Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 2:
Nama-nama Jalan

Mencatat Sudut Kota 031113b
Poster oleh @pamanridwan.

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian pertama CATATAN NGALEUT KAWASAN TRUNOJOYO. Bagian pertama adalah rangkaian perjalanan serta catatan sejarah ringkas dan situasi yang terlihat, sedangkan pada bagian ini saya ingin memberikan penjelasan tentang nama-nama yang hadir di kawasan ini.

Tetapi sebelum melanjutkan, saya ingin menyampaikan isi pikiran yang selama ini sering mengganggu, sebetulnya bagaimana memilih dan menentukan nama-nama tokoh yang dipergunakan sebagai nama jalan di kawasan ini? Atau pertanyaan semacam kenapa nama jalan Sultan Agung atau Diponegoro misalnya, ditempatkan di ruas jalan utama dibandingkan dengan nama-nama seperti Geusan Ulun, Pangeran Kornel, atau Wiraangunangun ? Bahkan nama bupati seperti Martanagara yang punya banyak jasa bagi kota ini kenapa malah disematkan pada jalan kecil yang jauh di sebelah selatan kota?

Kawasan Trunojoyo-b

Baiklah, saya langsung ke nama pertama di kawasan ini, yaitu Jl. Sultan Agung d/h Heetjansweg. Ruas jalan Sultan Agung tidak terlalu panjang, namun lebih lebar dibanding jalan-jalan lain di kawasan Trunojoyo. Letaknya juga strategis karena menjadi salah satu ruas jalan utama yang menghubungkan Dago dengan kompleks vila di kawasan ini,

Nama jalan ini cukup terkenal di Bandung karena beberapa hal, yang pertama adalah lokasi sebuah sekolah terkenal, yaitu St. Aloysius, yang didirikan sebagai sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada tahun 1930. Popularitas lain didapatkan lebih belakangan dengan berdirinya beberapa distro dan disusul beberapa kafe/restoran di ruas jalan ini.

Sultan Agung atau resminya, Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, adalah Sultan Mataram ke-3  yang memerintah antara 1613-1645. Dalam kekuasaannya ia berhasil membuat Mataram menjadi kerajaan terbesar dan terkuat di Nusantara pada masa itu. Segera setelah memerintah, Sultan Agung memimpin sendiri pasukannya menaklukkan Wirasaba, ibukota Majapahit. Kemudian berturut-turut menjatuhkan Surabaya, Lasem, Pasuruan, dan Sukadana (Kalimantan). Melalui salah satu perwira andalannya, Bupati Kendal Tumenggung Bahureksa, Madura berhasil pula dijatuhkan. Nama Tumenggung Bahureksa juga dijadikan nama jalan di sini, dahulu namanya Gelriastraat.

Di sebelah barat, Sultan Agung hendak menaklukkan Banten dengan terlebih dulu menyerang VOC di Batavia. Berulangkali penyerangan dilakukan, namun gagal. Penyerangan pertama ke Batavia tahun 1628 terdiri dari dua gelombang yang masing-masing dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandureja. Jumlah pasukannya 10.000 orang. Serangan ini gagal. Sultan Agung mengirim algojo untuk menghukum paraa pemimpin pasukan yang gagal ini. Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandureja dihukum mati, sementara menurut pihak VOC, mereka menemukan 744 mayat yang sebagian besar tanpa kepala.

Penyerangan berikutnya melibatkan kepemimpinan Adipati Ukur dan Adipati Juminah dengan jumlah pasukan sebesar 14.000 orang. Strategi penyerangan berikutnya termasuk dengan cara membendung dan mengotori aliran sungai Ci Liwung yang mengakibatkan munculnya wabah kolera. Gubernur Jendral Jan Pieterszoen Coen ikut menjadi korban wabah dan meninggal. Penyerangan Adipati Ukur juga gagal, namun tokoh ini menolak hukuman mati dari Sultan Agung.

Nama Adipati Ukur juga dijadikan nama jalan berbentuk setengan lingkaran di sebelah timur Jl. Dago. Ruas jalan ini baru dibangun menjelang tahun 1930. Nama lamanya terbagi dua, sebelah selatan adalah Beatrix Boulevard sedangkan bagian utaranya Ring Boulevard.

Sultan Agung juga dikenal membuat karya sastra, yaitu naskah mistik berjudul Sastra Gending. Ia menggabungkan sistem kalender Islam dan Hindu menjadi Kalender Jawa Islam. Menjelang wafatnya, ia membangun pusat permakaman raja-raja Mataram dimulai dari dirinya, Imogiri. Satu hal yang cukup menarik berkaitan dengan Priangan adalah pengaruh kekuasaannya yang masih tampak melalui pembedaan tingkatan bahasa (halus-kasar) padahal pada masa pemerintahannya Sultan Agung justru menetapkan bahasa bagongan bagi kalangan pejabat istana dan bangsawan untuk menghilangkan kesenjangan di antara mereka.

