Bandung tempo dulu yang sering diceritakan dalam bingkai nostalgia yang bikin hati nyaman itu ternyata tak selalu secerah dongeng. Ada sisi-sisi kelam yang kadang menjadi episode utama dalam rangkaian kisah itu. Salah satunya adalah kisah Pasar Baru.
Pasar Baru yang kita kenal sekarang ini baru berdiri pada tahun 1906, berbarengan dengan kelahiran Gemeente Bandoeng (Pemerintah Kota). Sebelumnya, pasar utama kota Bandung berada di belakang kompleks Kepatihan (Jalan Kepatihan sekarang) dan sering disebut Pasar Ciguriang karena letaknya memang berada di daerah yang bernama Ciguriang.
Pasar ini terbakar habis pada hari Jumat dinihari, 26 Desember 1845. Akibatnya, selama puluhan tahun kota Bandung tidak memiliki pasar utama sampai lahirnya pemerintahan kota yang dalam waktu cepat membangun berbagai fasilitas umum, termasuk mendirikan sebuah pasar di sebelah barat Alun-alun. Masyarakat menyebutnya Pasar Baru.
Peristiwa terbakarnya Pasar Ciguriang ternyata bukanlah peristiwa kebakaran biasa. Di belakangnya berkelebat bayangan persekongkolan dan kejahatan yang melibatkan tokoh-tokoh penting dan terhormat di kota Bandung saat itu. Tokoh yang paling terkenal di balik terbakarnya Pasar Ciguriang, dikenal dengan nama Munada.
Cerita tentang Munada ditulis orang paling sedikit dalam empat buah naskah, masing-masing: 1) Wawacan Carios Munada, 2) Sadjarah Timbanganten, 3) Kitab Pantjakaki, dan 4) Babad Raden Aria Adipati Martanagara. Dari keempat naskah ini, hanya Wawacan Carios Munada yang bercerita sepenuhnya tentang peristiwa Munada. Ketiga naskah lainnya menceritakan peristiwa Munada sebagai satu bagian kecil saja dari keseluruhan buku.
Nah, siapakah Munada? Apa yang sebenarnya terjadi pada kebakaran Pasar Ciguriang? Berikut ini ringkasan ceritanya berdasarkan naskah Babad Martanagara dan Wawacan Carios Munada yang ditulis oleh Mas Kartadinata.[2]
Munada adalah seorang Cina dari Kudus yang bernama asli Liem Siang. Ia tinggal di Cianjur berdagang kuda, kerbau, dan alat-alat angkut di lintasan Jalan Raya Pos. Ia mengganti namanya menjadi Munada setelah masuk Islam. Dalam menjalankan agamanya, Munada terlihat cukup taat, namun pada saat yang sama, ia juga gemar mengisap candu, berjudi, dan main perempuan.
Setelah pindah ke Bandung, Munada yang berparas tampan serta pandai berbicara ini juga berdagang kain dan dari kegiatan itu dapat bergaul dengan baik di kalangan bangsawan Kabupaten Bandung hingga Asisten Residen Priangan, Nagel.[3] Dari Nagel, Munada mendapatkan pesanan pengadaan kuda, kerbau, dan dokar untuk keperluan Jalan Raya Pos di wilayah Kabupaten Bandung.
Walaupun usahanya cukup sukses, namun kegemarannya berfoya-foya membuat uangnya selalu cepat habis. Munada sampai berhutang 300 gulden kepada Nagel. Agar dapat melunasi hutangnya, Nagel memberi kesempatan kepada Munada untuk menjualkan enam pasang kerbau miliknya yang disimpan di Balubur Limbangan, serta memesan lagi pengadaan kuda dan kerbau untuk Jalan Raya Pos. Tapi ternyata semua uang dari hasil penjualan ini pun dihabiskan Munada untuk berjudi dan menyewa ronggeng.
Nagel marah dan menangkap Munada. Setelah dipukuli, Munada dipenjarakan. Di dalam penjara, Munada bertemu dengan tahanan lainnya, jurusimpen Mas Suradireja, yang dipenjarakan dengan tuduhan telah membunuh istrinya dengan racun. Penahanan Suradireja yang konon dilakukan oleh Patih Bandung dan asisten residen Nagel ini ternyata tanpa sepengetahuan Jaksa Ageng (hoofdjaksa) Raden Demang Mangunagara.[4] Akibatnya Mangunagara merasa dilecehkan dan menaruh dendam terhadap patih dan Nagel.
