Papan nama itu selalu saja mengusikku, “Cikembang”.
Entah sudah berapa sering melewati lintasan jalan dengan petunjuk arah menuju Cikembang.
Tapi tentu saja plang nama seperti itu saya temukan hanya bila sedang berada di kawasan Pangalengan saja, dan pastinya berhubungan dengan perkebunan. Cikembang memang kawasan lama perkebunan kina di kaki sebelah barat Gunung Kendang.
Tapi bukan itu yang mengusikku.
Cikembang sudah cukup lama terpatri di kepalaku justru karena sebuah bacaan lama dengan judul Boenga Roos dari Tjikembang.
Saya tidak ingat persis kapan dan di mana saya tau tentang Boenga Roos dari Tjikembang, mungkin cuplikan sebuah disertasi tentang sastra Tionghoa (Sapardi Djoko Damono?) atau mungkin dari buku kajian tentang sastra Melayu-Tionghoa (Claude Salmon?), entahlah. Benar-benar lupa.
Tapi kemudian saya memang membaca cerita Boenga Roos dari Tjikembang dalam ejaan baru yang termuat dalam buku jilid kedua Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (KPG, 2001). Cerita itu ditulis Kwee Tek Hoay dan terbit tahun 1927. Waktu itu saya penasaran betul, di mana Cikembang yang disebutkan dalam judul cerita itu.
Kemudian saya tahu, Cikembang dalam cerita Bunga Roos ternyata merupakan perkebunan karet yang terletak di perbukitan antara Gunung Salak dan Gunung Gede. Wilayahnya termasuk bagian Sukabumi. Berarti tidak ada hubungan dengan kebun kina di kaki Gunung Kendang ini.
Tapi selama menyukai kegiatan jalan-jalan, Sukabumi termasuk wilayah yang kurang sering saya jelajahi. Belum pernah rasanya tinggal cukup lama di Sukabumi agar punya waktu mengelilingi alam dan wilayah perkebunannya yang luas itu. Berbagai tempat di sana-sini tentu sudah pernah saya datangi, tapi masih belum membuat saya merasa cukup kenal Sukabumi. Suatu waktu nanti saya akan luangkan waktu tersendiri untuk Sukabumi.
Kapan mau luangkan waktu satu-dua minggu ke Sukabumi? Masih belum terjawab.
Sementara itu, plang penunjuk arah “Cikembang” saat ini berada di depan mata.
Baiklah, mari lihat ada apa di sana.
Jalanan aspal yang kurang bagus meliuk-liuk seperti menjauhi kompleks Gunung Windu-Wayang-Bedil yang terlihat utuh. Lalu sebuah lapangan. Jalan makadam. Akhirnya perbukitan dengan puing-puing bangunan tua bekas pabrik.
Sudah tidak ada pabrik.
Tinggal tembok-tembok saja.
Bangunan-bangunan tua sebagian besar sudah rubuh.
Beberapa rumah kayu hunian para pegawai perkebunan masih berdiri utuh tapi rompal di sana-sini. Bekas rumah administrateur tampak kusam. Rupanya sudah lama tak dipakai lagi.
Sekarang isinya hanya karung kulit-kulit kina.
Sudah jadi gudang.
Kolam di depan rumah hijau keruh.
Lalu mana pohon-pohon kina?
Sepanjang mata mengarah ke lereng gunung di belakang itu, semua sudah ladang.
Ladang, ladang, ladang.
Tidak ada kina.
Pak Ayi, salah satu pegawai yang bertugas jaga berbaik hati menunjukkan tunggul-tunggul kina dari abad lalu. Kina baru dikembangkan pada tunggul-tunggul ini.
Setelah diambil kulitnya, dikirim ke Bukittunggul untuk proses selanjutnya.
Lantas perkebunan seluas ini?
Dulu seluruh lereng gunung itu sudah seperti hutan kina saja.
Itu unggulan kita.
Sekarang sudah seret.
Kina sudah tidak menjanjikan.
Lihat di depan itu, puluhan ribu bibit kopi akan segera menggantikan.
Baiklah, perkebunan kina akan segera lenyap dari bumi Cikembang.
Tak mudah membayangkan seperti apa suasana dulu saat masih berhutan kina.
Di mana lokasi-lokasi yang nyaman untuk duduk-duduk saja memandangi perkebunan?
