Pada masa kolonial Kota Bandung dikenal sebagai kota yang asri karena memiliki sangat banyak taman sebagai penghias kotanya. Tak aneh bila saat itu Bandung populer sebagai kota taman. Di tengah kesibukan pembangunan berbagai sarana perkotaan, taman juga menjadi perhatian penting bagi pemerintah saat itu sehingga di sudut- sudut kota dibangun berbagai taman yang dirancang dengan indah. Kondisi seperti ini melahirkan banyak sebutan yang memuji keadaan Kota Bandung waktu itu, de bloem van bergsteden (bunganya kota pegunungan), Europa in de tropen (Eropa di wilayah tropis), sampai The Garden of Allah.

Taman-taman yang asri seperti ini sangat menyejukkan dan menyegarkan bagi warga kota sehingga menjadi tujuan rekreasi yang mudah dan sangat murah bagi siapapun. Setiap saat warga kota dapat melakukan rekreasi ke taman-taman ini, sejak pagi hingga malam hari. Sangat menyenangkan…

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 berbarengan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.

Sebagai taman hutan raya, maka Hutan Lindung Gunung Pulosari ini merupakan taman hutan raya yang pertama didirikan di Hindia-Belanda. Pada tahun 1965 taman hutan raya ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu, Brigjen. H. Mashudi, sebagai Kebun Raya atau Hutan Rekreasi. Baru pada tanggal 14 Januari 1985 taman hutan diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Tanggal peresmian ini memang bertepatan dengan hari kelahiran Pahlawan Kemerdekaan, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, seorang tokoh nasional yang pernah memangku 18 jabatan menteri dalam rentang waktu antara 1946-1983.

Letak Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, pada ketinggian antara 770 mdpl sampai 1330 mdpl. Di atas tanahnya yang subur terdapat sekitar 2500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 species. Pada tahun 1965 luas taman hutan raya baru sekitar 10 ha saja, namun saat ini sudah mencapai 590 ha membentang dari kawasan Pakar sampai Maribaya. Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Pemda Provinsi Jawa Barat (sebelumnya berada di bawah naungan Perum Perhutani) Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dapat dikunjungi setiap hari. Waktu bukanya antara jam 08.00-18.00. Setiap pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar Rp. 8.000,- (tahun 2010). Kawasan ini biasanya cukup ramai pada akhir pekan, terutama hari Minggu pagi saat banyak orang datang berekreasi sekadar menikmati suasana atau berolah-raga lintas alam dengan rute Tahura-Maribaya sepanjang 6 kilometer. Jarak ini biasa dapat ditempuh berjalan kaki sekitar 2-3 jam (tergantung kondisi). Yang pasti berjalan kaki melintasi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini sangat menyenangkan karena selain keasrian lingkungannya, juga memberikan kesegaran karena udara yang bersih.

Sebagian jalan setapak dalam hutan ini sudah dilapisi paving block sehingga memudahkan perjalanan. Di beberapa tempat terdapat warung-warung yang menyediakan penganan ringan dan minuman. Bagi pengunjung tersedia juga berbagai fasilitas seperti pusat informasi, musholla, shelter, taman bermain, dan toilet. Bila berminat untuk menjelajah, dapat mengunjungi berbagai objek seperti Monumen Ir. H. Djuanda, Gua Jepang dan Gua Belanda, Kolam Pakar, serta 3 buah air terjun, Curug Omas, Curug Lalay, dan Curug Dago. Letak Curug Dago agak terpisah sekitar 1 km sebelah selatan, sedangkan Curug Omas (dan beberapa curug lain) dapat ditemui di akhir perjalanan lintas alam Tahura-Maribaya. Jangan lewatkan juga untuk mengunjungi Museum Ir. H. Djuanda yang menyimpan berbagai dokumentasi piagam dan medali penghargaan yang pernah diterima oleh Ir. H. Djuanda. Koleksi lain dalam museum ini adalah artefak kebudayaan purba yang pernah ditemukan di kawasan Dago Pakar.

P1560191B

Gua Jepang & Gua Belanda
Gua Belanda mulai dibangun pada tahun 1912 dengan membobol bukit di sisi aliran sungai Ci Kapundung. Fungsi awalnya adalah sebagai saluran penyadapan aliran sungai untuk keperluan pembangkit tenaga listrik. Tahun 1918 tampaknya ada perubahan atau penambahan fungsi gua karena di dalam gua ditambahkan ruang-ruang dan cabang lorong hingga panjang keseluruhan gua mencapai 547 meter. Tinggi mulut gua 3,2 meter dan jumlah cabang lorong 15 buah. Beberapa ruang tampak seperti ruang tahanan. Setelah terjadinya perubahan fungsi, maka dibuatlah jalur air yang baru menggunakan pipa-pipa besar yang ditanam di bawah tanah kawasan Tahura. Kemungkinan Belanda juga menjadikan gua ini sebagai tempat penyimpanan mesiu. Saat masuknya tentara Jepang, Belanda sempat menggunakan gua ini sebagai Pusat Telekomunikasi Militer Hindia-Belanda bagi tentaranya.

