Melanjutkan Cerita Munada – Bagian 1, maka yang berikut ini agak berbeda pada beberapa nama tokoh, detil tanggal, dan peristiwa.

Ini kisahnya:

Raden Naranata adalah seorang Jaksa Kepala di Bandung. Ia memendam dendam kepada Asisten Residen Nagel karena saudaranya, Mas Soeraredja, pernah dipenjarakan oleh Nagel dan Bupati Bandung dengan tuduhan telah meracuni orang. Naranata juga menyimpan kebencian terhadap Bupati Bandung, Raden Wiranatakoesoemah,yang pernah menolak lamarannya untuk menikahi putrinya.

Dikuasai oleh kebencian, Naranata membuat rencana untuk membunuh Nagel dan bupati. Dikumpulkannya beberapa kawan, di antaranya ada Raden Wirakoesoemah, Rana Djibja, Ba Kento, Raden Padma, Raden Sasmita, dan seorang pedagang Tionghoa-Muslim yang bernama Moenada. Hampir setiap malam komplotan ini berkumpul di rumah Raden Naranata.

Pada tanggal 25 Desember 1845, komplotan ini memutuskan untuk membunuh asisten residen pada malam itu juga. Mereka bersepakat menunjuk Moenada sebagai pelaksananya. Komplotan ini tahu betul bahwa Moenada juga menyimpan dendam kepada Nagel yang pernah memarahi dan memukulnya. Pemukulan oleh Nagel disebabkan oleh sikap Moenada pada saat Nagel menagih hutang-hutang Moenada yang belum dibayarnya.

Rencananya, Moenada bersama Raden Wirakoesoemah akan mendatangi rumah Nagel, sedangkan Rana Djibja, Ba Kento, Natawidjaja, Raden Padma, dan Raden Sasmita, bertugas membuat keonaran dengan cara membakar pasar di pusat kota. Pada jam 12 malam, komplotan ini beranjak dari rumah Naranata untuk menjalankan aksinya, sementara Naranata tetap tinggal di rumahnya.

Semua anggota komplotan berbekal golok di tangan. Hanya Moenada saja yang berbekal sebilah keris. Masing-masing bergegas menuju tempat-tempat yang telah ditentukan. Antara jam 2-3 dini hari itu, pembakaran pasar telah berhasil dilakukan oleh Rana Djibja dan kawan-kawan. Asisten residen yang mendapat kabar segera berangkat menuju lokasi kebakaran.

Moenada dan Raden Wirakoesoemah membuntuti Nagel ke arah pasar. Di dekat pasar, Moenada menyerang dan berhasil membunuh Nagel. Setelah itu, Moenada berlari, namun terhadang oleh Lurah Pasar yang memergoki perbuatannya. Moenada langsung menerjang lurah, tetapi lurah lebih gesit, ia dapat mengelak sambil menghunjamkan kerisnya ke perut Moenada. Moenada tersungkur. Sebelum lurah mendekatinya, Moenada masih dapat bangkit dan secepat kilat melarikan diri ke dalam kegelapan.

Raden Wirakoesoemah yang terus menguntit, melihat bahwa Moenada terluka parah. Ia segera membawa Moenada ke rumah Raden Naranata. Raden Wirakoesoemah memberitahu bahwa Moenada telah menikam Nagel. Tapi saat itu Wiramkoesoemah tidak tahu bahwa Nagel telah tewas di tempat.

Pagi hari, 26 Desember 1845, Raden Naranata meminta istrinya membuatkan makanan dan kopi untuk mengadakan sedekahan yang akan dihadiri oleh teman-temannya, yaitu Rana Djibja, Raden Wirakoesoemah, Natawidjaja, Ba Kento, Mas Satjakoesoemah, Raden Poespa Yoeda, Raden Padma, dan Raden Sasmita. Raden Poespa Yoeda memimpin doa dan acara sedekahan itu. Moenada tidak dihadirkan, ia tetap tinggal bersembunyi dalam sebuah kamar.

Raden Naranata bingung juga melihat keadaan Moenada yang terluka parah. Terpikir olehnya untuk membunuh Moenada saja, sekaligus untuk menghilangkan jejak pembunuhan terhadap Nagel. Malam itu, 26 Desember 1845, Mas Satjakoesoemah dan Anga Praja datang ke rumah Raden Naranata untuk menjemput Moenada. Mereka membawa Moenada dalam sebuah peti dan menggotongnya ke rumah Raden Wirakoesoemah.

