Dalam liputan koran Pikiran Rakyat 2 Februari 2011, berjudul “Melebihi Kapasitas, TPSA Ciniru Bisa Meledak”, disebutkan mengenai kekuatiran Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kuningan bahwa lokasi pembuangan sampah (Tempat Pembuangan Sampah Akhir/TPSA) itu bisa menimbulkan ledakan yang sangat kuat. Kapasitas penampungan tempat itu sudah tidak memadai lagi. Tumpukan sampah di sana sudah mencapai volume 550 meter kubik dengan bobot ribuan ton. Dimulai sejak tahun 2000-an, kini tumpukan itu sudah mencapai ketebalan 7 hingga 10 meter dalam area seluas sekitar 2 hektare.
Liputan koran itu juga menyebutkan bahwa solusi yang diusulkan dalam menghadapi masalah itu adalah dengan mencarikan lokasi lain atau dengan memperluas wilayah buangan di area itu. Untuk itu BPLHD sudah mengajukan anggaran pembelian tanah untuk lokasi baru, itu pun hanya akan efektif untuk dua tahun saja.
Saya teringat salah satu kegiatan Komunitas Aleut! yang saya asuh. Komunitas ini sering mensurvei lokasi-lokasi bersejarah di Kota Bandung untuk kemudian dijadikan bagian dari tour sejarah yang dilakukan setiap hari Minggu. Salah satu lokasi bersejarah yang mungkin berhubungan dengan cerita penampungan sampah di atas adalah Jalan Inhoftank di sekitar Tegalega, Bandung.
Nama jalan ini sering menjadi pertanyaan banyak orang, kira-kira dari mana asal nama Inhoftank? Akhirnya saya dapat menemukan sebuah sumber cukup menarik, yaitu buku “Kisah Perjuangan Unsur Ganesa 10 Kurun Waktu 1942-1950”, diterbitkan oleh Penerbit ITB, Bandung, 1995.
Halaman 39 dalam buku yang berkisah tentang perjuangan mahasiswa ITB ini menyinggung tentang sebuah instalasi yang disebut Imhofftank yang terletak di selatan Kota Bandung. Persisnya di daerah Tegalega. Penduduk wilayah sekitar menyebutnya pabrik mes, yang rupanya mengambil dari bahasa Belanda, mest yang berarti pupuk.
Ternyata pada masa Hindia-Belanda, Imhofftank adalah sebuah pabrik pengelolaan limbah rumah tangga di Bandung. Hasil produksinya? Biogas. Pabrik ini memiliki saluran-saluran seperti selokan yang terhubung dengan beberapa kawasan di Kota Bandung. Sebagian kotoran rumah-tangga di Bandung yang ditumpahkan ke parit-parit dan selokan akan masuk ke saluran ini dan kemudian ditampung di kolam atau tangki-tangki penampungan dan pengendapan Imhofftank. Di tangki ini limbah dibiarkan tergenang dan membusuk sehingga menimbulkan gas metan. Gas metan yang dihasilkan dipompa dengan kompresor dan dimasukkan ke dalam tabung silinder besi berdaya tampung 40 liter dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer. Gas metan dalam tabung ini lalu dipergunakan untuk menjalankan bis-bis sekolah.
Selain tangki penampungan yang memroduksi gas metan, juga terdapat tangki pengeringan. Pada tangki pengeringan dibangun juga laboratorium dan gudang. Setelah melalui sejumlah proses, limbah rumah tangga kering tersebut dijadikan pupuk organik yang dikirim ke kawasan pertanian dan kebun bunga di daerah Lembang, Cisarua, Pangalengan, dan Ciwidey. Pengawasan semua proses ini dilakukan oleh Tuan Imhoff. Dari namanyalah kemudian nama kawasan ini dikenal dengan sebutan Imhofftank yang sekarang berubah menjadi Inhoftank. Perubahan dalam bahasa ini wajar dan umum saja terjadi.
Selama pendudukan Jepang, pabrik pupuk Imhofftank tidak dijalankan karena Jepang lebih memerlukan sumber energi gas metan untuk menjalankan truk-truk militernya. Setelah merdeka, pabrik pengolahan limbah Imhofftank terbengkalai, tak terpakai hingga waktu lama. Belakangan, dengan bertambahnya kepadatan penduduk Kota Bandung, wilayah bekas Imhofftank dijadikan permukiman. Namun, sisa-sisa tembok tangki pengolahan ini masih dapat dilihat sampai sekarang, sebagai malah menjadi bagian tembok rumah-rumah di sana.
Kembali ke masalah TPSA Ciniru, dan masih banyak lagi permasalahan serupa yang terjadi di sekitar kita, terasa agak mengherankan, kenapa dalam masa yang lebih modern ini kita tidak bisa mengolah limbah seperti yang sudah dilakukan pada hampir 70 tahun yang lalu? Apakah ini kemajuan atau kemunduran? Bila solusi pembuangan sampah adalah dengan terus menambah wilayah pembuangan, lalu sampai berapa banyakkah wilayah yang akan diperlukan untuk pembuangan sampah yang begitu banyaknya?
Bila di suatu lokasi tertentu yang cukup luas dibangun lagi pabrik serupa Imhofftank yang dapat menampung sampah dari berbagai wilayah, tentunya akan cukup banyak energi gas yang dapat dihasilkan. Rasanya akan cukup banyak pengeluaran dana dalam pengelolaan masalah sampah yang dapat ditekan dalam jangka panjang. Belum lagi banyaknya pupuk yang dapat bermanfaat menghijaukan kembali Kota Bandung..
Ya, bagaimanapun saya sadar pengetahuan saya sangat dangkal dalam hal ini, mungkin pembuatan pabrik dan pengelolaan sampah itu tidak sesederhana yang saya bayangkan. Saya hanya tak habis pikir kenapa ada warga Bandung yang sudah mampu melakukannya pada 70 tahun yang lalu, dan sekarang tidak?
Bahan bacaan :
“Melebihi Kapasitas, TPSA Ciniru Bisa Meledak”, HU Pikiran Rakyat, 2 Februari 2011.
Dari TH ke ITB; Kenang-Kenangan Lustrum IV 2 Maret 1979, Adjat Sakri (ed), Penerbit ITB, Bandung, 1979.
Kamus Umum Belanda Indonesia, Prof. drs. S. Wojowasito, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2001.
Kisah Perjuangan Unsur Ganesa 10 Kurun Waktu 1942-1950, Satuan Tugas Penulisan Kisah Kehidupan Kampus Ganesa 10, 1942-1950, Penerbit ITB Bandung, 1995.
Leave a Reply