Masih di ruas jalan Sultan Agung, terdapat satu jalan lain bernama Jl. Geusan Ulun. Ruas jalan pendek berbentuk setengah lingkaran ini tampaknya baru dibangun menjelang tahun 1930, dulu namanya Brabantiastraat. Jalan ini berawal dan berujung di Jl. Sultan Agung juga, jalannya tidak terlalu lebar dan karena itu terasa lebih asri dan teduh dibanding Jl. Sultan Agung. Pada tahun 1980-an jalan ini terkenal karena keberadaan sebuah stasiun radio swasta yang masih namanya masih cukup populer sampai sekarang, Radio Oz.

Prabu Geusan Ulun (1558-1601 M) adalah raja Sumedanglarang ke-9 yang bertahta pada 1578-1601 M. Ibunya, Satyasih atau Ratu Inten Dewata (lebih populer dengan gekar Ratu Pucuk Umun) adalah raja Sumedanglarang ke-8. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Raden Solih (Ki Gedeng Sumedang atau lebih populer dengan gelar Pangeran Santri), cucu dari Pangeran Panjunan. Pangeran Santri kemudian menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai Raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata I dan memerintah pada 1530-1578 M.

Pada masa ini Kerajaan Sunda mengalami kejatuhan ke tangan Kesultanan Surasowan Banten. Namun mahkota kerajaan, Mahkota Binokasih, sempat diserahkan kepada Raja Sumedanglarang sebagai simbol pewarisan bekas wilayah Kerajaan Sunda. Prabu Geusan Ulunlah yang menerima pewarisan ini. Wilayah kekuasaan Sumedanglarang saat itu seluas Jawa Barat sekarang tidak termasuk Banten dan Jakarta yang dibatasi oleh sungai Ci Sadane, dan Cirebon dengan batas sungai Ci Pamali.

Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun, pusat kerajaan sempat dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuhluhur, sebuah kabuyutan di atas bukit. Pemindahan ini berkaitan dengan peperangan antara Sumedanglarang dengan Keraton Panembahan Ratu Cirebon.

Bagian tentang Geusan Ulun ini saya ambil dari artikel lama saya. Selengkapnya bisa baca di
https://mooibandoeng.wordpress.com/2013/05/23/sekilas-geusan-ulun-1558-1601/

Dari sini kita lanjutkan ke Jl. Trunojoyo (d/h. Wenckebachstraat).
Ruas jalan ini membelah kawasan yang dijadikan daerah ngaleut hari ini, karena itu namanya dipakai buat judulnya. Di bagian selatan Jl. Trunoyo umumnya selalu ramai dan padat karena merupakan salah satu pintu keluar St. Aloysius yang berada di Jl. Sultan Agung. Kemudian di bagian ini berdiri sejumlah distro yang cukup diminati oleh banyak kalangan. Belakangan, di ujung selatan, pas belokan ke Jl. Riau, berdiri pula mal Riau Junction yang walaupun gedung utamanya menghadap Jl. Riau namun pintu keluarnya berada di Jl. Trunojoyo.

Pada masa Mataram berada dalam pemerintahan Sultan Amangkurat I, sang putra mahkota, Pangeran Adipati Anom, merasa tidak puas namun tak berani menyatakan ketidakpuasannya secara terbuka. Ia hanya secara diam-diam memohon bantuan seorang ulama dan kerabat keraton Mataram, Raden Kajoran alias Panembahan Rama. Raden Kajoran memperkenalkan Adipati Anom kepada menantunya, Trunojoyo, putra Raden Demang Melayakusuma.

Trunojoyo menyiapkan laskar rakyat Madura yang tidak senang karena berada dalam penguasaan Mataram. Gerakan pertamanya adalah menculik dan mengasingkan Panembahan Cakraningrat II, seorang bangsawan Madura yang dijadikan menantu oleh Sultan Agung dan diberikan wilayah kekuasaan di Madura bagian barat.

Trunojoyo berhasil mengambil alih kekuasaan di Madura dan menyatakan diri sebagai raja merdeka di Madura barat. Trunojoyo juga melakukan kerjasama dengan Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian dari Makassar di Panarukan yang mendukung Sultan Hasanuddin dalam menghadapi VOC. Dukungan bagi Trunojoyo juga didapatkan dari Panembahan Giri di Surabaya.