Sebenarnya, ada dua alasan dendam Mangunagara: 1) Penahanan Suradireja yang tanpa sepengetahuannya, padahal sebagai hoofdjaksa ia harusnya diberi tahu, 2) Mangunagara pernah sakit hati kepada Bupati Bandung, Wiranatakusumah.[5] Ia pernah menaruh hati pada putri Wiranatakusumah, Ratna Ayu Rajapamerat, namun Wiranatakusumah menikahkan putrinya itu dengan Raden Suria Kusumah Adinata, putra Bupati Sumedang yang menjadi pengawas kopi di Cianjur.
Dibarengi keinginan untuk menjadi bupati menggantikan Wiranatakusumah, maka hoofdjaksa Mangunagara merencanakan suatu pembunuhan terhadap Bupati Bandung. Mangunagara meminta Munada untuk melaksanakan rencananya ini, seluruh biaya akan ditanggungnya. Selepas dari penjara, Munda bersama Suradireja mengajak 9 orang lainnya membuat suatu perencanaan.
Mangunagara: “Lamun maneh bisa mah, Munada, coba eta Asisten jeung Regent dipaehan bae, mangke dewek anu nulung maneh.”
Walon Munada: “Lamun kitu sumangga pisan mangke subuh-subuh kuring rek nyieun kahuruan di Pasar Ciguriang sakuloneun Kabupaten.”
(Mangunagara: “Kalau bisa, coba kau bunuh saja itu Asisten dan Bupati, nanti aku yang akan membantumu.”
Jawab Munada: “Kalau begitu, nanti subuh saya akan bikin kebakaran di Pasar Ciguriang, sebelah barat Kabupaten.”)
Mereka akan membakar rumah pada malam hari dan saat kedua pejabat Bandung itu datang ke lokasi kebakaran, di situlah mereka akan membunuhnya.
Malam itu, Sabtu, 30 Desember 1842 terjadi kebakaran di Kampung Kaum, api menjalar mulai dari rumah seorang janda. Bupati datang dari arah selatan, sedangkan Asisten Residen Nagel datang dari arah utara. Di depannya berjalan Upas Baron. Munada menghadang sang upas yang dengan cepat menghunus pedangnya. Namun dengan cekatan Munada menyabetkan kerisnya dan berhasil merobek lengan sang upas. Nagel maju hendak menolong upas, tapi dalam selangkah Munada menghujamkan kerisnya ke dada Nagel. Nagel rubuh. Dalam kelebatan berkas cahaya api, Nagel melihat wajah Munada, “Tangkap Munada!” Tapi teriakannya terlalu pelan, tak ada yang mendengarnya.
Munada yang terkejut karena dikenali, segera lari ke arah selatan. Namun di arah larinya telah menghadang Lurah Pasar, seorang Jawa. Munada langsung menerjang. Lurah cukup gesit dan mengelak, malah sempat menyabetkan kerisnya ke tubuh Munada. Munada dan kerisnya terjatuh. Dengan cepat Munada bangkit dan melarikan diri.
Walaupun di dekat tempat kejadian itu banyak orang, tapi tak ada yang menyaksikan berlangsungnya peristiwa ini. Tak ada yang mengenali keberadaan Munada di sana malam itu. Dari dua buah keris yang berlumuran darah, orang dapat mengenali bahwa salah satunya adalah milik Munada. Keesokan harinya orang-orang mencari Munada.
Pagi-pagi sekali setelah kebakaran itu, di Ci Tarum, Dayeuhkolot, ada seorang berpenampilan menak dan mengaku pendukung adu ayam Bupati, minta disebrangkan menggunakan perahu.
“Geuwat ieu dewek peuntaskeun, nya dewek nu kongas bobotoh ngadu hayam Kanjeng Dalem tea.”
“Cepat sebrangkan. Saya Munada yang sohor mendukung adu ayam Kanjeng Bupati!”
Dari sebrang, menak tersebut berjalan dari kampung ke kampung, hutan ke hutan, ke arah Tarogong.
Mendengar berita itu, lalu banyaklah orang mencari ke arah Ci Tarum, Dayeuhkolot, dan Tarogong. Mereka menggeledah rumah-rumah, perkampungan, dan memeriksa hutan. Pencarian terus berlangsung hingga ada seorang penduduk Tarogong yang bercerita bahwa orang yang mereka kejar itu bukanlah Munada, melainkan Raden Wiria, jurutulis Jaksa. Lalu dipertemukanlah Raden Wiria dengan pemilik perahu yang telah menyebrangkannya. Akhirnya Raden Wiria mengaku bahwa ia diperintah oleh Jaksa.
Jaksa Mangunagara lalu ditangkap dan dibuang ke Surabaya. Tak ada berita ia pernah kembali ke Bandung. Asisten Residen yang baru mengusulkan agar bupati diberhentikan dari jabatannya karena dengan anggapan ia ikut bersalah karena kerabatnya telah melakukan kejahatan. Bupati kemudian memang diberhentikan dan dipindahkan tempat tinggalnya ke Cianjur.
