
Kayu-kayu jati hasil tebangan ini biasanya dikumpulkan di suatu tempat (halaman atau teras) terbuka yang sifatnya sementara (tidak permanen). Tempat pengumpulan kayu-kayu ini kemudian disebut belandongan atau balandongan.
Kata balandongan juga biasa dipakai dengan pengertian emperan atau semacam tempat menerima tamu di halaman rumah dalam sebuah kegiatan seperti perayaan atau pernikahan, dll (Danadibrata).
Kamus Sunda-Inggris Hardjadibrata (2003) juga menyebutkan pengertian yang sama, semacam saung tempat menerima tamu dalam kegiatan hajatan, atau tempat mengadakan hiburan di depan rumah dalam suatu perayaan tertentu.
Kamus Sunda-Inggris Jonathan Rigg (1862) hanya memberikan arti balandongan sebagai tempat terbuka untuk penyimpanan kayu jati. Sebaliknya, Kamus Basa Sunda LBSS (2007) menyebutkan balandongan hanya sebagai tempat menerima tamu atau mengadakan pertunjukan dalam suatu perayaan.
November 18, 2013 at 2:14 pm
aih…mantap kang Ridwan…hatur nuhun pisan. 🙂
November 19, 2013 at 3:44 pm
Sami-sami..
December 4, 2013 at 12:15 am
Kang Ridwan, punten abdi panasaran, aya titisan ti batak nya ? Tapi meni nyunda pisan. Hatur nuhun kang
December 4, 2013 at 3:30 am
Sanes titisan deui, Kang. Ori keneh Batak-na oge :-))
Nuhun tos sindang.