Pada masa penjajahan Jepang, fungsi gua sebagai gudang penyimpanan senjata dan mesiu dilanjutkan sambil menambahkan gua-gua baru lainnya di dekatnya (1943-1944) yang belakangan disebut sebagai Gua Jepang. Untuk membangun gua ini, Jepang menerapkan kerja paksa (romusha) pada penduduk saat itu. Gua-gua ini kemudian juga menjadi tempat pertahanan terakhir Jepang di Bandung. Setelah kemerdekaan RI gua-gua ini tidak terperhatikan dan baru ditemukan kembali pada tahun 1965 dengan kondisi tertutup alang-alang dan tetanaman yang lebat. Saat itu di dalam gua banyak didapati amunisi bekas tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Sejak ditemukannya, Gua Jepang masih berada dalam kondisi aslinya sementara Gua Belanda sudah mengalami 3 kali perbaikan.

1369484921338
PLTA Bengkok koleksi Tropenmuseum

P.L.T.A Pakar
PLTA pertama yang dibangun di aliran Sungai Ci Kapundung adalah Waterkracht werk Pakar aan de Tjikapoendoeng nabij Dago (PLTA Pakar, belum jelas di mana lokasinya). Produknya adalah tenaga listrik yang didistribusikan ke rumah-rumah di Bandung dan sekitarnya oleh Bandoengsche Electriciteit Maatschappij. PLTA yang masih ada saat ini adalah PLTA Bengkok yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Gedung yang masih berdiri sekarang dibangun tahun 1923 dan di dalamnya masih dapat ditemukan mesin-mesin buatan tahun 1922, di antaranya mesin pendingin Ceber-Stroco Henegelo dan generator Smit Slikkerveer.

Untuk menggerakkan turbin di PLTA ini, air Sungai Ci Kapundung dialirkan melalui saluran khusus yang kemudian ditampung di kolam pengendapan lumpur dan kolam penenang di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (dibangun tahun 1918). Kolam ini sering disebut dengan Kolam Pakar. Melalui pintu pembuang, air memasuki suatu saluran dan menuju pipa pesat sepanjang ± 500 m (tinggi jatuh air sekitar 104 meter) dan kemudian dijadikan pembangkit generator. Listrik yang dihasilkan lalu disalurkan untuk rumah-rumah orang Belanda yang berada di daerah Bandung Utara.

Sejak tahun 1920, pengelolaan distribusi listrik ditangani oleh Gemeenschappelijk Electrisch Bedrift Bandoeng en Omstreken atau G.E.B.E.O. (kemudian menjadi PLN). Menurut salah seorang mantan pekerja di Radio Malabar di Gunung Puntang, pembangunan pembangkit listrik di utara Bandung ini juga difungsikan untuk menambah pasokan kebutuhan listrik dalam mengoperasikan stasiun pemancar Radio Malabar. Selain PLTA Bengkok, di tempat terpisah di kawasan ini juga terdapat PLTA Dago yang selain berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik juga untuk memenuhi kebutuhan PDAM.

487px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_Dagowaterval_in_de_omgeving_van_Bandoeng._TMnr_60002296
Curug Dago koleksi Tropenmuseum

Curug Dago
Air Terjun atau Curug Dago atau terletak sekitar 1 kilometer di sebelah selatan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Tinggi air terjun ini hanya 15 meter, namun aliran deras sungai Ci Kapundung serta bentuk curugnya menimbulkan suara yang cukup membahana di sekitarnya. Sebagian kalangan menganggap curug ini memiliki kesan magis dan menganggapnya keramat.

Salah seorang yang tertarik dengan keindahan dan suasana mistik Curug Dago adalah seorang raja dari Thailand yang sedang berkunjung ke Bandung, yaitu Chulalongkorn bergelar Rama V beserta anaknya Pangeran Pravitra Vandhanodom. Mereka mengunjungi Curug Dago pada tahun 1902. Dari Hotel Homann tempat menginap, mereka mengunjungi Curug Dago dengan mengendarai kuda. Dalam kunjungannya itu Raja Thailand meninggalkan sebuah prasasti bertuliskan nama sang raja, beserta umur serta tahun kunjungan yang ditulis dalam penanggalan dan bahasa Thailand.

