Braga 1937 (3)

Jalan Braga sebagai salah satu tujuan wisata di Kota Bandung tampaknya semakin populer belakangan ini. Di banyak situs internet berupa weblog dapat dengan mudah kita temui tulisan-tulisan ringan mengenai ruas jalan yang panjangnya hanya sekitar setengah kilometer ini. Kebanyakan tulisannya bercerita tentang kesan para penulisnya berjalan-jalan di kawasan Braga. Sebagian lain sedikit lebih serius dengan menyampaikan juga data-data sejarah yang berkaitan dengan perkembangan modern Jalan Braga sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini.

Minat utama para penulis blog yang sempat mengunjungi Jalan Braga ini adalah suasana tempo dulu yang masih dapat terlihat dari sebagian kecil bangunan yang berjajar di sepanjang Jalan Braga. Tak sedikit dari mereka membawa peralatan seperti kamera foto atau perekam video untuk mengabadikan berbagai obyek yang menarik perhatian. Kadang di lokasi atau gedung tertentu para pengunjung terlihat sampai memperhatikan berbagai detail yang masih tersisa. Untuk diketahui, para penulis blog ini tak sedikit yang berasal dari luar kota, termasuk dari luar negeri.

Yang juga cukup menarik adalah fenomena banyaknya kelompok remaja yang mengunjungi Jalan Braga terutama pada akhir minggu dan hari-hari libur. Sejak pagi hingga menjelang malam, berbagai kelompok remaja tampak silih berganti berjalan-jalan atau berfoto bersama di sudut-sudut jalan Braga. Obyek foto paling populer tentunya gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial yang sebagian tampak masih kokoh berdiri dan menyisakan keindahan masa lalunya. Tak jarang pula bisa kita saksikan berbagai kegiatan pemotretan untuk keperluan fashion atau pernikahan, dan bahkan untuk pembuatan film, dilakukan di sepanjang Jalan Braga dengan latar gedung-gedung tuanya.

Beberapa film nasional yang diproduksi belakangan ini memang menggunakan Jalan Braga sebagai salah satu lokasi shooting mereka. Belum lagi perekaman video dokumenter baik untuk keperluan pribadi ataupun lembaga tertentu baik dari dalam maupun luar negeri. Tak terhitung pula artikel dan foto tentang Jalan Braga yang sudah dimuat di berbagai majalah, freemagz, koran, dan berbagai terbitan lainnya. Sebuah iklan televisi swasta nasional pun sepenuhnya mengambil gambar di Jalan Braga. Tak pelak lagi, Jalan Braga memang merupakan salah satu daya tarik wisata yang cukup penting di Kota Bandung.

Jalan Braga sebelum abad ke-20 hanyalah jalanan becek dan berlumpur yang sering dilalui oleh pedati pengangkut kopi dari koffie pakhuis (di lokasi Balaikota sekarang) yang menuju Grote Postweg (Jalan Asia-Afrika sekarang). Itulah sebabnya di masa lalu Jalan Braga dikenali dengan nama karrenweg atau pedatiweg. Menjelang berakhirnya abad ke-19, Jalan Braga mengalami berbagai perkembangan seiring dengan pembangunan Kota Bandung secara umum.

Memasuki dekade pertama abad ke-20, kawasan Braga perlahan menjadi semacam pusat perbelanjaan bagi warga Eropa yang tinggal di sekitar Bandung, terutama para Preangerplanters yang biasanya berdatangan ke Bandung setelah seminggu penuh mengelola perkebunan mereka di luar kota Bandung. Para pekebun yang datang ini ada yang dari Jatinangor, Sumedang, Pangalengan, Ciwidey, Rajamandala, dan berbagai kawasan perkebunan lainnya yang tersebar di Priangan. Mereka sengaja datang untuk berbelanja, bersantai dan menghibur diri dengan berbagai fasilitas yang tersedia di Bandung saat itu.

Pertunjukan musik, rumah-bola, bioskop, dan toko adalah tempat-tempat utama yang mereka kunjungi. Sambil bersantai mereka juga berbelanja berbagai keperluan sehari-hari mereka di toko serba ada yang terdapat di ujung selatan Jalan Braga, yaitu Toko de Vries (sebelah barat Hotel Homann). Untuk menikmati suasana, atau pertunjukan musik, tersedia sebuah tempat favorit, Societeit Concordia (sekarang kompleks Gedung Merdeka). Tempat ini dikenal mahal dan bergengsi oleh karenanya tidak semua warga Eropa juga dapat menikmatinya. Bagi kaum pribumi lebih mengenaskan, karena untuk sekadar melihat kegiatan di dalamnya pun tidak dapat dilakukan secara terang-terangan, paling-paling dengan pandangan sambil lalu saja.

Untuk memenuhi kebutuhan sandang, para preangerplanters mendapatkannya dari sejumlah toko di ruas Jalan Braga yang saat itu sudah dikenal dengan nama Bragaweg. Berbagai mode pakaian, perhiasan, dan aksesoris tubuh lainnya tersedia di toko-toko yang mulai bermunculan di ruas Bragaweg. Toko pertama yang berdiri adalah toko kelontong milik Hellerman, yang kemudian disusul oleh berbagai toko dan perusahaan lain dengan andalan jualan yang yang lebih spesifik seperti de Concurrent untuk perhiasan, Au Bon Marche untuk pakaian, dan Maison Bogerijen untuk makanan. De Concurrent hingga sekarang masih dapat ditemui di Jalan Braga, dan barang yang ditawarkannya pun relatif masih sama, perhiasan. Sedangkan Maison Bogerijen sudah berganti rupa namun masih tetap beroperasi sebagai restoran dengan nama Braga Permai.