Kabut turun dengan cepat di sini.
Saya kira lereng gunung ini cocok untuk adegan-adegan sedih antara Aij Tjeng dan Marsiti,
dua tokoh utama dalam Boenga Roos dari Tjikembang.
Kabut juga pudar dengan cepat di sini.
Mungkin cocok juga bagi cerita kebahagiaan Bian Koen, calon menantu Aij Tjeng,
yang menikahi Roosmina, putri Aij Tjeng dari Marsiti.
Cerita dan keberadaan putri Aij Tjeng dari Marsiti rupanya tidak pernah diketahui siapa pun selain Marsiti. Ia meninggalkan Aij Tjeng dalam keadaan hamil.
Belasan tahun kemudian, putrinya Roosmina, baru dapat berjumpa ayahnya, Aij Tjeng.
Biarpun bukan cerita luar biasa buat masa sekarang ini,
saya tetap ingin mengutip penggalan cerita sedih
dari novel yang ditulis tahun 1927 ini:
Ia berdoea djalan bergandeng tangan dengen roepa jang sedih,
kerna itoe pemisahan jang bakal dateng membikin papat hatinja.
Soearanja boeroeng tjitantjoeing jang tida brentinja berboenji
di tenga-tenga kebon karet jang lebet membikin Aij Tjeng djadi
semingkin sedih hingga dirasaken hatinja ampir meledak,
maka ia tjoba bikin goembira dengen bersoeit lagoe Tipperary,
Stars Spangled Banner, dan laen-laen lagoe kagirangan,
tapi semoea gagal. Achirnja ia berkata :
“Tjobalah Marsiti, kaoe menjanji aken hiboerken hati.”
Marsiti jang blon perna tampik perminta’an atawa prentahnja
Aij Tjeng, laloe menjanji dengen doeara aloes dan perlahan
satoe lagoe Soenda jang sedih, dengen ini sairan :
Soesoekan djalan tjileuntjang,
Dipengkong make kamalir;
Isoekan koering rek leumpang,
Pageto ngan bati watir.
Tjileuntjang tjai tjileuntjang
Tjileuntjang dipake ngarih;
Isoekan koering rek leumpang,
Pageto moal papanggih.
Tjileuntjang tjai tjileuntjang,
Tiwoean di ka Kopo-keun;
Di mana koering geus leumpang,
Patjoean rek mopohokeun.
Aij Tjeng banting kaki, tarik tangannja Marsiti, sambil berkata :
“Soedah, Marsiti, djangan menjanji lebih djaoe, kerna kaoe
poenja sairan membikin hatikoe djadi seperti tertoesoek piso.
Sekarang akoe dapet pikiran, lebih baek oeroengkan sadja itoe
niatan aken menikah, kerna akoe merasa tida sanggoep
tanggoeng ini kasedihan lantaran moesti berpisah dari kaoe.”
Oh Aij Tjeng adalah administrateur di Rubber Onderneming Goenoeng Moelia, dan Marsiti adalah Nyai yang harus dilepaskannya karena pemilik perkebunan, Liok Keng Djim, meminta Aij Tjeng menikah dengan putrinya, Gwat Nio. Ayahanda Aij Tjeng, Oud-Kapitein Oh Pin Lo, yang sedang turun nasib turut memaksa agar Aij Tjeng mau menikahi Gwat Nio.
November 13, 2013 at 6:50 am
di cikembang sukabumi,emng banyak tangkal karet bang ridwan.
November 13, 2013 at 7:20 am
Iya. Saya belum sempat aja berkeliling kawasan perkebunan di sana :-((
December 4, 2014 at 3:38 am
“Biarpun bukan cerita luar biasa buat masa sekarang ini…” <— Bukan cerita luar biasa pagimane Bro? Kalo gw punya sepuluh jempol, sepuluh2nya gw angkat buat ini cerita.
Kagum betul gw, kok bisa-bisanya orang taon 1920an karang cerita semenggugah jiwa dan seindah "Boenga Roos dari Tjikembang".
Kutipan favorit gw di ini cerita: "Barang siapa blon perna makan rotinja di dalem kesedian, siapa blom perna di tenga malem (?)edeng dalem kesoenjian, di atas pembaringan terlindes oleh kadoeka'an dan tangisan, ia tida bisa kenalken kaoe, oh Jang Maha Besar Toehan".