Prasasti ini masih dapat dilihat sekarang berdampingan dengan sebuah prasasti lain tinggalan cucu sang raja, yaitu Pangeran Prajatiphok Paramintara (Rama VII) yang menapaktilasi kunjungan kakeknya pada tahun 1929. Kedua prasasti ini lama tak diketahui keberadaannya sampai ditemukan kembali pada tahun 1989. Menurut Bhiksu Prawithamtur dari Vihara Menteng Jakarta yang juga pernah mengunjungi Curug Dago tahun 1989, “Apabila seorang raja Thailand bersemedi dan menuliskan namanya di suatu tempat, maka selain untuk kenangan, biasanya panorama alam pada lokasi itu indah, juga dianggap suci dan keramat.”

Kawasan Pakar
Kawasan Pakar di Bandung utara sudah sejak lama dikenali sebagai kawasan permukiman manusia purba di sekitar Bandung. Ada dugaan bahwa kata pakar bersesuaian dengan kata pakarang dalam bahasa Sunda yang artinya adalah alat bela diri atau senjata. Memang sejak masa Hindia-Belanda sangat banyak ditemukan berbagai benda kuno di wilayah ini. Benda-benda tersebut umumnya terbuat dari bahan batu obsidian dalam bentuk mata tombak, mata panah, kapak, alat asah dan banyak lagi lainnya. Dr. G.H.R. von Koenigswald melakukan penelitian intensif atas berbagai temuan dari dataran tinggi Bandung ini pada tahun 1935. Menurutnya temuan benda purba di sekitar Bandung mewakili beberapa zaman dan dapat dengan mudahnya ditemukan berserakan di permukaan tanah (1956).
Dr. W. Rothpletz, seorang sarjana geologi, juga banyak melakukan penelitian di daerah Pakar pada masa setelah kemerdekaan. Melihat potensi kawasan ini sebagai objek penelitian, maka Rothpletz pernah berupaya menjaga kelestarian Pakar dengan mendirikan sebuah prasasti ‘historical site’ di daerah Kordon. Namun di kompleks ini sekarang malah sudah berdiri sebuah Sekolah Dasar.
Sebelumnya di wilayah yang sama sudah banyak pula ditemukan berbagai arca dan benda kuno seperti yang telah dikumpulkan oleh R.D.M. Verbeek dan kemudian dicatat secara lengkap oleh Dr. N.J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst pada tahun 1914. Semua benda ini sekarang telah menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta.

Tampaknya karena itulah pada tahun 1917, sebuah kelompok bernama Bandoengsche Committee tot Natuurbescherming (Komite Perlindungan Alam Bandung) yang dipimpin oleh Dr. W. Docters van Leeuwen merencanakan mendirikan sebuah museum alam terbuka dengan nama Soenda Openlucht Museum di daerah Dago Pakar. Sayangnya cita-cita museum alam ini tidak pernah terwujud.
Mungkinkah pemerintah dan masyarakat sekarang mau memulai kembali mewujudkan berbagai perhatian dan rencana yang sudah dirintis sejak awal abad ini?

Poster Aleut Piknik Tahura PLTAc
Poster kegiatan Ngaleut Tahura-PLTA Bengkok

Catatan:
Dalam kegiatan Ngaleut dan Piknik Tahura-PLTA Bengkok dari @KomunitasAleut hari Minggu, 26 Mei 2013 kemarin, saya menceritakan beberapa bagian cerita tentang keberadaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, PLTA Bengkok, aliran Ci Kapundung, dan cerita2 lain yang berkaitan. Tulisan yang saya unggah di atas ini adalah tulisan yang pernah saya buat untuk program Jajal Geotrek di awal tahun 2011 lalu.

Sumber bacaan :
– , 2007, Taman Huta Raya Ir. H. Djuanda, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan, 2007
Komunitas Aleut!, 2010, Bandung; Where to Go, Intisari, Jakarta
Kunto, Haryoto, 1986, Semerbak Bunga di Bandung Raya, P.T. Granesia, Bandung
Kunto, Haryoto, 1989, Savoy Homann Bidakara Hotel; Persinggahan Orang-Orang Penting, Panghegar Group, Bandung
Wawancara dengan Bpk. Fathul Qodim, Staf Pemanfaatan THR Ir. H. Djuanda, 3 September 2009

Advertisement