Winkelstraat-Bandoeng-1900-1940

Bandung memang tidak memiliki kompleks kota tua seperti di Jakarta atau Semarang. Namun mengingat usia kota Bandung yang juga relatif muda dibandingkan dengan Jakarta atau Semarang misalnya, maka tak heran bila peninggalan-peninggalan tua berupa bangunan di Bandung tak banyak yang berumur lebih dari satu abad. Dari jumlah yang sedikit ini, sebagian besar tampaknya kurang terurus, dalam keadaan kosong dan tampak kumuh. Sangat disayangkan bila penelantaran seperti ini dibiarkan berlangsung terus sehingga secara perlahan gedung-gedung itu rusak dimakan waktu, dan tentunya memunculkan alasan-alasan untuk kemudian merubuhkannya sekalian, seperti yang sudah sering terjadi.

Dengan mudah dapat diperhatikan bahwa kondisi seperti ini juga terjadi di Jalan Braga. Sebagai salah satu tujuan wisata, Jalan Braga sudah cukup lama kehilangan perhatian dan ditelantarkan dalam keadaan hidup segan, mati tak mau. Beberapa gedung dibiarkan kosong dan tidak terawat. Belum lagi kepadatan lalu-lintas yang membuat Jalan Braga sering dalam keadaan macet dan bising sehingga tidak nyaman untuk dilalui, apalagi dijadikan sebagai tempat bersantai.

Sebagai upaya revitalisasi, saat ini Pemerintah Kota Bandung sedang melakukan pembenahan Jalan Braga yang dimulai dengan penggantian jalan aspal dengan susunan batuan andesit. Penggantian badan jalan ini tak lepas dari kritik, terutama karena kualitas jalan aspal di Jalan Braga termasuk yang sangat baik. Seorang pemilik toko di Braga bahkan mengatakan belum pernah mengalami sedikit pun kerusakan jalan di Braga sejak 25 tahun terakhir ini. Sedangkan penggunaan bahan batu andesit pun dianggap tak memiliki relevansi sejarah. Sebelumnya, harapan pernah digantungkan pada kehadiran Braga Citywalk, namun tampaknya hingga saat ini Braga Citywalk belum memberikan pengaruh yang signifikan pada pengembangan Jalan Braga. Lokasi tempat Braga Citywalk sendiri merupakan bekas lokasi pabrik perakitan mobil yang pertama di Hindia Belanda, Fuchs & Rens. Pabrik yang didirikan pada tahun 1919 ini juga merupakan pabrik perakitan mobil mewah Mercedes Benz yang pertama di Indonesia.

Kembali ke awal tulisan ini, maka bila menimbang besarnya minat masyarakat yang tumbuh belakangan ini, diharapkan revitalisasi Jalan Braga bisa lebih memperhatikan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, dengan menjadikan Jalan Braga sebagai kawasan pedestrian, tentunya mesti diperhatikan pula obyek-obyek yang akan ditawarkan kepada para calon pengunjung. Para pedestrian pasti tak ingin mendapati sebuah kompleks wisata dengan gedung-gedung kosong dan kumuh atau pusat pertokoan yang senyap karena tak banyak obyek yang cukup menarik hati sehingga tak mampu membuat pengunjung bertahan berlama-lama dan berbelanja di kawasan itu.

Sejumlah usulan tentang revitalisasi Jalan Braga sudah pernah diungkapkan masyarakat melalui berbagai media, salah satunya adalah dengan menjadikan Jalan Braga sebagai sentra FO, distro, atau pusat perbelanjaan yang bergengsi seperti di masa lalu. Atau mencontoh yang sudah dilakukan oleh beberapa kota besar di Indonesia, dengan menjadikannya sebagai kawasan wisata kota tua.

Sebagai kawasan wisata kota tua, maka penampilan sebagian besar gedung perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar dapat membawa pengunjung ke suasana khas yang hanya bisa didapatkan di Jalan Braga. Gedung-gedung yang kosong dan kumuh diperbaiki dan difungsikan kembali agar dapat benar-benar hidup di siang hari mengimbangi suasana malam yang saat ini sudah lebih dulu dinamis oleh keberadaan beberapa pub, café, dan tempat hiburan lainnya. Bila karena alasan teknis tertentu, gedung tak bisa difungsikan, paling tidak gedung tersebut bisa berada dalam keadaan terawat dan bersih. Mungkin baik pula bila di depan gedung-gedung tertentu dibuatkan plakat besi atau marmer dengan keterangan ringkas tentang sejarahnya, atau paling tidak, tahun pendirian dan nama arsiteknya.

Namun, apapun yang direncakan untuk revitalisasi Jalan Braga, pasti memerlukan rancangan yang matang dan kerja sama yang melibatkan banyak pihak seperti arsitek, sejarawan, pengusaha, tokoh masyarakat, dan yang jangan dilupakan, para pemilik toko dan bangunan yang ada di Jalan Braga. Karena merekalah para pegiat sehari-hari yang melangsungkan kehidupan di Jalan Braga dan yang akan berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dan para pengunjung wisata kota tua.

P1260051

P1260049

Advertisement