Dengan laskar gabungan dari Madura, Makassar, dan Surabaya, Trunojoyo berhasil menaklukkan Mataram. Ada dugaan bahwa setelah keberhasilan itu Trunojoyo tidak mau menyerahkan kepemimpinan kepada Adipati Anom sehingga Sang Adipati berbalik memihak Mataram. Namun Trunojoyo berhasil mendesak Amangkurat I yang kemudian melarikan diri hingga ke Tegal, meninggal dan dimakamkan di Tegal Arum. Adipati Anom segera dinobatkan sebagai pengganti dengan gelar Amangkurat II.

Amangkurat II bekerjasama dengan VOC yang mengerahkan pasukan Aru Palakka dari Bugis dan pasukan Kapitan Jonker dari Maluku untuk menyerang Trunojoyo dan Karaeng Galesong. Pada tahun 1677, Gubernur Jendral VOC, Cornelis Speelman dkk berhasil mengepung pertahanan Trunojoyo hingga menyerah kepada Kapitan Jonker di lereng Gunung Kelud. Trunojoyo diserahkan kepada Amangkurat II di Bantul yang menjatuhkan hukuman mati pada tanggal 2 Januari 1680.

Di bagian dalam kawasan Gempol terdapat sebuah nama jalan, yaitu Jl. Wiraangunangun . Pada masa kolonial namanya adalah Hollandiastraat. Kompleks jalan ini agak terpisah dari daerah luarnya karena berada di lokasi terdalam kawasan Gempol. Ada tiga jalan ruas keluar dari Jl. Wiraangunangun , dua ruas menuju Jl. Tirtayasa, dan satu ruas menuju Jl. Trunojoyo. Di bagian dalam kompleks terdapat lapangan rumput yang hijau dan bersih dengan pohonan tinggi di bagian pinggir-pingirnya. Di lapangan inilah @KomunitasAleut berulangkali berkumpul dan berdiskusi pada akhir perjalanannya.

Tumenggung Wiraangunangun adalah gelar yang diberikan kepada Bupati Bandung pertama, yaitu Ki Astamanggala, seorang umbul dari Cihaurbeuti. Pengangkatan Ki Astamanggala menjadi bupati berkaitan dengan reorganisasi pemerintahan Priangan oleh Sultan Agung setelah “pemberontakan” yang dilakukan oleh Dipati Ukur. Tujuannya adalah menjaga stabilitas wilayah ini.

Sultan Agung membagi Priangan (tidak termasuk Sumedang dan Galuh) menjadi tiga kabupaten, masing-masing Bandung, Parakan Muncang, dan Sukapura. Tiga bupati yang diangkat adalah Tumenggung Wiraangunangun untuk Bandung, Tanubaya untuk Parakan Muncang, dan Ngabehi Wirawangsa (atau Tumenggung Wiradadaha dengan julukan Dalem Sawidak) untuk Sukapura. Ketiga bupati ini diangkat secara bersamaan berdasarkan Piagem Sultan Agung yang diterbitkan pada tanggal 9 Muharam Taun Alip (1641 M).

Tumenggung Wiraangunangun kembali dari Mataram ke Tatar Ukur. Di Timbanganten, bupati mendapatkan 200 cacah dan bersama rakyatnya yang lain membangun Krapyak, di daerah sekitar pertemuan Ci Tarum dan Ci Kapundung, sebagai ibukota Kabupaten Bandung. Pusat pemerintahannya kala itu dinamai Bumi Ukur Gede.

Walaupun tidak ada catatan resmi, namun diduga wilayah administratif Kabupaten Bandung saat itu meliputi Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, sampai Kuripan, dan Tanahmedang. Wilayah ini kira-kira sama dengan wilayah Tatar Ukur ketika berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda-Pajajaran dan kemudian Sumedanglarang.

Pada masa inilah pengaruh Mataram terasa sangat kuat sekali di wilayah Priangan, terutama pada sistem pemerintahan dan penggunaan berbagai simbol kebesaran dan kekuasaan. Pengaruh dan kekuasaan bupati sangat besar dengan adanya hak-hak istimewa seperti pewarisan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang atau barang, hak mendapatkan tenaga kerja, hak berburu, hak menangkap ikan, hak mengadili, dlsb. Pada umumnya kekuasaan bupati dapat berlangsung seperti layaknya raja. Pengaruh Mataram di Priangan berlangsung hingga tahun 1677 dan 1705 melalui perjanjian antara VOC dengan Mataram yang menyerahkan wilayah Priangan kepada VOC.

Berikutnya adalah Jl. Aria Jipang yang pada masa kolonial bernama De Jonglaan. Saat ini Jl. Aria Jipang menghubungan antara Jl. Diponegoro dengan Jalan Layang Pasupati. Ujung utara jalan ini dahulu sering dipakai sebagai tempat parkiran delman. Di situ memang terdapat sebuah taman rumput kecil dengan pohonan yang rindang. Siapakah Aria Jipang?