Pada hari Minggu malam, 28 Desember 1845, Raden Naranata dan teman-temannya berkumpul di rumah Wirakoesoemah. Raden Naranata memerintahkan Rana Djibja untuk membunuh Moenada. Mereka mengeluarkan Moenada dari dalam peti persembunyian, lalu memegangnya beramai-ramai. Raden Wirakoesoemah memegang rambutnya, Natawidjaja dan Satja Dipoera memegang tangannya. Ba Kento dan Mas Satjakoesoemah memegang kakinya, sementara Naranata menginjak punggungnya. Rana Djibja lalu memenggal lehernya.

Setelah pemenggalan, kepala Moenada dibawa ke kebun bambu di sebelah timur rumah Raden Wirakoesoemah, lalu ditanam di sana. Kemudian badannya dibungkus tikar, diikat, dan dibawa ke kali Cikapoendoeng. Di sebuah tempat bernama Leuwi Ronggeng, tubuh Moenada ditenggelamkan dan ditindih oleh batu-batu besar.

Pada hari Jumat, 2 Januari 1846, Ba Arab yang tinggal di sekitar Cikapoendoeng berjalan pulang dari Nagri. Di kali yang dilaluinya ia melihat ada bangkai orang berpakaian putih-putih, tanpa kepala. Keesokan harinya, saat sedang berjalan menuju Bodjongsoang, di tikungan Djandjreng kali Cikapoendoeng, ia mendengar orang-orang menyebut tentang bangkai manusia yang tersangkut di akar kayu dalam keadaan sudah membusuk. Ba Arab melihat bangkai itu dan yakin, bangkai itulah yang sudah dilihatnya kemarin.

Pada hari yang sama dengan Ba Arab, Natawidjaja juga dalam perjalanan pulang dari Nagri. Dari sebuah jembatan dilihatnya bangkai orang tanpa kepala tersangkut di batu. Natawidjaja yakin itu bangkai Moenada, lalu ditariknya bangkai itu agar terhanyut kembali. Rupanya, malam sebelumnya, Kamis 1 Januari 1846, telah terjadi banjir yang cukup besar di Cikapoendoeng, karena itu tubuh Moenada dapat terhanyut dari tindihan bebatuan.

Raden Naranata yang terus berusaha menghilangkan jejak, membuat skenario lain. Ia meminta jurutulisnya, Raden Wiria, agar menyamar dan mengaku sebagai Moenada. Moenada samaran ini lalu berjalan keluar masuk kampung untuk mengesankan orang bahwa Moenada masih hidup. Selain itu, Raden Naranata juga memanggil orang-orang yang kemungkinan tahu peristiwa yang sebenarnya terjadi, Raden Naranata mengancam dengan pedang sampai melakukan penyiksaan-penyiksaan. Di antara yang dipanggil ini adalah Kamid dan ayahnya, Ba Kamid. Raden Naranata juga memberi mereka uang agar bila dipanggil untuk bersaksi dalam persidangan tidak mengatakan apapun yang mereka ketahui.

Singkat cerita, muslihat Raden Naranata akhirnya terbongkar (bisa dibaca di sini), ia ditangkap dan dipenjarakan di Surabaya. Namun upaya Raden Naranata masih belum berakhir. Ia ternyata membuat surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda yang isinya berupa penjelasan-penjelasan bahwa ia tidak terlibat dalam pembunuhan Asisten Residen Nagel, dan bahwa pembunuh yang sebenarnya, Moenada, masih hidup. Raden Naranata juga menyudutkan Bupati Wiranatakoesoemah dengan mengatakan bahwa bupati itu adalah teman Moenada.

Tulisan ini saya ringkas dari sebuah makalah dari Seminar Sejarah Nasional III (1981) karya Iman Hilman dengan judul “Peristiwa Pembunuhan Asisten Residen Nagel Tahun 1845.

Berdasarkan catatan belakang pada makalah ini, tampaknya Iman Hilman hanya menggunakan naskah Babad R.A.A. Martanagara dan berbagai berkas pemeriksaan berangka tahun 1849, di antaranya atas nama Natawidjaja, Nyai Raden Sarimantri (istri Raden Naranata), Ba Arab, Rana Djibja, Kamid, dan surat dari Raden Naranata kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda (1847), yang masih terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia.