Bandoeng en Omstreken 1882

Salah satu yang bikin rame Kota Bandung adalah kegiatan pariwisata. Sudah sejak lama Bandung menjadi salah satu tujuan wisata di Pulau Jawa. Dalam banyak buku catatan perjalanan seperti  yang pernah saya sampaikan, misalnya dalam kisah tiga kali kunjungan Raja Thailand ke P. Jawa pada tahun 1871, 1896, dan 1901. Lalu ada cerita Charles Walter Kinloch dalam bukunya Rambles in Java and the Straits (1852) atau dua buku karya  Ponder, Javanese Panorama dan Java Pageant, dan tentunya masih banyak buku lain.

Sudah sejak lama Bandung menarik perhatian para pelancong, baik yang datang secara khusus ataupun mampir dalam suatu rangkaian perjalanan keliling. Satu orang yang melihat peluang ini dengan lebih jauh adalah Asisten Residen Pieter Sijthoff.  Pada tahun 1898 ia mengajak banyak pihak berdiskusi, di antaranya bupati, kontrolir dan pengusaha2 perkebunan (Preangerplanters), para pengusaha perhotelan dan pemilik toko, serta tokoh2 masyarakat baik Eropa maupun pribumi. Hasilnya adalah pembentukan suatu lembaga swasta yang dinamakan Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken dengan ketuanya Residen Priangan sendiri, Mr. C.W. Kist.

Tugas utama lembaga ini adalah menyelenggarakan dan mengelola kegiatan2 pariwisata di Bandung dan sekitarnya. Walaupun ada keterbatasan teknologi saat itu, namun mereka bekerja dengan cepat. Dalam tahun itu juga diterbitkan sebuah buku, Reisgids voor Bandoeng en Omstreken met Garoet yang dicetak oleh perusahaan De Vries & Fabricius (lokasi kantornya di ujung selatan Jl. Braga sekarang).  Buku promosi pariwisata ini disebarluaskan ke banyak tempat melalui toko2, hotel2, restoran, atau di stasiun2 kereta api.

Salah satu bentuk kegiatan pariwisata yang ditawarkan adalah berjalan2 baik dengan berjalan kaki ataupun dengan menggunakan delman. Ada dua rute utama yang sudah mereka rancang saat itu, masing2 dengan Societeit Concordia sebagai pusatnya.

Rute 1 :

Societeit Concordia – Alun2 – Kantor Pos – Pecinan – Pasar Baru – Gedung Keresidenan – Cicendo – Pabrik Kina – Pieterspark – Gudang Garam – pada titik ini ada dua pilihan, kembali ke Societeit Concordia melalui Jalan Braga atau melanjutkan mengelilingi Bandung dengan meneruskan perjalanan – Jalan Bungsu – Kejaksan Girang – Kaca2 Wetan – Jalan Raya Pos – bekas Tangsi Militer – Jalan Lengkong – Cikawao – Ciateul – Langensari – Tegallega – Societeit Concordia.

Rute 2 :

Societeit Concordia – Jalan Raya Pos – Kaca2 Wetan – Cibeunying (daerah Cicadas sekarang) – Kiaracondong – Buahbatu – Societeit Concordia.

Siapa yang menjalani kedua rute tersebut dapat dikatakan telah mengelilingi seluruh wilayah Bandung saat itu.

Wisata ini ternyata cukup mendapatkan banyak peminat, terutama dari kalangan pengusaha perkebunan. Mereka berkeliling menggunakan kereta kuda yang dihias khusus untuk keperluan wisata ini. Kusirnya pun menggunakan pakaian yang khas, sehingga orang2 yang melihat segera tahu bahwa para penumpang kereta itu adalah orang2 yang sedang berwisata. Kiat ini cukup jitu, karena dengan begitu, para peserta wisata bisa sekalian pamer kepada khalayak bahwa mereka adalah orang2 yang mempunyai banyak uang.

Selain dua rute wisata dalam kota itu, dibuat juga rute wisata ke bagian utara kota Bandung. Antara lain ke Curug Dago, Pemandian Cihampelas, Lembang, atau Tangkubanparahu. Sementara ke wilayah selatan bisa mendatangi daerah kota lama atau Dayeuhkolot, Pangalengan, dan Ciwidey. Selain Curug Dago dan Pemandian Cihampelas yang dapat dikunjungi dengan menggunakan delman, semua tujuan lain di daerah luar kota Bandung ini harus ditempuh dengan menggunakan mobil sewaan.  Pengusaha persewaan mobil terdapat di Jl. Kejaksaan.

Kegiatan lain yang berpengaruh besar terhadap perkembangan kepariwisataan di kota Bandung saat itu adalah Pacuan Kuda di atas tanah milik Bupati Wiranatakusumah IV di Tegallega. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Preanger Wedloop Societeit dan berlangsung pada bulan akhir bulan Juli hingga awal bulan Agustus setiap tahunnya. Jumlah pengunjungnya bisa mencapai ribuan.

Menjelang pacuan, seluruh kota akan tampak sibuk. Hotel2 menyediakan fasilitas terbaiknya untuk para tamu yang datang dari luar daerah. Kuda2 yang akan dilombakan biasanya dipamerkan dulu ke masyarakat, tempatnya di Alun2. Saat pembukaan ada korps musik tentara dan korps musik kabupaten yang turut memeriahkan acara. Selain itu juga ada kelompok2 sirkus yang unjuk kemahiran mereka.

Jalan2 utama di dalam kota, terutama dari Alun2 sampai Tegallega sudah dipasangi banyak umbul2 berwarna-warni. Para pengunjung dan peserta lomba tidak hanya dari sekitar Bandung, banyak juga yang datang dari luar kota bahkan dari luar negri. Rombongan pengusaha yang datang dari luar kota biasa menginap di Grand Hotel Homann, setiap malam mereka berpesta dansa. Kesibukan ini juga menjadi ajang pamer pakaian dan harta benda di antara para pengusaha dan keluarganya.

Seantero kota menjadi begitu hidup menjelang dan selama acara pacuan kuda. Sekolah2 diliburkan. Namun pada saat yang sama juga terjadi banyak hal buruk seperti perjudian dan pencopetan. Malah menurut Haryoto Kunto, usai perhelatan besar ini ada banyak kasus perceraian yang terjadi. Sebabnya adalah karena kalah judi, suami2 yang tak mampu memenuhi keinginan istri2 untuk membeli baju dan perhiasan mahal untuk pamer, dan banyaknya terjadi perselingkuhan yang memanfaatkan keriuhan suasana saat itu.

Ya itulah sedikit cerita pengembangan kepariwisataan di Bandung tempo dulu.

Salah satu buku panduan wisata di Bandung tempo dulu.
Salah satu buku panduan wisata di Bandung tempo dulu.
Advertisement