Mengenali Aria Jipang, kita mesti kembali dulu ke pendirian Kerajaan Demak oleh Radeh Patah (Fattah) pada tahun 1475. Inilah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Raden Patah memiliki tiga orang istri. Dari istri pertama, putri Sunan Ampel, lahirlah Raden Surya dan Raden Trenggana. Dari istri kedua, putri dari Randu Sanga, lahir Raden Kanduruwan, dan dari istri ketiga, putri Bupati Jipang, lahir Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa.

Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518, kekuasaan dilanjutkan oleh Pangeran Surya bergelar Pangeran Sabrang Lor. Kemudian Pangeran Sabrang Lor meninggal pada tahun 1521, terjadi perebutan kekuasaan antara Raden Kikin dan Raden Trenggana. Raden Kikin tewas dibunuh di tepi sungai oleh putra sulung Raden Trenggana, yaitu Raden Mukmin alias Sunan Prawata. Dari sini lahir julukan Sekar Seda ing Lepen yang berarti bunga yang gugur di sungai bagi Raden Kikin.

Putra Raden Kikin, Aria Penangsang yang bergelar Adipati Jipang, memendam dendam panas atas kelakuan sepupunya itu. Ia membalas dengan mengirimkan orang suruhan untuk membunuh Sunan Prawata. Menantu Raden Trenggana, Pangeran Hadiri, juga ikut dibunuh. Kerajaan Demak lalu terpecah menjadi Pajang di bawah pimpinan Adipati Adiwijaya dan Jipang di bawah Aria Penangsang. Kelak dalam sebuah pertarungan yang tidak seimbang, Aria Penangsang berhasil dilukai oleh Demang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan yang menjadi sekutu Adipati Pajang, menggunakan tombak keramatnya, Kyai Plered. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1549. Setelah ini, pusat kerajaan lalu dipindahkan ke Pajang dan Demak dijadikan sebuah kadipaten. Demang Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senopati kelak mendirikan kesultanan Mataram dan menjadi raja pertamanya pada rentang tahun 1587-1601.

Selanjutnya ada nama jalan Adipati Kertabumi di sebelah barat Jl. Aria Jipang. Pada masa kolonial jalan ini bernama Nicolaasmaeslaan. Yang kurang jelas dari nama jalan Adipati Kertabumi adalah tokoh mana yang sebenarnya dimaksud? Karena paling tidak ada dua Adipati Kertabumi yang namanya cukup menonjol.

Adipati Kertabumi III atau dikenal juga dengan gelar Adipati Panatayuda (nama ini juga dijadikan nama jalan) adalah tokoh yang telah berhasil membantu Sultan Agung mengusir Pangeran Banten, Nagaragan, dari wilayah Karawang. Nama sebenarnya Adipati Kertabumi III adalah R.A.A. Wirasuta, Panembahan Galuh (Ciamis). Sultan Agung lalu menempatkan Adipati Kertabumi III sebagai wakilnya di wilayah Karawang. Namun ternyata Adipati Kertabumi III meninggal saat berada di Galuh, sebagai penggantinya Sultan Agung mengangkat Singaperbangsa sebagai penguasa Karawang dengan gelar Adipati Kertabumi IV melalui piagam pelat kuningan Kandang Sapi Gede. Pengangkatan ini sekaligus dianggap sebagai titik kelahiran Kabupaten Karawang.

Sebuah ruas jalan yang memotong Jl. Trunojoyo di bagian tengah adalah Jl. Tirtayasa atau pada masa kolonial bernama Frisiastraat. Sultan Ageng Tirtayasa adalah penguasa Banten antara 1651-1683. Nama Tirtayasa didapatkan setelah ia mendirikan keraton di dusun Tirtayasa (wilayah Kabupaten Serang sekarang).

Tritayasa melakukan perlawanan terhadap Belanda serta Amangkurat I dari Mataram, karena itu sultan ini turut membantu Trunojoyo dan Karaeng Galesong dalam penyerangan Mataram. Tirtayasa juga menolak melakukan perjanjian perdagangan dengan VOC yang dianggap akan merugikan Banten.

Sayang, salah satu putranya, Sultan Haji memihak VOC. Karena itu Tirtayasa bersama putranya yang lain, Pangeran Purbaya, menggempur Sultan Haji. VOC mengirim bantuan untuk Sultan Haji di Sorosowan dengan pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditangkap pada bulan Maret 1683, sementara Pangeran Purbaya dan istrinya, Raden Ayu Gesik Kusuma melarikan diri ke Gunung Gede.