Mengisi kekosongan jabatan bupati dan jaksa di Bandung, pemerintah menempatkan hoofdjaksa Purwakarta, Surialaga, di Bandung. Di sini ia menikah dengan R. Salimantri, seorang janda yang ternyata mantan istri Mangunagara. Dari Salimantri inilah ia mendapatkan keterangan tentang Munada yang masih misterius keberadaannya.
Malam setelah penusukan Nagel, Munada tidak kembali ke rumahnya di Cibadak, melainkan disembunyikan di rumah Mangunagara di Kajaksan. Ia ditanya oleh Mangunagara, apakah akan menerima hukum gantung atau sebaiknya bunuh diri saja? Munada menjawab: “Kuring mah hanyang dipaehan ku Juragan Jaksa bae. (Biarlah saya dibunuh oleh Jaksa saja).”
Sekitar tengah malam, Munada dimasukkan ke dalam sebuah peti besar. Lehernya diikat dengan tali. Setelah mati, ia digotong oleh empat orang dan dihanyutkan ke Sungai Ci Tarum.
Selang beberapa waktu setelah kejadian itu, Surialaga menjadi seorang kaya di Bandung. Kenyataan ini membuat seorang dengan nama Istor Aban Sarean cemburu dan memfitnahnya. Akibatnya, Surialaga ditahan di Cianjur. Namun Surialaga berhasil meyakinkan gubernur jendral bahwa ia tidak bersalah. Ia segera dibebaskan dan kembali dijadikan jaksa dengan tugas di Balitung. Istor Sarean dihukum. Upas Baron yang sembuh dari luka ternyata harus cacat seumur hidupnya, ia dipensiunkan dan diberi tunjangan. Jabatannya digantikan oleh anaknya.
Versi lain cerita ini mengisahkan seperti berikut:[6]
Dalam pelariannya, Munada sempat dipergoki oleh penjaga pos ronda yang bahkan berhasil merampas golok dan keris dari tangan Munada. Munada lalu lari dan bersembunyi dalam sebuah peti di rumah Mangunagara. Untuk menghilangkan jejak, Mangunagara menyamar menjadi Munada dan bepergian ke Majalaya, Leles, dan Tarogong. Ia juga menyebarkan surat kaleng di dalam kota yang mengatakan bahwa Munada telah melarikan diri ke luar kota.
Residen Priangan, Tuan Klomberg (O.C. Holmberg de Beckfelt) yang saat itu berkedudukan di Cianjur mengeluarkan perintah pengusutan peristiwa pembunuhan Nagel. Seluruh jaksa di Priangan dikerahkan, termasuk jaksa dari Kabupaten Purwakarta, Raden Demang Surialaga. Menanggapi ini, Mangunagara membuat cerita palsu bahwa Munada telah disembunyikan oleh Wedana Majalaya. Wedana ini ditangkap dan dipenjarakan di Cianjur selama dua tahun.
Sementara itu, Surialaga menaruh curiga kepada Mangunagara. Saat Mangunagara mendapat tugas mengurus pelelangan kerbau milik Nagel di Balubur Limbangan, Surialaga menggeledah rumah Mangunagara. Ia menemukan sebuah peti berbau pesing. Akhirnya istri Mangunagara menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Mangunagara ditangkap dan dihukum buang ke Surabaya selama 25 tahun. Komplotan yang membantunya dibuang ke Makassar, Ambon, dan Ternate selama 20 tahun. Bupati Bandung diberhentikan dari jabatannya dan ditetapkan untuk tinggal di Cianjur.
Untuk versi lain Cerita Munada, bisa baca tulisan Cerita Munada – Bagian 2.
Yang ini karya @Aryawasho dari @KomunitasAleut.
[1] Alur cerita utama berdasarkan Babad R.A.A. Martanagara; Aurora Drukkerij, 1923
[2] Mas Kartadinata yang pernah menjabat Kepala Stasiun di Staatspoorwegen ini lebih dikenal lewat karyanya, Rasiah Priangan (Bale Poestaka, 1921)
[3] C. Wilhelm August Nagel
[4] Dalam Babad Martanagara disebut dengan nama Raden Naranata
[5] Raden Adipati Wiranatakusumah III = Dalem Karanganyar
[6] “Wawacan Carios Munada” tulisan Mas Kartadinata. Mengenai naskah ini, Kartadinata melakukan pengumpulan cerita dari orang-orang tua saat itu (1910). Informan utamanya adalah Raden Yudasastra, seorang tua yang tinggal di Desa Pungkur, di belakang Pendopo Bandung.
1 Pingback